Oleh: Farid Ab (Santri Pesantren Media)
Tengah hari di penghujung tahun 2004, langit Serambi Mekah nampak murung berselimut mendung. Nuansanya menyerupai pagi hari, ketika matahari hampir menampakkan batang hidungnya. Sesekali terdengar gelegar suara guntur yang menggema di seantero kota. Baru saja memang turun hujan lebat. Kini, curahan lebat air langit tergantikan dengan gerimis tipis bak tepung yang dihamburkan di udara, hinggap di dedaunan, atap-atap rumah, para pejalan kaki, dan juga menerpa gumpalan sampah yang menggunung di sebuah TPA pinggiran kota.
Beberapa langkah dari TPA itu, nampak sepasang suami istri berpakaian lusuh keluar dari gubuk yang tebuat dari kardus dan plastik. Mereka keluar untuk melanjutkan pekerjaan mereka memunguti sampah yang sempat terhenti karena hujan deras. Baru tiga langkah mereka beranjak dari gubuk, sebuah nampan kecil berisi nasi melayang dari dalam gubuk itu. Nasi itu pun berserakan menimpa kaki keduanya.
“Aku ga mau makan!” Teriak seorang anak kecil dari dalam gubuk.
“Rahmat, jangan macam-macam kamu! Itu namanya tidak menghargai rejeki dan usaha orang tuamu.” Hardik Pak Toha dengan muka memerah.
“Beh! Aku bosan, Pak. Udah jarang makan, pas makan selalu ikan asin lauknya. Nasinya juga keras. Tak ada yang lain apa?” Cerocosnya kasar.
“Sekali-kali Ibu beli ayam gitu. Aku ingin ayam.” Lanjutnya sinis.
Pak Toha kalap. Ia berjalan kembali ke dalam gubuk sambil mengepalkan tangan. Mukanya semakin memerah layaknya kepiting rebus. Giginya gemeretak.
“Dasar anak manja!”
Pak Toha mengangkat tangannya ke atas. Sepersekian detik lagi tangan lelaki kurus itu dipastikan mendarat dengan keras di muka Rahmat, anak semata wayangnya. Namun, di saat-saat genting dan panas itu, sepasang tangan lain merangkul Pak Toha dari belakang dan menangkap ayunan tangannya.
“Sudahlah, Pak. Biarkan saja. Dia kan masih kecil.” Bujuk Bu Toha dengan suara bergetar. Mata wanita paruh baya ini nampak sembab.
“Tapi…”
“Sudahlah…” Potong Bu Toha lembut. Ia menarik lengan suaminya keluar gubuk.
“Mulung lagi, yuk! Mumpung hujannya reda.” Lanjut Bu Toha.
Sepasang suami istri itu kembali melangkah menyisiri jalan menuju TPA yang becek karena hujan. Mereka meninggalkan gubuk dengan perasaan sedih, marah, dan galau.
Sementara itu, di dalam gubuk, Rahmat duduk mematung dengan wajah masam luar biasa. Dadanya nampak turun naik. Otot-ototnya menegang. Tangannya mengepal. Tak lama kemudian, Rahmat keluar gubuk. Ia berlari seperti orang kesurupan. Tak dihiraukannya orang-orang yang ditemui dan juga menyapanya. Ia berlari dan terus berlari tak tentu arah.
Kecepatan larinya mulai berkurang manakala dia melihat dari arah berlawanan sekelompok anak-anak berseragam seusianya yang baru pulang dari sekolah. Semakin dekat dengan anak-anak sekolahan itu, larinya semakin melambat. Akhirnya, Rahmat berhenti berlari ketika dia tepat berpapasan dengan mereka. Pandangan Rahmat terus mengikuti anak-anak itu hingga mereka menghilang di ujung jalan.
Rahmat terduduk di batu besar di pinggir jalan. Matanya kosong menatap tanah lapang berumput yang ada di seberang jalan.
“Aku ingin sekolah. Tapi darimana aku dapatkan uangnya? Bapak dan ibuku miskin. Jangankan sekolah, untuk bertahan hidup saja susah. ” Gerutunya dalam hati.
Rahmat berdiri.
Ah! Aku benci mereka. Kenapa aku dilahirkan dari orang yang miskin seperti mereka. Ternyata Tuhan tak adil.” Teriak Rahmat. Dia kembali kesetanan.
Siang pun berlalu seiring berlalunya mendung dari kolong langit Serambi Mekah. Mendung itu kini tergantikan dengan gemerlap ribuan bintang yang berkelap-kelip ceria. Malam itu, Rahmat tak pulang ke gubuk. Ia memilih menginap di atas sebuah pohon asam raksasa yang terletak di atas sebuah bukit kecil. Menguyah satu demi satu buah asam sambil memandangi gemerlap bintang. Indahnya langit malam itu membuat Rahmat sejenak melupakan masalah dan juga kedua orang tuanya yang saat ini kebingungan mencarinya. Ia pun tertidur.
Di sepertiga malam yang terakhir Rahmat tersentak dari tidurnya. Pohon raksasa yang dia naiki berguncang hebat. Hampir saja dia terlempar dari pohon itu jika saja dia tak sigap berpegangan pada ranting-rantingnya. Sesaat kemudian Rahmat menyadari bahwa gempa hebat telah melanda Serambi Mekah. Dari ketinggian pohon di atas bukit itu, tergambar suasana kota yang kacau balau. Rumah dan bangunan lain yang ada di kota itu bergoyang. Banyak juga yang akhirnya ambruk. Orang-orang berlarian sambil berteriak tak jelas.
“Bapak…, Ibu…” Teriaknya ketakutan.
Rahmat menangis. Dia tetap mencengkram erat ranting-ranting pohon. Rasa takut mencegahnya turun dari pohon. Dan di saat-saat seperti itulah dia baru menginginkan kehadiran orang tuanya.
Sekitar sepuluh menit gempa itu berlangsung. Semakin lama getarannya semakin berkurang. Rahmat turun dari pohon. Ia ingin cepat-cepat sampai ke gubuk. Ia khawatir dengan keadaan kedua orang tuanya. Namun, ketika hendak menuruni bukit, dari jauh terdengar suara gemuruh. Penasaran dengan apa yang didengarnya, Rahmat kembali naik pohon.
Sesampainya di atas pohon, Rahmat ternganga. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di keremangan subuh hari yang hanya di cahayai gemerlap bintang serta sedikit pendar matahari, di kejauhan sana dia melihat gumpalan air bah bergulung-gulung menerjang apa saja yang dilaluinya. Semakin lama, gumpalan air itu semakin dekat dengan tempatnya berada. Air bah itu nampak membawa berbagai macam barang seperti mobil, sepeda motor, rumah, pohon-pohon yang tumbang, beraneka macam sampah, dan termasuk juga manusia. Sangat mengerikan.
Orang-orang nampak pontang-panting berusaha menghindari terjangan sunami dengan menaiki tempat-tempat tinggi. Termasuk melarikan diri ke bukit di mana Rahmat berada. Ada yang bersahasil selamat, ada juga yang ikut hanyut karena kalah cepat dengan air.
Bukit tempat Rahmat berada mendadak penuh dengan mereka yang selamat dari terjangan sunami. Wajah mereka nampak keruh, penuh dengan ketakutan dan kesedihan. Beberapa di antara mereka ada yang masih histeris, meraung-raung memanggil keluarganya yang hilang terseret air. Rahmat juga menangis. Ia kembali teringat Bapak dan Ibunya. Rasa khawatir yang mendalam mengaduk-aduk perasaan dan jiwanya.
Gelombang sunami telah berlalu ketika matahari beranjak naik. Gempa dan gulungan air itu meninggalkan jejak kehancuran mengerikan di Serambi Mekah. Lebih parah dari kehancuran akibat perang antar suku. Tampilan kota itu seakan-akan sudah berubah. Banyak bangunan yang hilang. Ada juga daerah-daerah yang tadinya kosong, kini malah ada bangunan di atasnya yang terbawa sunami dari bagian lain kota itu. Tak hanya itu, sunami ini juga menyeret sebuah kapal pesiar besar yang kini terdampar di tengah kota. Sementara itu, mayat-mayat terlihat dimana-mana dalam berbagai posisi. Ada yang tergenjet, tergeletak di jalanan, tersangkut di papan reklame, dan terjebak di dalam mobil. Jumlahnya sangat banyak.
Di antara hiruk pikuk itu, Rahmat berjalan menuju gubuknya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati gunungan sampah di dekat gubuknya telah hilang. Padahal gunung sampah itu sangat besar. Dan lebih terkejut lagi ketika ia tak menjumpai gubuk tempat tinggalnya. Yang ada hanyalah rongsokan puing-puing bangunan yang berserakan.
“Bapak… Ibu… di mana kau kini.” Ratapnya. Jauh di dalam hatinya, Rahmat menyesal karena telah menyakiti hati keduanya. Ia sedih, kenapa ia sampai bisa mengutuk Tuhan karena telah melahirkannya dari sebuah keluarga miskin. Sekarang Tuhan benar-benar mengambil keduanya. Kini, Ia sebatangkara. Tenggelam dalam lautan kesedihan dan penyesalan tiada tara.
Namun, Rahmat masih mempunyai harapan. Ia berkeliling dari satu camp pengungsi ke camp pengungsi yang lain. Namun, hingga ke pengungsian terakhir, ia tak jua mendapati keduanya.
“Kalau Bapak dan Ibumu tak ada di seluruh pengungsian, kecil sekali kemungkinan mereka masih hidup, karena mungkin mereka tertimbun reruntuhan kota, atau hilang terhanyut ke laut.” Papar seorang relawan.
“Terus bagaimana, Bang?” Ujar Rahmat sendu.
“Pasrahkanlah, Dik. Allah pasti akan menguji setiap hamba-Nya. Jika kita ikhlas menerimanya, insya Allah itu akan menghapus dosamu. Yakinlah bahwa Dia selalu di sisi orang-orang yang sabar.” Paparnya memberi semangat pada Rahmat.
Tanpa mereka sadari, dua pasang mata pengungsi lain selalu memperhatikan Rahmat. Dari percakapan tadi mereka mengetahui bahwa Rahmat kehilangan kedua orang tuanya. Mereka adalah Pak Joko dan istrinya. Mereka berada di pengungsian ini juga karena mencari anak semata wayangnya yang hilang. Perlahan-lahan mereka mendekat ke Rahmat yang kini tertunduk layu.
“Nak, siapa namamu?” Tanya pak Joko.
“Rahmad, Pak.” Jawabnya.
“Dia kehilangan kedua orang tuanya.” Jelas relawan yang tadi berbincang dengan Rahmad.
“Kami juga kehilangan anak kami.” Jelas Bu Joko sedih.
“Dan entah kenapa, Rahmat ini kok mirip dengan anak kami, Mas. Jadi, kalau Rahmat mau, saya ingin mengangkatnya jadi anak.” Pak Joko menjelaskan.
“Wah, bagaimana, Dik?” Sang relawan menengahi.
“Aku bingung, Bang.”
“Pertimbangkanlah, Nak. Kalau kau tetap di sini, kau akan sebatangkara dan terlantar. Jika kau ikut kami, segala keperluanmu akan kami cukupi. Kau akan kami sekolahkan.”
Dan akhirnya, Rahmat menyetujuinya. Beberapa hari kemudian, mereka bertiga pindah dari daerah bencana ke Jakarta.
***
Akhir-akhir ini Rahmat sering masuk berita TV. Ia menjadi idola baru karena berhasil mengharumkan nama negeri dengan memenangkan Olimpiade Dunia.
Suatu malam, Rahmat diwawancarai secara ekslusif oleh sebuah TV swasta nasional. Hampir seluruh mata di seantero negeri terpaku padanya. Termasuk dua pasang mata di sebuah gudang rongsokan di Kota Serambi Mekah. Mereka berdua nampak bahagia dan terharu melihat Rahmat di TV.
“Ternyata anak kita masih hidup, Pak. Aku ga nyangka.” Celetuk Bu Toha bahagia.
Kebahagiaan mereka semakin bertambah saat Rahmat mengutarakan rencananya berkunjung ke Serambi Mekah dalam rangka study tour.
Dan, saat-saat membahagiakan itu pun tiba. Rahmat bertemu kembali dengan orang tua kandungnya. Sebuah pertemuan, yang bagi Rahmat, adalah sebuah kejutan terbesar dalam hidupnya. Rahmat tak ingin mengulangi kesalahan di masa lalu. Ia tak ingin kehilangan mereka lagi.
Sebaliknya, orang tua angkat Rahmat tak ingin kehilangannya. Pak Joko dan istrinya berjanji untuk melakukan apa saja asal Rahmat tak pergi dari sisi mereka. Jalan tengah diambil. Pak Joko meminta Pak Toha dan istrinya pindah ke Jakarta. Pak Joko berniat memodali Pak Toha guna membuka usaha. Pak Toha menyetujui hal ini. Mereka pun pindah ke Jakarta.
Dan, Rahmat semakin bahagia. Kini, Ia memiliki dua keluarga. Ya, dua keluarga yang berpadu menjadi satu.[]
Catatan: cerpen ini adalah tugas menulis fiksi di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media