Loading

Oleh: Ilham Raudhatul Jannah

 

”Selamat ya akhi Arif, ukhti Dian, semoga bahagia,” ucapku dengan nanar. Akupun menyalami Dian yang kini menjadi istri sahnya. Rasanya tak kuat aku ingin menangis. Bayangkan seorang ikhwan yang selama ini diam-diam aku sukai, menikah dengan teman pengajianku. Sakit rasanya.

”Iya terima kasih ukhti,” balas Dian, kemudian memelukku.

”Ya Allah, kenapa jadi seperti ini? Sakit sekali hatiku,” aku membatin pilu.

”Aku turut bahagia, ya ukhti,” berat sekali rasanya bibirku mengatakan kata itu. Sesak rasanya aku mengatakan hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan hatiku sendiri. Sekilas aku melihat dia. Tak disangka matanya pun melihat aku. Namun cepat-cepat aku alihkan pandanganku.

”Ukhti silakan menikmati makanannya seadanya,” sambil tersenyum Dian mempersilakan aku makan.

”Eh jangan diam aja dong, persilakan makan kek, ke teman sendiri juga,” Dian mencubit pinggang Arif, suaminya.

”Ya Allah lengkap sudah. Kenapa sih harus di hadapanku. Sakit sekali,” batinku. Mungkin karena sudah tidak tahan lagi, aku menangis. Di hadapan mereka.

”Ukhti menangis? Kenapa?” Dian kaget melihat aku seperti itu. Arif memperhatikanku juga. Aku tahu dia juga merasakan apa yang aku rasakan. Keterlauan kalau dia tidak bisa menebaknya. Wajar juga kalau dari tadi sejak aku bersalaman dengan Dian, Arif diam saja. Aku tahu dia takut tambah melukai perasaanku, jika dia ikut menyapaku.

”Nggak aku nggak apa-apa. Aku menangis karena aku bahagia melihatmu menikah. Dengan orang yang subhanallah, cocok buat kamu,” aku menyesal mengatakan hal ini. Aku nggak mau. Sakit.

”Maaf ukhti, sepertinya aku harus pergi, aku mau jemput sahabatku di stasiun,” tanpa basa-basi aku pergi. Aku tidak kuat melihat mereka duduk berduaan, becanda di hadapanku. Rasanya aku ingin sekali teriak. Di jalan aku menangis. Aku tak peduli apa kata orang yang lihat.

Tiba-tiba handphoneku berdering. Aku tahu pasti yang menelpon adalah Balqis. Sahabatku yang bekerja di kota Bandung. Kebetulan dia mau pulang, liburan.

”Halo, assalamu’alaikum… Za kamu di mana sih! Sejam nih aku nunggu. Mau jemput nggak. Kalau nggak aku mau pulang sendiri nih,” Balqis marah-marah.

”Wa wa wa”alaikum salam..,” aku menangis. Nggak bisa berhenti.

”Za kamu kenapa? Kamu menangis?!” Balqis khawatir mendengar suaraku yang terbata-terbata. Aku hanya diam sambil terisak-isak.

”Kamu datang ke pesta pernikahan Arif, Za?! Iya Za? Buat apa sih? Aku kan udah bilang jangan datang. Jangan datang. Kamu menyakiti dirimu sendiri. Sekarang kamu di mana? Biar aku saja yang ke sana. Sms alamatnya!” Tanpa memberi kesempatan aku menjawab, dia menutup teleponnya. Aku tahu pasti Balqis bisa menebak kenapa aku menangis.

ooOoo

”Zaaa!” dia berlari ke arahku. Dia memelukku.

”Balqis! Hik..hik… hik…”  tumpah semua air mata yang aku bendung.

”Kamu datang, iya Za? Kenapa lakukan? Hik… hik..hik…” giliran Balqis yang menangis. Dia mengusap air mata yang basah dipipiku.

”Hik… Hik… Hik… ma…ma…maaf  Qis. Aku… aku…” aku memeluk Balqis makin erat.

”Sabar ya Za, aku yakin Allah sedang merencanakan yang terbaik buat kamu. Aku ngerasain apa yang kamu rasakan Za.” Balqis menangis, membasahi punggungku.

”Aku sakit Qis!” kataku setengah berteriak.

”Istighfar Za, aku tahu.” Balqis mencoba menenangkan aku.

”Qis, kenapa sih jadi seperti ini. Kenapa aku harus mengalami ini Qis? Kalau akhirnya dia menikah dengan orang lain, kenapa dulu seolah-olah dia memberikan aku harapan. Kenapa aku mesti dipertemukan dengan dia Qis. Hik…hik…hik..” aku semakin menangis.

”Za kamu nggak boleh ngomong seperti itu. Itu ujian dari Allah buat kamu Za. Walaupun sakit. Tapi kamu juga harus bersyukur Za, karena kamu diberi kesempatan untuk bisa merasakan cinta dan suka pada laki-laki. Bukankah selama ini kamu belum pernah merasakannya? Iya kan? Za, ingat  waktu SMA dulu kamu pernah bilang kan sama aku, kalau kita tidak boleh mencintai manusia melebihi kita mencintai Allah. Ingat kan? Kenapa kamu kayak gini,” Balqis benar, aku mengiyakan dalam hati. Tenang sekali ketika Balqis berbicara seperti itu.

”Istighfar Za, istighfar. Jangan seperti ini ukhti…,” sambil menangis Balqis mengusap tanganku.

”Astaghfirullahal ’adzim, Ya Allah ampuni aku,” aku pun berhenti menangis. Meski luka itu masih jelas terasa.

”Ayo kita pulang,” Balqis mengajakku pulang.

”Maafin aku ya Qis, kamu lama nunggu aku distasiun. Dan aku nggak jemput kamu, malah kamu yang menjemput aku ke sini,”walaupun rasanya aku malas berbicara, aku paksa supaya kata maaf itu keluar.

”nggak apa-apa. Nggak perlu minta maaf segala. Aku ngerti kok,”Jawab Balqis sambil tersenyum.

”Terimakasih ya Qis, aku nggak tahu kalau misalnya nggak ada kamu,”aku menggumam, entah balqis dengar atau tidak.

Aku dan Balqis dari kecil memang sudah bersahabat. Dia adalah sahabatku satu-satunya yang paling aku percaya. Dia juga yang selalu menyemangati aku. Kita satu senasib. Balqis bapaknya sudah tiada. Ibunya bekerja sebagai TKW di Hongkong. Dia anak tunggal. Sedangkan aku, orang tuaku, entah ada di mana. Apakah masih ada. Apakah sudah tiada. Aku tidak tahu. Tapi dari kecil aku tinggal dengan nenekku. Aku punya adik satu. Yusuf namanya. Sekarang dia kelas 6 SD.

Aku juga tidak tahu, bagaimana ceritanya bermula. Aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan orang tuaku. Setiap aku bertanya tentang orang tuaku ke nenek, nenek hanya diam atau menangis.

ooOoo

Luka itu masih menempel lekat di hatiku. ”Arif” laki-laki itu yang buat aku seperti ini. Aku lupa dari mana awalnya aku kenal dengannya. Tapi yang pasti dia adalah laki-laki yang sholih, pintar, luas ilmu agamanya, murah tersenyum dan ada hal-hal yang unik yang tidak dimiliki laki-laki lain. Banyak perempuan yang menyukainya. Termasuk aku.

Aku tidak tahu kenapa aku bisa-bisanya terjebak pada dunia yang aku buat sendiri. Menyesal? Sudah terlanjur.

Dia sebenarnya sudah bilang akan berta’aruf denganku. Tapi karena aku harus mencari uang untuk biaya sekolah adikku. Jadi aku putuskan untuk beberapa tahun lagi. Mungkin karena dia capek menungguku, dan tidak ada kepastian yang jelas dariku, apakah aku menerima ta’arufannya atau tidak, maka dia memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Entahlah, aku tidak tahu dan sekarang aku tidak mau tahu.

Sedang asyik aku melamun. Tiba-tiba Balqis sms.

aSsAlmLkM? Za kM dMnA?

’Alaikumussalam… biasa… di batu besar lagi tiduran liatin langit malam… heheheh.. ke sini ya?

ooOoo

”Wey! Jangan bengong mulu ah! Jangan diingat-ingat terus Za,” Balqis mengagetkanku.

”Iya, nggak bakalan mengingat-ngingatnya lagi, lagian dia kan bukan mahromku, haram hukumnya membayangkan wajah laki-laki yang bukan mahrom. Apalagi dia sudah menjadi suami orang,” kataku berbicara gaya anak SMP.

”Wuih! Mantap! Alhamdulillah, baguslah kalau begitu. Aku bangga sama kamu Izza. Kamu harus jadi wanita yang tegar ya Za. Kita sama-sama berjuang ya?” Balqis menepuk-nepuk pundakku.

”Iiiiih apaan sih! Lebay,” kataku memukulnya.

”Yeee kok lebay sih, huuuhh dasar!” Balqis memonyongkan bibirnya.

”Qis, pokoknya aku mau kerja keras buat masa depan adikku. Aku pengen setelah adikku lulus SD, dia sekolah ke pesantren Qis. Aku pengen dia luas ilmu pengetahuan agamanya. Semoga dia bisa membimbing kakaknya ya Qis? Dia harapanku Qis,” aku semakin bersemangat.

”Amiiin… Za biarkan semuanya berjalan apa adanya ya Za? Lupakan yang sekarang melukai hatimu. Jadikan itu masa lalumu. Kita masih punya masa depan. Ok Za?” matanya berkaca-kaca.

”Ah udah ah, jangan bahas itu lagi. aku nggak apa-apa Qis. Aku lagi bersemangat merencanakan masa depan adikku nih,” aku berusaha meyakinkan Balqis, meski sebenarnya luka itu masih jelas menempel di hatiku.

”Ayo kita sama taklukan dunia Za! Chayo!” Dia menarik tanganku, kemudian menaikan ke atas.

”Hahahahah… hahahahahah…” tiba-tiba Balqis ketawa

”Hahahahah…” akupun ikut tertawa melihat Balqis tertawa.

”Eh Qis, emangnya kamu ngetawain apa?” tanyaku penasaran.

”Nggak tahu aku juga. Ngetawain apa ya?” dia nyengir, sambil mencubit pipiku.

”Za kamu ikut aku saja deh ke Bandung ya? Kamu kerja di tempatku aja,” Pinta Balqis sambil memelas. “Kita sama-sama berjuang Za. Dan supaya kita sama-sama terus,” lanjutnya.

”Tapi nenek dan adikku gimana Qis?”Aku balik bertanya.

”Izza, aku yakin nenek dan Yusuf akan baik-baik saja. Lagipula Yusuf kan sudah besar Za, jangan berlebihan seperti itu mengkhawatirkannya. Kamu harus bisa ngasih kepercayaan kepadanya. Yusuf itu anak baik Za. Lagian banyak orang yang menyayanginya dan membimbingnya. Kalau masalah nenek, kan masih ada bibi dan pamanmu,” jelasnya.

”Ok deh! Jadi ceritanya aku berhenti nih jadi guru TK?” aku meliriknya.

”Yup!” jawabnya mantap.

”Ngomong-ngomong, tumben kamu Za pake kerudung warna merah. Biasanya anti banget kamu Za. Wuih ternyata merah semua,” kata Balqis, melihat penampilanku dari atas sampai bawah.

”Iiih apaan sih kamu Qis, nggak nyambung, tapi cantikkan,” aku mengerlingkan mata.

”Idih genit! Kayak gini dong Za, terlihat banget anggunnya. Jangan kerudungnya putih semua. Harus ada variasinya. Supaya berwarna,” Balqis membuat aku tersipu malu.

“Hahahah…hahahahah…” malam menjadi ramai karena suara ketawaku dan Balqis.

Malam yang menjadi saksinya. Aku serahkan semuanya pada Allah yang Maha Membolak-balikan hati. Aku minta yang terbaik buat diriku. Ya… semangat!

-SELESAI-

 Catatan: Cerpen ini adalah bagian dari tugas penulisan di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media

 

By Administrator

Pesantren MEDIA [Menyongsong Masa Depan Peradaban Islam Terdepan Melalui Media] Kp Tajur RT 05/04, Desa Pamegarsari, Kec. Parung, Kab. Bogor 16330 | Email: info@pesantrenmedia.com | Twitter @PesantrenMEDIA | IG @PesantrenMedia | Channel Youtube https://youtube.com/user/pesantrenmedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *