Loading

Cerita Sebelumnya..

Hadiah yang Berkesan

Sudah dua jam lebih aku menunggu di depan ruang operasi. Antara gelisah, bingung, dan ketakutan bercampur aduk di dalam hatiku. Mama dan Papa yang berada di kanan dan kiriku, terasa sangat mendesakku. Dalam desakkan keduanya, aku dapat merasakan kegelisahan mereka.

Aku bosan. Aku berdiri dan berjalan menuju Mushola. Hatiku sedikit tenang ketika aku berwudhu. Aku bergegas sholat. Sholat Sunnahku untuk Maisya. Entah apa yang mendorongku, sebanyak empat kali, aku melakukan shola dua rakaat ini.

Diakhir rakaat, aku terbayang wajah Maisya. Aku terdiam sesaat. Namun, aku langsung melanjutkan sholatku.

Aku sudah Ikhlas

“Assalamu `alaikum wr. wb.” Aku mengakhiri sholatku. Di pintu Mushola, aku melihat Mama sedang menungguku.

“Berdo`a dulu, Maila.” Aku tersenyum menatap Mama. Aku mengangkat tangan. Aku melantunkan do`a yang sehari-hari kubaca. Do`a mohon ampunan kepada Allah, untuk Mama dan Papa, untuk dunia dan akhirat. Juga do`a untuk Maisya.

“Ya Allah, aku mohonkan ampunan untuk Maisya, Ya Allah. Ya Allah, sembuhkanlah Maisya. Berikan kepadanya kesembuhan dan kesehatan.”

Setitik air mata mengalir di pipiku. Ini hanyalah sepenggal dari do`a panjang yang kupanjatkan.

Saat aku selesai berdo`a. Kulihat, Mama sudah tidak ada. Di depan ruang operasi juga tidak ada. namun, pintu operasi terbuka. Aku memegang gagang pintu, menahan nafas.

Pintu terbuka tanpa suara. Tidak ada yang menyadari kedatanganku. Semua sibuk kepada Maisya. Aku terpaku di depan pintu. Tanpa tahu apa yang harus aku lakukan.

Masih terdiam di pintu, di tengah kesibukan orang-orang yang mengurusi Maisya, samar-samar aku melihat bibir Maisya bergerak pelan. Aku mempertajam penglihatanku. Tangan Maisya bergerak. Aku terperanjat. Tidak ada yang menyadari gerakan Maisya.

Setengah berlari, aku menghampiri Maisya. Orang-orang panik melihatku berlari. Tapi aku tak menghiraukan mereka.

Maisya melihatku. Dengan sedikit tenaga, ia tersenyum tipis di antara selang-selang pembantu hidupnya. Aku menitikkan air mata. Namun, segera kuhapus agar Maisya tidak sedih. Aku tersenyum semanis mungkin.

Dokter dan para asisten dokter melepas selang-selang dari Maisya begitu melihat Maisya menggerakkan mulutnya. Aku mendekat. Mulut Maisya bergerak tanpa suara.

Terima Kasih Katanya. Aku mengangguk. Maisya memejamkan mata. Aku menahan nafas. Aku tersenyum melihat alat pendeteksi jantung masih berdetak.

Pergilah, aku sudah Ikhlas

Maisya masih belum sadarkan diri. Aku tetap setia menunggunya. Dalam wajahnya, Maisya seperti gelisah. Aku menatapnya keheranan.

Papa datang membawakan coklat hangat kesukaanku. Papa menarik kursi ke sebelahku. Beliau duduk tersenyum di sebelahku.

“Coklat?” Papa menawarkan. Tanpa menjawab, aku mengambilnya dari tangan Papa. Sambil sesekali menyeruput, aku bertanya kepada Papa,

“Pa, Maisya kenapa?” tanyaku menatap Maisya lagi. Papa ikut menatap Maisya.

“Memang ada apa?” kata Papa tidak mengerti. Aku mendengus.

“Papa tidak merasa? Maisya terlihat gelisah.” Kataku memegang tangan Maisya yang diinfus. Papa mengangguk.

“Sepertinya, ada keinginannya yang belum tercapai.” Kata Papa. Mendengar itu, aku terperanjat.

“Keinginan?” kataku setengah berteriak. Perlahan, aku menangis. Papa melihatku iba. Ia memelukku. “Papa. Maisya ingin aku mengikhlaskan kepergiannya nanti. Tapi, aku belum siap.” Kataku sesenggukkan. Detak jantung Papa berdetak kencang. Papa tidak berkata apa-apa. Papa menitikkan air mata. Tiba-tiba, Mama memegang pundakku. Beliau memelukku.

“Ikhlaskan Maisya, Nak. Agar Maisya tenang.” Kata-kata Mama membuahku semakin mengeraskan tangisanku. Kami terdiam. Hanya terdengar tangisanku dan alat pendeteksi detak jantung. Melepas tangan Maisya, aku berkata,

“Bagaimana jika aku mengikhlaskannya?” tanyaku setengah berbisik di sela-sela tangisanku. Mama dan Papa berpandangan.

“Maisya bisa pergi dengan tenang tanpa gelisah.” Kata Mama.

“Maisya bisa langsung pergi tanpa harus menanggung sakit terlalu lama.” Sambung Papa. Aku menatap Mama dan Papa bergantian.

“Baiklah.” Kami kembali diam. Baiklah, Maisya. Aku akan mengikhlaskan kepergianmu. Bisik hatiku.

Tiba-tiba, tangan lemah Maisya memegangku. Aku, Mama dan Papa menatap Maisya. Ia tersenyum manis.

“Tiiiit..” Maisya menutup mata. Aku menahan nafasku beberapa saat. Aku menitikkan mataku perlahan. Begitu pula Mama dan Papa. Satu kata terakhirku untuknya,

“Maisya, aku mengikhlaskanmu..”

Selesai

By Fathimah NJL

Santriwati Pesantren Media, angkatan ke-5 jenjang SMA. Sudah terdampar di dunia santri selama hampir 6 tahun. Moto : "Bahagia itu Kita yang Rasa" | Twitter: @FathimahNJL | Facebook: Fathimah Njl | Instagram: fathimahnjl

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *