Loading

 

Tidak terasa kini aku sudah tidak tinggal lagi dengan orangtuaku. Kini aku tinggal dengan laki-laki yang menikahiku. Rasanya berat untuk berpisah dengan Umi dan Abiku. Hari pertama tinggal di rumah baru. Aku dan suamiku sibuk mengatur barang-barang yang kita bawa. Rumah yang kecil untuk keluarga yang kecil.

Aku senang sekali baca, sampai-samapai buku yang aku bawa memenuhi perpustakaan kecilku. Saat aku membereskan buku-buku, ada satu buku yang terlihat kusam. “Sepertinya buku ini sudah lama” gumamku dalam hati. Aku mengambilnya dan membuka lembar demi lembar. Ternyata itu buku diary Umiku. “Semua isi hati Umiku ada di dalam buku ini” sambil memegang buku diary. Setelah aku buka lembar demi lembar, “Indri Juliani, 1 tahun”. Namaku ada dalam diary Umiku. Tanggal dan harinyapun ada dalam lembar itu.

Aku mulai membacanya, “ kamis, 14-08- 1987. Anakku, semoga kau mendapatkan rahmat dan hidayah dari Allah SWT. Dari kecil kau kudidik, kupeluk dan kuciumi kusayangi disetiap desah nafasmu. Semoga kau menjadi anak yang pintar dan sholihah yang berbakti pada Umi dan Abimu.  Bersujud pada Allah SWT. Walaupun selama ini, Umimu belum bisa memberikan yang terbaik untukmu hingga usiamu kini setahun sudah. Umi hanya bisa menangisi nasibmu. Semoga kau tidak senasib dengan orangtuamu, derita terus-menerus berkepanjangan.” Ternyata ini isi hati Umiku saat aku usia satu tahun.

Aku lanjutkan untuk membaca, “Semoga kau bisa jadi anak yang di sayang dan dikagumi oleh semuah umat islam, tidak dicemoohkan orang lain dan juga tidak dipermainkan orang lain. Semoga hari-harimu mendapatkan kebahagiaan, Umi hanya bisa mendo’akanmu hari demi hari. Semoga kau mendapatkan jalan yang diridhoi oleh Allah SWT, aminn. Jika aku memperhatikanmu, semakin hari semakin pintar berceloteh. Tapi Umimu semakin sedih melihat nasib dan perjalanan hidupmu. Hari-harimu semakin cerdas semakin ku kagumi semakin kusayangi.” Semakin jauh aku membaca, semakin aku penasaran.

Lalu aku lanjutkan kembali membaca, “Oh tuhan bukakanlah pintu nasib anakku jangan sampi ia terlantar oleh cinta kasih sayang. Tak kuasa aku melihat dia seperti itu. Hatiku hancur hatiku sedih melihat nasibnya. Tapi apa dayaku sebagai Ibu, tak mampu berbuat apa-apa. Tangisku takpernah berhenti sambil memohon padamu ya Allah. Semoga engkau memberikan rizkinya dan belas kasih sayangnya. Satu persatu keadaanmu mulai menipis bajupun tinggl 3 helai yang lain Cuma bekas orang.” Air mataku tidak terbendung lagi, akhirnya aku meneteskan air mata. Semiskin inikah dulu keadaanku?, “batinku kesal”.

Aku hapus ari mata di pipiku. Ku lanjutkan kembali untuk membaca. “Setahun sudah usiamu. Semoga engkau menjadi orang yang pintar dan murah hati dan di sehatkan rohani dan jasmaninya, kau tidak di lemahka. Umi hanya bisa mendoakanmu selagi Umi masih bisa bernafas. Akan Umi laksanakan segala kekuranganmu dan keinginanmu selagi Umi masih mampu mencapai segala cita-citamu, akan Umi usahakan. Cuma kau tumpuan satu-satunya yang bisa menutupi kepedihan dalam batin seorang ibu. Tanpa kau di sampingku serasa hampa dan jika kau tidur serasa sepi hidupku. Sering aku tatapi wajahmu danku tangisi mengapa nsib kita seperti ini?. Anakku kehidupan semakin kejam. Semoga kau tak akan pernah melihat masa lalau Umimu. Pahit dan getir pernah dirasakan. Dari pintu ke pintu mengharap belas kasih. cinta dan kasih sayang telah sirnah kehidupan telah merubah segalanya.”

Setelah membaca surat Umiku, aku melamun. “betapa sulitnya dulu kehidupanku. Betapa sakitnya hati orangtuaku. Betapa besarnya perjuangan mereka untuk membesarkanku. Tapi… selama ini aku hanya melihat yang ada. Aku tak pernah memikirkan bagaimana orangtuaku mencari uang. Aku selalu mengeluh bila keinginanku tidak dituruti. Aku tidak pernah bersyukur dengan apa yang ada.” Tiba-tiba suamiku memegang pundakku, dan mengusik lamunanku. “kamu kenapa?”. “tadi aku menemukan buku diary Umi. Aku baca. Isinya tentang aku waktu kecil.” Semuah yang aku baca, aku ceritakan pada sumiku.

[Holifah Tussadiah, santriwati angkatan ke-2 jenjang SMA, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis cerpen di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By Farid Ab

Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1 jenjang SMA (2011) | Blog pribadi: http://faridmedia.blogspot.com | Alumni Pesantren MEDIA, asal Sumenep, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *