Loading

Pagi hari di sebuah kota. Matahari tak sepanas biasanya. Seekor burung meloncat dari dahan satu ke dahan lainnya. Daun kering jatuh perlahan ditiup angin. Suara gesekan daun di atas permukaan aspal yang keabuan, tertangkap basah oleh indera pendengaranku. Suaranya kasar. Tak selembut ketika umi memanggilku dari balkon. Semut berjalan perlahan sambil menggendong rempahan biskuit anak bayi. Nafasnya yang terengah-engah terhembus pada lantai kayu kecoklatan. Tak ku dengar sama sekali, semut hitam pekat itu mendengus kesal karena rutinitasnya yang membosankan itu. Seorang tukang sampah sedang menarik gerobak sampahnya yang berkarat. Ia melongok dari tong sampah di ujung jalan sana, hingga tong sampah yang ada di muka rumah kuno itu. Wajahnya tak kalah kusam dengan sebuah kaos oblong yang dikenakannya. Alas kakinya tak ada. Ia hanya bertumpu pada telapak kaki yang kasar dan pecah-pecah. Topi lusuh yang sudah sobek ujungnya, tak pernah lepas dari kepalanya. Keringat bercucuran dari pelipisnya yang penuh daki. Lagi-lagi tak terdengar sama sekali dengusan lelah dan penat akan profesinya yang berkubang dengan tumpukan sampah berbau busuk tersebut. Sedangkan aku? Masih perlu dipertanyakan. Akankah aku menjalani hari-hari seikhlas seekor semut dan seorang tukang sampah itu? [Noviani Gendaga, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini adalah bagian dari tugas menulis di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By noviani

Noviani Gendaga | Santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, kelas 3 | Asal Samarinda, Kalimantan Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *