Part 2.
Dear diary…
Bolehkah aku merangkai sebuah kata,
Untuk sekedar tahu, apa iya yang kurasakan?
Seperti inikah yang dirasakan?
Lembut sikapnya membuat penglihatanku menjadi indah
“Menulis apa sayang?!” Mama tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Aku segera menutup buku diarynya. Berharap Mama tidak sempat membacanya.
“Eh Mama! Kapan ke sininya kok Winnie nggak ngeliat?” Aku takut ketahuan sama Mama.
“Gimana Winnie mau liat, orang sibuk sama tulisannya.” Mama membelai rambutku. “Jangan malam-malam!” Mama berbisik di telingaku.
“Ma, ada nggak orang yang baru melihat sekali, terus orang itu langsung jatuh cinta.” Aku perbaiki tempat dudukku. Mama mengernyitkan dahinya. Berfikir.
“Kenapa Winnie nanya kayak gitu?” Mama curiga.
“Uh-oh, nggak. Pengen tahu aja. Heheh.” Aku Nyengir. Lalu segera kuraih selimut di dekat kakiku dan berbaring.
“Jangan lupa berdoa!” Kata Mama sambil mematikan lampunya.
…
Bergabung di mading sebetulnya adalah keinginanku sejak aku kelas satu SMP. Berawal dari kalimat-kalimat inspiratif yang ditulis seseorang dengan nama yang disamarkan. Kalimat itu sangat menginspirasiku. Isinya selalu tentang wanita. Sepertinya dia sangat memuliakan wanita.
Aku penasaran. Sampai saat ini aku masih juga belum mengetahui siapa pembuatnya. Dia begitu misterius. Tak ada yang mengetahuinya. Aneh.
“April! Sebentar dong! Aku mau baca ini dulu!” Aku menahan April melangkahkan kakinya menuju kelas.
“Wahai Ukhti kamu amat mahal dan berharga sekali, pernahkah terlintas dalam benakmu bagaimana seorang pembeli membolak-balik barang yang ingin dibelinya? Jika ia tertarik dan membelinya, ia akan meminta kepada sang penjual agar ia diambilkan barang baru sejenis yang masih tersusun di atas rak. Ia ingin agar yang dibelinya adalah barang yang belum pernah tersentuh oleh tangan manusia.
Renungkanlah perumpamaan ini baik-baik dari sini kamu akan tahu betapa berharganya dirimu jika kamu menyembunyikan apa yang harus kamu sembunyikan”
Ahmar Syamsa
“Aku lihat kamu selalu rutin berdiri di depan mading, selalu yang pertama lagi. Dan selalu berdiri tepat di pojok sini. Kamu suka?” Dia laki-laki itu. Aku berdebar-debar.
“Aku suka! Aku suka!” April teriak. Matanya berbinar-binar.
“Pril!” Aku mencubit tangannya memberi kode. Tapi dia tetap saja seperti itu. Dasar genit. Kemudian aku tarik paksa April menuju kelas. Kasihan sih. Tapi mau gimana lagi, daripada malu-maluin.
“Iiih Winnie! Kamu apaan sih, nggak bisa liat orang senang ya!” Dia cemberut. Bibirnya lucu kalau lagi kayak gitu. Mirip pantat ayam.
“Tapi nggak kayak gitu juga Pril, malu tahu! Amalkan ilmu islam yang udah kita dapat waktu pengajian. Ghadul bashar!” Kemudian aku duduk. April malah mendekati tembok lalu nempel di situ kayak cicak.
“Ckckck.. Ngapain sih! Lebay!” Aku tertawa geli dan menggeleng melihat tingkahnya.
“Kamu tahu nggak Ahmar Syamsa itu siapa. Dia itu laki-laki itu! Kak Lukman!” Aku terkejut mendengarnya.
“Jadi.. dia..” Aku menghela nafas tak percaya. “Haduh! Gawat!” Aku menelan ludah.
“Kenapa?” Tanya April. Tapi aku tak menjawab.
…
Dengan nafas yang terengah-engah setelah berlari berusaha menghindar dari April, aku terhenti saat melihat dia.
“Laki-laki itu! Duuh kenapa dia ada di sini. Kalau balik lagi, aku bisa ketemu April nanti. Gak ah! Aku nggak enak.” Batinku. Aku pura-pura memperbaiki kerudungku supaya tak terlihat olehnya.
Hari ini aku tidak mau pulang bareng April. Aku takut April masih saja menceritakan laki-laki itu di depanku. Aku malu mengakuinya. Aku sakit hati. Mungkin aku juga sama seperti April, aku juga menyukainya.
…
“Winnie, sini Dek! Mama mau bicara.” Aku harap-harap cemas. Takut Mama mau membahas pertanyaanku yang waktu malam itu.
“Cinta. Kata itu sudah menjadi fithrahnya manusia untuk tinggal diam dalam dirinya. Bahkan sudah mewarnai kehidupan manusia.” Deg! Ternyata benar dugaanku. “Cinta mampu membuat orang-orang menjadi semangat!” Mama menatapku lekat-lekat.
“Mama… tahu?” Aku memastikan. Mama hanya tersenyum. “Apakah boleh Winnie menyukai lawan jenis Mama?” Aku menangis. Aku bingung antara malu dan takut.
“Tentu boleh sayang. Karena itu sudah menjadi fithrahnya manusia. Tapi bukan berarti harus dituruti dan akhirnya tak terkontrol. Kita harus tetap menjaganya agar tidak terkotori oleh nafsu sesaat.” Mama menyeka air mataku kemudian memelukku.
“Apa yang harus Winnie lakukan?” Aku melepas pelukan Mama.
“Simpan rasa itu, tata dengan rapi dan ekspresikan ketika memang sudah halal untuk diekspresikan. Winnie sudah siap menikah bukan?” Mama mencoba menggodaku. Aku menggeleng.
Bersambung…
[Neng Ilham Raudhatul Jannah, santriwati Pesantren Media, angkatan 1 tingkat SMA]