Loading

Jam handphoneku menunjukkan pukul 00.12. Aku terbangun dari tidur malamku. Tak biasanya, pagi ini aku bangun lebih awal. Memang sih, terkadang aku bangun sekitar jam segitu. Tapi biasanya, aku memilih untuk melanjutkan tidurku. Beda dengan pagi ini. Rasa kantukku hilang begitu saja. Tubuhku terasa fit kembali setelah melakukan segudang aktifitas. Aku beranjak dengan malas dari pembaringanku. Duduk melamun beberapa menit, sambil memperhatikan wajah-wajah temanku yang sedang asyik tidur, dengan pose mereka masing-masing. Hmm.. lengkap dengan liur yang mengalir bebas dari sebuah ‘gua’. Hahaha… oke! Mandi dulu ye 😀

Sekitar jam satu lewat, aku mempersiapkan segala kebutuhan untuk “Amazing Journey” hari ini. Mulai dari baju ganti, handuk, makanan ringan, NU green tea, air mineral, handphone, kamera, binder, alat tulis, bedak bayi, hand and body lotion, kotak kacamata, keresek, hingga tas khusus baju basah, menjadi satu di dalam tas ransel kesayanganku dari SMP itu. Oke! Sudah siap!

Untuk mengisi waktu sampai jam tiga nanti, aku mengetik pada ASUS pembelian orang tuaku. Sekitar 5 menit setelah itu, kak Dini bangun dan pergi ke kamar mandi. Entah sudah berapa paragraph yang ku ketik, mataku mulai mengantuk lagi. Dan aku tertidur. Zzzzzz..

Nyaringnya weker teh Ira, membangunkanku dari ‘tidur lanjutan tersebut’. Teh Eneng menyuruhku untuk bersegera mandi. Aku tertawa mendengarnya. “Via udah mandi teh, tadi kebangun jam dua belas lewat hehe” lalu ia mangut-mangut. Aku mengucek mataku dan menggeliat. Lalu aku terdiam memperhatikan teman-teman asramaku pada sibuk mempersiapkan urusan mereka masing-masing. Aku bingung harus melakukan apa, karena semuanya sudah beres.

Teh Novi menaiki tangga besi tersebut. Lalu tiba-tiba saja berkata, “Via, kamu jadi ketua rombongan akhwat!” hah? Aku kaget sekaligus senang. “Kok bisa Via teh?”. Lalu ia terdiam. Rasa tanggung jawabku seketika saja membuncah ketika mendengar, bahwa aku yang dipilih sebagai ketua rombongan akhwat. aku segera beranjak dari tempat tidurku, lalu segera memeriksa kembali barang-barang yang ku bawa. Setelah merasa benar-benar siap atas segala kebutuhanku, aku memperhatikan lagi teman-temanku. Beberapa di antara mereka sudah siap dengan bawaan meraka masing-masing. Ada juga yang siap-siap mandi, dan ada yang masih sibuk memasukkan barang bawaan ke dalam tas mereka.

Waktu sholat Subuh sudah tiba. Teman-teman sekamarku melakasanakan sholat masing-masing. Saat itu, kebetulan aku sedang tidak sholat. Huh! Padahal aku pengen banget bisa ikutan berenang di Curug Luhur. Tapi, yasudahlah.

Sembari menunggu sarapan, aku dan teman-temanku bercanda gurau sambil membayangkan bagaimana keadaan di curug nanti. Wajah teman-temanku terlihat berseri-seri. Aku jadi tak sabar untuk memulai perjalanan ini.

Tik tok tik tok tik tok. Jarum jam terus berputar pada porosnya. Waktu terus berjalan. Tak terasa  arloji di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 06.00 am. Hari ini kita sarapan lebih awal dari biasanya, karena kita akan melakukan perjalanan yang mengesankan. Oke! Waktunya sarapan. Yummy :9

Sambil menyuap nasi dan rendang, abi Umar menyampaikan pesan-pesan di atas panggung berkapet warna merah. “Yang jadi ketua rombongan, Musa. Koordinasi ikhwan, Hawari. Dan koordinasi akhwat, Via yaa..”. Aku terdiam, tersenyum sejenak, lalu melanjutkan makan. Abi Umar berbicara panjang lebar. Kita semua mendengar dengan seksama.

Tak terasa, 45 menit terlewatkan. Kita semua dihimbau untuk menaiki angkot yang sudah di charter oleh Abi Umar. Ada 2 angkot. Satu angkot ditumpangi santri akhwat SMA. Dan satu angkot lagi ditumpangi santri akhwat SMP dan santri ikhwan SMA.

Sebelum masuk ke dalam angkot, kita berfoto ria sambil berpose dengan gaya kita masing-masing. Aku masuk paling akhir, ketika semua santri akhwat sudah masuk ke dalam angkot. Eh, ternyata santri akhwat SMPmasih pada belum masih masuk ke dalam angkot. Aku keluar lagi dari angkot dan menyuruh mereka agar segera masuk ke dalam angkot. Mereka mengaku, bahwa mereka malu kalau harus seangkot sama ikhwan. Dan itu aku anggap wajar. Tapi, akhirnya mereka mau masuk ke dalam angkot karena kita akan segera meluncur ke Curug Luhur Bogor. Let’s go!

ooOoo

Perjalanan terasa bisu. Sepi. Pagi terasa dingin. Entah mengapa, aku sedang ingin diam dengan duduk yang kurang nyaman seperti ini. Beberapa di antara mereka ada yang mengatakan, “tumben Via diam”. Aku hanya tertawa kecil lalu membuang tatapanku ke jalanan di depanku. Karena aku merasa benar-benar  tidak nyaman dengan posisi dudukku, “pak supir, saya boleh duduk di depan?” sontak, teman-temanku tertawa. “Hahahaha.. Enggak dapet anak muda, supir juga diembat” akupun ikut tertawa. Lalu lelaki setengah baya bernama yang tampangnya agak mirip dengan salah satu tokoh “Tuturtinular” tersebut mengiyakan permintaanku. “Sebentar dulu ya, saya cari tempat untuk minggir”. Sekitar 2 menit, angkot berhenti di depan rumah bercat warna putih. Lalu aku segera pindah tempat duduk depan di samping pak supir.

Teman-temanku heboh menyorakiku. “Cinta Via bersemi di angkat 02” spontan, aku tertawa cekikikan. Perutku sakit mendengar itu. Perjalanan terasa hidup kembali. Canda tawa terus mengalir sepanjang perjalanan. Tidak ada yang murung, apalagi diam.

“Dari Ciomas ke Curug Luhur, makan waktu kira-kira berapa menit pak?”

“Ya.. kurang lebih setengah jam lah”

“Ooh..”

Lalu aku sibuk memotret-motret objek-objek yang menurutku menarik. Perjalanan terasa lumayan lama namun mengasyikkan. Aku terus memperhatikan jalan. Beberapa bagian dari jalan terlihat macet dan sesak dipenuhi hiruk pikuk kendaraan.

Rombongan santri Pesantren Media Bogor, telah mamasuki perkampungan di dekat kaki Gunung Salak. Hawa dingin khas pegunungan menyergap masuk melewati jendela angkot. Aku heboh sambil menyebut asma Allah ketika meihat Gunung Salak yang berkabut di depan mata. Subhanallah cantik tiada kira. Walau berkabut, Gunung Salak terlihat sangat anggun.

Mungkin karena aku heboh, supir yang mengendarai angkot tersebut terheran-heran.

“Sebelumnya belum pernah ke sini neng?”

“Belum, soalnya saya dari Kalimantan”

“Wuih.. jauh banget. Kenapa milih sekolah di Bogor atuh neng?”

“Soalnya, pengen masuk pesantren.”

“Emangnya di sana ga ada pesantren?”

“Ada sih.. tapi kalau di Samarinda, pesantrennya kurang bagus”

“Oooh..”

Aku melihat mata air yang mengalir di bawah jembatan kecil yang dilewati oleh angkot ini. Jernih sekali. Hingga terlihat batu-batu bertumpukan di bawahnya.

“Airnya bersih yaa..”

“Iya neng”

“Di Kalimantan susah banget cari air bersih langsung dari alam kayak gini”

“Masa sih? Orang sini banyak yang kerja di sana. Banyak yang kerja di tambang minyak.”

“Oh.. gitu yaa. Kalau di kota, agak susah cari suasana hijau begini. Di pinggiran juga sekarang mulai susah.”

“Bukannya di Kalimantan itu banyak hutannya ya neng?”

“Iya, tapi sekarang hutannya udah pada gundul, terus juga tanah-tanahnya pada bolong. Soalnya pada di ambilin batu baranya sama orang-orang asing.”

“Oh, iyaya.. di Kalimantan kan banyak tambang batu bara ya neng”

“Iya. Itulah bodohnya orang-orang Indonesia. Punya banyak kekayaan alam, tapi malah di kasih ke orang lain.”

“Iya ya. Indonesia yang tadinya kaya, sekarang malah jadi miskin gara-gara kekayaanya dikeruk sama tangan-tangan haus kekayaan.”

“Curug Luhur juga udah dibeli sama asing. Jadi, pemandangannya udah secantik pertama lagi neng”

Aku mangut-mangut. Sebenarnya apasih susahnya mengelola sendiri kekayaan-kekayaan negri ini. Toh, ini semua juga milik kita. Tapi malah dijual seenaknya pada asing. Alam seakan menjadi hak milik Negara tanpa campur tangan masyarakat itu sendiri. MasyaAllah.

Aku mengeluarkan kamera dari sarungnya. Lalu memotret-motret kembali.

“Gunung Salak udah pernah meletus bang?”

“Jangan sampai lah neng. Tapi sampai sekarang emang belum ada tanda-tanda Gunung Salak bakal meletus.”

Gunung Salak semakin jelas terlihat dengan mata terlanjang walaupun masih tertutup kabut tebal. Subhanallah.. Subhanallah..  Sungguh cantik ciptaanmu ini ya ilahi..

ooOoo

“CURUG LUHUR FASILITAS BARU HARGA LAMA” itulah tulisan yang terpampang pada baliho ketika hendak memasuki areal Curug Luhur. Ini kok tempatnya bukan seperti hutan ya? Tapi lebih ke wahana air. Agak kecewa. Namun ketika masuk ke halaman parker, mataku sudah dimanjakan dengan pemandangan yang memukau. Belum lagi jembatan berwarna biru-hijau yang berlatar pemandangan Gunung Salak yang dihiasi dengan pohon-pohon yang rindang.

Semua rombongan santri akhwat, segera berkumpul di sana. Tunggu apa lagi? Jepret! Jepret! Blitz terpancar dari banyak kamera. Berpose-pose dengan gaya mereka masing. Setelah puas berfoto ria. Kita semua dihimbau untuk segera masuk ke areal air terjun.

ooOoo

Itu! Itu air terjunnya. Subhanallah cantik yaa. Air jernih meluncur bebas dari atas sana. Di sekitarnya terdapat kerikil-kerikil bertaburan. Oke! Jepret jepret lagi boleh dong hehehe. Nice picture.

ooOoo

Aku, selaku koordinasi akhwat memeriksa para anggotaku agar tak ada yang hilang. Aku terus menghitung jumlah anggotaku. Semua sudah lengkap. Oke! Kita letakkan dulu barang-barang di tempat yang pas.

ooOoo

Byur! Byur! Semua santri menceburkan diri mereka masing-masing ke dalam kolam renang yang tak jauh dari Curug Luhur tersebut. Aku ingin sekali berenang. Tapi, ya mungkin belum rezeki ku untuk merasakan bagaimana nikmatnya berenang di air bersih tersebut. Jadi, aku potret-potret saja semua hal yang menurutku layak dan unik menjadi objek.

 

 

Aku teringat beberaoa surah di dalam Al-Qur’an yang menceritakan tentang gunung dan air:

makna ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Swt menjadikan gunung-gunung sebagai pasak bumi?

Dalam literatur-literatur Islam disebutkan pelbagai tipologi dan ragam manfaat atas keberadaan gunung-gunung. Di antaranya bahwa gunung-gunung tersebut laksana pasak yang tertancap di atas permukaan bumi dan laksana timbangan-timbangan yang menyeimbangkan bumi. Keberadaan gunung-gunung tersebut dan tersebarnya gunung-gunung tersebut di sana-sini di atas permukaan bumi telah mencegah berubahnya bumi menjadi sebuah tempat yang tidak dapat didiami.

Sebagian ilmuwan kontemporer juga memandang urgen peran penyeimbang gunung-gunung bagi kelangsungan hidup di muka bumi. Atas dasar itu, kita harus memandang pasti bahwa maksud al-Qur’an yang menyerupakan gunung-gunung sebagai pasak bukanlah bahwa bentuk gunung-gunung tersebut seperti pasak karena kita melihat dengan mudah bahwa kebanyakan gunung tersebut tidak dalam bentuk seperti pasak. Sejatinya apa yang menjadi obyek perhatian al-Qur’an adalah bahwa sebagaimana dengan memanfaatkan pasak-pasak dapat mencegah robohnya bagian-bagian yang bersambungan, maka gunung-gunung juga memainkan peran serupa di muka bumi.

Sebagai pendahuluan jawaban, kita harus menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung peran gunung-gunung di muka bumi dan kemudian mencermati ajaran-ajaran agama. Di samping itu, dengan menilik pelbagai fakta yang telah diterima di dunia hari ini.

Banyak ayat-ayat al-Qur’an mengetengahkan peran gunung-gunung di planet bumi dan menjelaskan pelbagai kegunaan dan tipologinya. Di antara ragam kegunaan dan tipologi itu adalah sebagai berikut:

1.  Gunung-gunung dimanfaatkan sebagai rumah dan tempat perlindungan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.

2.  Ragam jenis bebatuan dan tanah dengan aneka warna yang terdapat di dalamnya.

3.  Mereka juga bergerak berbeda dengan bentuk lahirnya yang tampak permanen.

4.  Gunung-gunung bertasbih dan memuji Allah Swt.

5.  Gunung-gunung memainkan peran sebagai pasak bagi bumi.

6.  Gunung-gunung memelihara kesatuan dan keseimbangan bumi.

7.  Dan terakhir banyak ayat lainnya yang membincang tentang keadaan dan hancurnya gunung-gunung di hari Kiamat.

Bagian pertama dan kedua ayat-ayat yang menunjukkan kediaman manusia dan makhluk hidup lainnya. Demikian juga adanya ragam bebatuan di dalam gunung-gunung merupakan hal jelas yang tidak perlu penetapan dan pembuktian. Gerakan gunung-gunung juga meski pada masa lalu merupakan perkara aneh dan dipandang mustahil, namun  dewasa ini dengan asumsi adanya gerakan pada planet-planet dan terpisahnya secara perlahan planet-planet tersebut dari satu dengan yang lain dan juga dalam kalkulasi yang lebih kecil, dengan menyaksikan goncangan gunung-gunung dan terciptanya sesar-sesar gunung maka bagian ketiga yang disebutkan pada ayat di atas juga dengan mudah akan dapat dibuktikan.

Pujian dan tasbih gunung-gunung juga sesuai dengan ungkapan lugas al-Qur’an laksana tasbih makhluk-makhluk lainnya yang tidak dapat dicerap dan dipahami oleh kebanyakan manusia. Dan pengetahuan bagian ketujuh juga berada dalam wilayah kewenangan Allah Swt dan hanya sebagian yang disinggung pada dalam al-Qur’an tentangnya. Karena itu, kita tidak dapat menetapkan dan membuktikan hal tersebut melalui jalan dan metode material.

Namun sekaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an dalam hubungannya dengan bagian kelima dan keenam, hal itu masih  berada dalam jangkauan kita dan pertanyaan Anda juga berkenaan dengan bagian kelima dan keenam.

Harus dijelaskan bahwa pengetahuan manusia pada masa pewahyuan al-Qur’an tidak cukup memadai untuk mengetahui bagaimana terpancangnya gunung-gunung di atas bumi, ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung masalah ini dalam beberapa hal yang kemudian kebenarannya dapat ditetapkan. Di antara ayat tersebut bahwa Allah Swt menjadikan gunung laksana pasak, “wa al-jibâla awtada.”

Jelas bahwa yang dimaksud al-Qur’an bukanlah bahwa gunung-gunung tersebut memiliki bentuk seperti pasak, karena kebanyakan gunung yang dapat disaksikan dengan mudah oleh manusia, memiliki bentuk-bentuk yang lain. Sejatinya, al-Qur’an berada pada tataran menjelaskan bahwa gunung-gunung tersebut memainkan peran sebagaimana pasak. Hal ini juga ditandaskan pada ayat-ayat lainnya yang menyebutkan pemancangan gunung-gunung di muka bumi dan peneguhan gunung-gunung tersebut di muka bumi.

Pengetahuan manusia pada masa pewahyuan, hanya semata-mata melihat gunung dan tidak memiliki informasi tentang kelanjutan akar-akarnya hingga kedalaman sedimenter bumi. Namun dewasa ini jelas bahwa akar gunung-gunung laksana pasak yang menancap pada sebuah kayu dan memancang di atasnya. Hingga puluhan kilometer di dalam gunung bersambung dengan bumi. Kita tidak dapat memandang tertancapnya gunung laksana pasak sebagai persoalan yang sia-sia dan tanpa guna bagi bumi dan para penghuninya. Karena berdasarkan pengetahuan hari ini jelas bahwa betapa gunung-gunung  memainkan peran penting dalam mengarahkan angin-angin dan air-air dalam ekosistem bumi. Namun persoalan lainnya juga disebutkan dalam al-Qur’an bahwa sekiranya gunung-gunung yang laksana pasak menancap di bumi itu tiada maka hal itu akan mengeluarkan bumi dari kondisi ekuilibrium. Dan sebagai hasilnya kehidupan tidak akan berlangsung di dalamnya.

Pada ayat-ayat ini, digunakan redaksi-redaksi seperti, “an tamida bikum” (supaya bumi itu (tidak) mengguncangmu) dan “an tamida bihim” (supaya bumi itu (tidak) mengguncang mereka) yang mengungkapkan tiadanya keseimbangan dan ekuilibrium. Sekarang apa yang dimaksud dengan tiadanya keseimbangan ini? Apakah bermakna tiadanya keseimbangan bumi dan penyimpangan dari lintasannya? Atau hantaman taufan yang sangat kencang dan pada akhirnya, tiadanya stabilitas segala sesuatu yang terdapat di muka bumi? Dan seterusnya?

Bagaimana pun, apa yang dipandang sebagai sesuatu yang pasti dalam al-Qur’an dan riwayat-riwayat juga menegaskan hal itu, adalah bahwa ditancapnya bumi dengan gunung-gunung berguna sebagai penata perputaran kehidupan sistemik di dalamnya.

Banyak buku dan ragam site secara rinci dan detil menjelaskan masalah ini.  Apabila Anda tertarik untuk menelaahnya lebih jauh kami persilahkan untuk membaca dan merujuk pada buku dan site yang dimaksud. [IQuest]

Setelah puas memotret-motret dan memikirkan sesuatu. Aku mewawancarai seorang wanita yang berjualan di dekat Curug tersebut.

“Assalmu’alaikum. Boleh minta waktunya sebentar”

“Ada apa ya?”

“Saya mau Tanya-tanya tentang aktifitas di Curug ini boleh?”

“Oh iya boleh boleh..”

“Maaf, sebelumnya. Kalau boleh tau nama teteh siapa ya?”

“Yuli”

“Di sini jualan ya teh?”

“Iya dek..”

“Biasanya hari apa ajasih Curug ini ramai pengunjung?”

“Biasanya hari libur dek. Seperti hari Sabtu dan Minggu.”

“Ooh.. kalau hari libur, pengunjung yang datang di sini kira-kira ada berapa orang ya teh?”

“hmm, 500 lebih ada dek.. tapi kalau hari biasa, 50 juga kadang enggak nyampe”

“ooh gitu.. Curug ini bukanya sampai jam berapa aja teh?”

“Kalau curug, bukanya non stop. Mau siang, mau malam. Libur atau enggak libur tetap buka. Tapi kalau warung, bukanya Cuma sampai jam enam sore aja. Tapi, kalau sudah enggak ada pengunjung, kita tutup jam lima.”

“Ooh.. gitu… okedeh teh! Terimakasih banyak atas infonya ya.. Assalamu’alaikum”

“Walaikumsalam.” [Noviani Gendaga, santriwati angkatan kedua jenjang SMA, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai bagian dari tugas menulis reportase di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media

By Administrator

Pesantren MEDIA [Menyongsong Masa Depan Peradaban Islam Terdepan Melalui Media] Kp Tajur RT 05/04, Desa Pamegarsari, Kec. Parung, Kab. Bogor 16330 | Email: info@pesantrenmedia.com | Twitter @PesantrenMEDIA | IG @PesantrenMedia | Channel Youtube https://youtube.com/user/pesantrenmedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *