Arti Kesabaran #2
Sesampainya di rumah, kuceritakan apa yang terjadi kepada ibu, ibu hanya tersenyum.
“Sudahlah nak, bu Rina memang seperti itu orangnya. Jangan diambil hati” tutur ibu.
Ibu, kenapa setiap pengaduanku kau balas dengan rasa kesabaran yang begitu mendamaikan jiwa, seakan amarahku yang ada diubun-ubun melebur seketika.
“Coba ibu lihat, apakah baju itu benar-benar rusak karena ibu?”
“Tidak. Ibu rasa baju ini masih baik-baik saja kemarin.” Jawab ibu sambil melihat baju bu Rina.
“Besok ibu akan mengembalikan baju-baju ini, mungkin saja ini salah paham”
Keesokan harinya setelah mengantarkan adik ke sekolah ibu dan juga aku pergi menemui bu Rina. Tidak lupa beberapa helai baju robek milik bu Rina juga turut ibu bawa. Kebetulan aku libur sekolah hari itu.
“Permisi.”
“Iya, sebentar” jawab seseorang dari dalam ruangan. Suara itu tidak asing lagi. Ya, itu suara bu Rina.
“Ada apa pagi-pagi datang kesini? Sudah bisa mengganti baju saya?” tanya bu Rina dengan ketus.
“Bu Rina, kedatangan saya ke sini untuk mengembalikan baju-baju ibu kemarin. Sepertinya disini ada salah paham. Kemarin sewaktu saya mencuci baju ibu, baju-bajunya masih baik-baik saja dan saya pun juga mencuci seperti biasanya, tanpa mesin cuci.”
Mendengar penjelasan ibu, bu Rina semakin marah. Aku hanya terdiam mendengar ocehan-ocehan bu Rina yang semakin kesana-kemari, dan sekali lagi ibuku hanya tersenyum santai menanggapinya. Ah, katanya ia orang kaya. Bukankah pundi-pundi rupiahnya banyak. Lalu kenapa baju robek saja dipermasalahkan sedemikian rupa. Apa karena itu baju wasiat atau semacam baju keramat. Apakah dengan robeknya baju itu sebagian hartanya akan menghilang? Konyol.
Beberapa menit kemudian suasana semakin memanas. Pembicaraan dua wanita paruh baya itu layaknya debat antar pejabat negara, tidak ada yang mau mengalah. Sepertinya emosi ibu sudah naik. Di luar ruangan terlihat beberapa warga yang memperhatikan. Sesekali sebagian dari mereka saling berbisik. Malu, sudah pasti aku merasakannya. Tiba-tiba sosok gadis cantik berambut sebahu menampakkan hidungnya dari balik pintu di sudut ruangan. Tina, anak bu Rina keluar menghampiri kami dengan sedikit bingung.
“Ada apa bu, berisik sekali?”
“Baju ibu rusak gara-gara tukang cuci ini.” jawab bu Rina sambil menunjuk ibu. Ingin rasanya aku menerkam jari telunjuk itu layaknya singa yang menerkam musuh. Dia wanita terhebat dalam hidupku, dia ibuku. Ibu yang tidak pantas dihina oleh siapapun.
Tina yang melihat beberapa baju berserakan di meja tiba-tiba tersentak kaget. Ia seperti mengingat sesuatu tentang baju itu. Ah, semoga saja Tina tidak ikut-ikutan marah layaknya bu Rina. Suasana hening seketika.
“Sepertinya ibu selalu melupakan sesuatu.” kata Tina mengagetkan lamunanku.
“Kamu pikir ibu sudah pikun. Memangnya ibu lupa apa?” jawab bu Rina ketus.
“Bukankah baju itu yang ibu pakai pergi ke pasar? Ibu bilang sepulang dari pasar ibu tertabrak becak hingga baju itu robek. Untuk baju yang yang satunya lagi memang sudah robek sewaktu Tina pinjam untuk pementasan drama di sekolah.”
Mendengar penjelasan dari putri semata wayangnya wajah bu Rina terlihat memerah, entah karena malu atau karena apa. Tanpa basa-basi ia menyeret tangan Tina sambil membawa baju-bajunya. Ditutup pintu kamar dengan keras. Entah apa yang terjadi di dalam sana, yang jelas semua tidak akan sesadis kasus pembunuhan. Aku pun segera pulang bersama ibu.
Sepanjang perjalanan pulang aku dan ibu hanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing. Hanya karena baju robek masalah bisa sedemikian rumit. Mungkin itulah hidup. Banyak hal kecil yang dibesar-besarkan, dan ada pula yang justru sebaliknya. Sebagian waktu di hari itu telah tersita demi menyelesaikan satu masalah.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku mendengar cerita tidak mengenakkan dari salah satu tetangga. Langganan ibu juga jarang yang datang ke rumah. Sudah pasti penghasilan ibu menjadi berkurang, bahkan tidak berpenghasilan. Akhirnya ibu terpaksa mencari pekerjaan yang lain demi uang saku adik ke sekolah untuk sementara waktu. Awalnya ayah tidak mengetahui masalah ini. Aku dan ibu juga berjanji tidak akan memberitahunya. Entah siapa yang membocorkan, tiba-tiba suatu malam ayah marah sangat marah kepada ibu. Mungkin ayah mengira aku dan adik sudah terlelap bersama mimpi-mimpi indah. Tetapi aku bahkan belum bisa memejamkan kedua mataku. Bersama heningnya malam, aku mendengar tangisan ibu di kamar sebelah. Ingin rasanya aku berlari dan memeluk ibu, setidaknya itu dapat menenangkan. Namun itu tidak akan pernah terjadi. Ayah akan sangat marah apabila ada anaknya yang ikut terlibat dalam pertengkarannya bersama ibu. Maafkan aku bu. Aku bahkan tidak bisa mengusap air matamu.
Hembusan angin malam semakin membuat tubuhku menggigil. Suasana rumah sudah sepi. Terdengar suara pintu tertutup dengan keras lalu dilanjutkan dengan deru mesin motor. Ayah pergi entah kemana. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Hampir tengah malam.
“Bu, apakah ibu sudah tidur?” tanyaku dengan lirih. Lama tidak ada jawaban. Ingin rasanya melihat ibu di kamar akan tetapi keberanianku tidak mampu melangkahkan kakiku untuk menuju kamar ibu. Apakah ibu sudah berhenti menangis? Apakah wajah ibu lebam seperti pertengkaranya waktu itu?
Pagi hari setelah pertengkarannya dengan ibu, ayah masih belum terlihat di rumah. Motor yang biasanya pagi-pagi sekali diparkir di halaman juga tidak ada. Entahlah. Aku terlalu sibuk, tidak sempat untuk memikirkan keberadaan motor.
“Lala, Shafa, sarapan dulu nak”
“Iya bu.” Sahut Shafa.
Aku dan adikku segera berlari menuju dapur. Beberapa sendok nasi dan lauk seadanya telah meluncur memenuhi sebagian perutku. Tidak lupa satu gelas air putih mengalir lancar melewati sela-sela tenggorokan. Masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah. Seusai sarapan aku duduk di teras rumah. Menikmati udara pagi yang sejuk khas pedesaan, tanpa asap motor ataupun bisingnya suara kendaraan yang berlalu-lalang. Dari jauh terlihat sesosok lelaki dengan motor hitam menuju arah rumahku. Ayah. Syukurlah, ia sudah kembali ke rumah.
“Dari mana yah?” tanyaku.
“Cari angin.” Jawabnya singkat sebelum ia memasuki rumah. Ayah memang bukan orang yang banyak bicara, tetapi beliau tetaplah seorang ayah yang dapat menjelma menjadi seorang pahlawan bagi anak-anaknya.
Tidak lama kemudian ayah keluar untuk mengantarkan adik berangkat ke sekolah. Aku masih saja bersantai di teras, karena memang jarak sekolah cukup dekat dengan rumah. Biasanya aku berangkat lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Setelah ayah berangkat, tiba-tiba datang dua orang perempuan. Berwajahkan aneh, boleh dibilang sedikit memelas. Aku terperanjat kaget. Ingin rasanya pura-pura tidak tau dan lari ke dalam rumah. Namun ibarat nasi sudah menjadi bubur. Dua wanita itu sudah berdiri tepat di depanku.
“Selamat pagi” sapa salah satu perempuan itu.
“Selamat pagi. Ada apa ya?” tanyaku dengan sedikit kebingungan.
“Ayah dan ibu kamu ada?”
“Ada. Mari, silahkan masuk.”
Setelah keduanya aku persilahkan duduk, akhirnya kedua wanita itu mengutarakan niatnya. Ibu dan ayah juga turut duduk di ruang tamu. Kedatangan mereka tidak lain adalah untuk meminta maaf. Siapa lagi kalau bukan bu Rina dan anaknya. Bu rina membuka pembicaraan panjang lebar. Kejadian kemarin merupakan suatu kesalahan yang memalukan, kata bu Rina.
“Tidak apa-apa bu, kami semua sudah memaafkan kejadian kemarin” kata ibu disela-sela pembicaraannya.
“Sekali lagi kami minta maaf, saya benar-benar tidak tahu jika baju itu sudah robek sebelumnya, saya sudah terlalu emosi. Jika ada fitnah yang membuat langganan ibu tidak ada yang kesini, sungguh saya meminta maaf kepada keluarga ini. Kejadian kemarin semoga tidak memutuskan tali silaturahmi di antara kita pak, bu.”
“Bu Rina, kita semua adalah tetangga. Tidak baik bila salah satunya menyimpan rasa dendam. Masalah yang sudah berlalu jangan diungkit-ungkit. Kami semua sudah memaafkan ibu” Kata ayah.
Apakah ayah benar-benar sudah melupakan kesalahan bu Rina dan memaafkan begitu saja, ataukah ayah hanya melupakan sejenak demi menjaga tali silaturahmi? Bu Rina, anda orang yang cukup terpandang di desa ini, kaya, dan seakan hidup anda sempurna. Lalu bagaimana mungkin anda bisa berbuat demikian kepada keluarga kami. Semua langganan ibu pergi. Ibu harus mencari pekerjaan lain dengan susah payah hanya karena masalah ini. Apakah ibuku pernah merusak kedamaian hidup anda? Sungguh keterlaluan. Lantas bagaimana dengan air mata ibu yang terlanjur menetes di tengah gelapnya malam, hatiku turut merasa sakit. Ayah marah dan menganggap ibu wanita tidak pecus. Itu semua karena masalah yang anda buat bu Rina. Bukankah anda yang lebih miskin disini? Miskin hati. Lalu sekarang anda datang pagi-pagi untuk meminta maaf dengan begitu mudah. Ini tidak adil.
Ibu tertunduk. Semuanya diam. Aku pun terdiam dengan banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran.
Zuyyina Hasanah santri kelas 2 SMA Pesantren Media