Sejak kecil, aku suka dengan hewan. Semenjak belum kukenal apa itu sekolah dan apa itu guru. Juga sebelum aku mengenal apa itu barat, timur, utara, dan selatan. Sekecil itu, aku sudah terbiasa terlelap di ranjang dengan seekor kucing melingkar di ujung kaki. Saling menyentuh, saling memberikan kenyamanan.
Masih kuingat, kucing pertamaku namanya Labus. Seekor kucing jantan berperawakan sangar, suka bikin gara-gara dengan kucing lain, dan sering pergi jauh. Jauh sekali. Melebihi wilayah bermain masa kecilku kala itu.
Sebenarnya Labus adalah tipe kucing ‘kelelawar’. Pergi malam pulang pagi. Entah apa yang dia lakukan semalam suntuk di luar sana. Yang jelas, ketika pulang ke rumah, seperti halnya kucing peliharaan lainnya, kesan sangar itu sedikit menguap. Yang muncul kemudian adalah kesan manja dan menyenangkan layaknya kucing peliharaan lainnya.
Hanya saja, semenjak kehadiran kucing keduaku, Mangges namanya, kebiasaan Labus tidak pulang ke rumah semakin menjadi-jadi saja. Seolah-olah dia ingin protes, kenapa harus ada kucing baru? Kurang lucukah diriku?
Labus menjelma bak seorang anak kecil yang cemburu dengan kehadiran seorang adik baru. Tak mau berbagi kasih sayang. Tak rela jatah cintanya dibagi dua. Labus juga menunjukkan ketidaksukaannya pada Mangges dengan selalu sinis jika saling jumpa.
Padahal, Mangges yang kala itu masih mungil ingin sekali mengajak Labus bermain-main. Namun urung ketika Labus spontan menunjukkan seringai seramnya dan bergegas pergi ke luar rumah. Pergi yang lama sekali kembali. Bahkan hingga tiga hari. Pulang kadang hanya untuk makan dan minum. Kemudian pergi lagi. Membuat hati ini dag-dig-dug tak karuan. Cemas. Bagaimana kalau dia kenapa-napa di jalan? Tertabrak mobil misalnya. Atau terluka setelah bertarung dengan kucing lain.
Sebenarnya, waktu itu aku tidak berniat ‘mengadopsi’ kucing lagi. Meskipun Labus memiliki kebiasaan jarang pulang, aku sudah cukup dengan satu ekor kucing itu. Hingga suatu hari ketika ibu mengajakku pergi ke pasar, tiba-tiba tangan beliau menunjuk ke salah satu sisi pasar.
“Lihatlah, Nak. Ada anak kucing nih. Ekornya pendek banget. Unik.” Ujar ibu sambil menimang-nimang anak kucing yang waktu itu nama Mangges belum melekat padanya.
Maka sejak itulah, kucing dengan panjang ekor hanya separuh panjang jempol kecilku itu tinggal di rumah. Tumbuh dengan segala sifat baiknya; lucu, lembut, dan satu hal yang membedakannya dengan Labus, ia jarang keluar rumah serta jarang mencari gara-gara dengan kucing lain. Kalau pun pergi, tidak akan lama dan tidak terlalu jauh.
Oleh karenanya, Manggeslah yang lebis sering menemani malam-malamku daripada Labus. Begitu melihatku beranjak tidur, ia akan segera menempati posisinya. Tidur melingkar di ujung kakiku. Saling menyentuh. Saling memberikan kenyamanan.
Itu ceritaku tentang kucing-kucingku di masa lalu. Namun kalian juga perlu tahu, bahwa ibuku dulu juga memelihara beberapa ayam. Selayaknya kedekatanku dengan Labus dan Manggis, aku juga dekat dengan ayam-ayam ini.
Ketika pagi menjelang, setelah meletakkan panci berisi beras di atas tunggku, biasanya ibu akan segera beranjak ke pekarangan rumah. Membuka gembok yang mengunci pintu kandang ayam. Dan setelah pintu kandang itu dibuka, berhamburanlah beberapa ekor ayam dari kandang itu. Ayam-ayam ini antusias keluar kandang. Seolah-olah baru keluar dari panci bertekanan tinggi.
Ayam-ayam ini jinak sekali. Ketika ibu memberinya makan, tak ada sedikitpun gerak-gerik mereka yang merepresentasikan ketakutan pada pemiliknya. Biasa saja. Seolah-olah di mata mereka, aku dan ibuku ikut menjelma menjadi dua ekor ayam sahabat mereka.
Di antara beberapa ekor ayam yang sudah jinak itu, ada salah satu ayam yang begitu dekat denganku. Seekor ayam jantan yang kuberi nama Si Cettik. Ia melangkah ke mana pun aku melangkah. Berdiam di manapun aku duduk. Mendekat ketika kulambaikan tangan. Bahkan ketika aku pulang sekolah, Si Cettik akan berlari menyambutku meskipun di matanya aku baru terlihat di ujung jalan yang jauh. Membuat para tetangga geleng-geleng kepala, kok bisa?
Pertanyaan ‘kok bisa?’ ini juga terlontar oleh teman-teman satu asrama di pesantren. Ceritanya begini. Suatu ketika, anak kyai kami memelihara ayam. Kandangnya ditempatkan di halaman asrama ikhwan (pria). Lama-lama, si ayam punya anak kyai kami ini mau ‘bersahabat’ juga denganku. Tepatnya hanya denganku. Karena kecuali denganku, ayam ini memang tidak mau didekati oleh siapa pun. Termasuk tidak mau didekati oleh pemilik resminya, anak kyai kami.
Ketika teman-teman satu asrama harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menangkap ayam ini, maka cukup bagiku melambaikan tangan memanggilnya. Maka tak perlu repot mengejar, ayam ini akan mendekat padaku dengan sendirinya. Seolah-olah dia mengerti bahwa aku memanggilnya mendekat.
Bagaimana ini bisa terjadi? Ah, sebenarnya kalau disuruh menjawab ini, aku juga bingung. Yang jelas, ketika berhadapan dengan mereka, aku memang merasakan sebuah bentuk komunikasi. Komunikasi yang entah memang tidak keluar melalui untaian kata, tapi melalui sesuatu yang terpancar dari tatapan mata, mimik wajah, cara mereka bersuara, dan lain sebagainya yang sebenarnya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Meskipun tidak diungkapkan dengan kata, aku tahu Labus cemburu akan kehadiran Mangges kecil. Walaupun tidak menyapa dengan kata, aku tahu Si Cettik gembira luar biasa ketika melihat aku pulang sekolah. Dan meskipun tidak dengan kata, ayam anaknya kyai kami tahu bahwa aku memanggilnya sehingga ia datang mendekat. Semuanya diungkapkan dengan dengan tulus. Jujur tanpa mengada-ada.
Berbeda sekali dengan manusia. Mahluk yang katanya paling ‘canggih’ ini kadang juga canggih dalam hal bermain-main dengan ketulusan. Hingga lahirlah uangkapan, ‘dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati manusia siapa yang tahu’. Maka ‘wajar’ jika ada manusia yang lebih sadis dari binatang. ‘Wajar’ jika ada manusia bermuka dua. Dan ‘wajar’ pula jika ada manusia yang tidak sinkron antara kata-kata dengan perbuatannya.
Yang jelas, aku sangat merindukan kalian semua; Labus, Manggis, Si Cettik, dan ayam anaknya kyai kami. Kapan bisa bertemu lagi? Ah, rasa-rasanya tidak akan pernah kita bertemu lagi. Namun tak mengapa, kalian akan selalu ada di sini. Di dalam dada ini. Kuijinkan kalian tinggal di ruang memori. Di sudut-sudut hati.[]
[Farid Ab, santri jenjang SMA, Pesantren Media]