Part 1.
“Dia tersenyum untukku” kalimat itu selalu diucapkannya sepanjang waktu. Saat makan di kantin, mengerjakan tugas, duduk, di kamar mandi, di dapur, bahkan dia katakan juga kalimat itu pada orang lain. Ketika kutanya siapa yang dimaksud, April cuma mesem-mesem. Aku tambah penasaran.
Ketika itu di siang hari, aku berjalan menyusuri trotoar niatnya mau pergi ke tempat potokopian, tiba-tiba temanku menarikku ke balik pohon. Aku terkejut. Aku pikir ada yang mau menculikku.
Ternyata April mau menunjukkan sesuatu, sesuatu yang selama ini membuatku penasaran. Aku baru tahu ternyata April sedang suka pada seseorang. Dan dia adalah kakak kelasku. Aku heran bisa-bisanya April menyukainya, apa yang menarik dari orang itu. Nggak ada istimewa. Nggak ada sesuatu yang beda. Nggak ada yang bisa dibanggakan.
“Apa dia menyukaiku juga ya, Winnie?” Katanya. Waktu itu aku sedang menggunting benang-benang yang terurai di bawah jilbabku.
“April… bukankah dia memang seperti itu, selalu senyum pada semua orang? Jangan terlalu berharap, nanti kamu menyesal.” Aku berusaha meyakinkannya, apa yang dia lihat apa yang dia rasakan belum tentu sama dengan kenyataannya. Tapi dia tak mau mendengarkanku. Dia tetap bersikukuh pada pendapatnya.
…
Aku dan April sebenarnya nggak dekat-dekat amat. Tapi karena rumahnya bersebelahan dengan rumahku, jadi setiap hari kami selalu ketemu, kalau ke sekolah atau pulang sekolah kadang bareng.
April orangnya supel. Dia bisa sama siapa aja berteman. Dia memang pandai bergaul. Kocak dan ramai juga orangnya. Semua pekerjaan dianggapnya gampang. Misalnya matematika, dia anggap gampang padahal dia tidak bisa mengerjakannya. Tapi yang membuatku kagum dia paling tidak suka mencampuri urusan orang lain.
Dia juga suka sesuatu yang berbau tantangan dan petualangan, misalnya pramuka dan naik gunung. Beda jauh dengan aku, aku lebih suka membuat tulisan-tulisan fiksi dan non fiksi, kadang-kadang cerbung, cerpen, puisi, pantun, artikel, opini, catatan perjalanan. Aku nggak suka sesuatu yang membuat bajuku kotor dan badanku berkeringat.
Aku juga lebih suka menghabiskan waktu istirahatku di Mushola. Karena ku pikir di Mushola itu sepi. Aku nggak suka tempat-tempat yang ramai. Jangan dipikir tempat seperti perpustakaan itu sepi, di sekolah-sekolah lain mungkin iya, tapi tidak di sekolahku. Seperti orang-orang yang sedang berjual-beli di pasar. Aneh memang, ya seperti itulah.
…
Setiap hari kamis aku selalu pulang sore, karena di hari itu jadwalku untuk berkumpul dan berdiskusi dengan teman-teman madingku. Biasanya pulang dulu untuk sholat, makan siang dan ganti baju. Tapi kali itu aku sedang malas bolak-balik ke rumah lalu ke sekolah lagi. Mungkin karena udara yang sangat panas yang membuatku malas seperti itu.
“Cari sajadah ya, De?” aku sedang mengobrak-abrik lemari mushola.
“Iya, Kak. Eh!” Aku gugup. Ternyata yang menyapaku adalah laki-laki yang disukai April. Aku tidak tahu namanya, tapi wajahnya aku kenal.
“Semua sajadah mushola sedang dicuci karena sudah kotor, ini pakai sajadah kakak aja.” Dia mengeluarkan sajadah tipis dari tasnya. “Kok bengong?” Dia keheranan melihat aku diam saja.
Aku diam karena kaget dan takut. Kaget karena laki-laki itu tiba-tiba muncul. Dan takut karena waktu itu di mushola perempuannya cuma aku. Takut ada orang yang melihat dan menganggap lain nanti bisa jadi gosip di sekolah. Aku tahu banget gimana prasangka teman-teman di sekolahku itu.
“Nggak usah, Kak. Saya sholat ashar di rumah aja. Makasih.” Dalam hati nggak mungkinlah aku terima, nanti gimana caraku untuk mengembalikannya. Aku nggak begitu suka berinteraksi dengan laki-laki.
“Jangan terlalu lama di sini, segera pulang, nggak baik,” lagi-lagi dia membuatku bengong. Lembut sekali, aku bisa membedakan mana orang yang so’ cari perhatian dan mana orang yang tulus, nggak dibuat-buat. “Udah selesai kan kegiatannya?” Katanya lagi.
Mungkin itu yang membuat April bisa menyukainya. Laki-laki itu memang berbeda. Kalau boleh aku berkata-kata, sesuatu itu memang tak bisa dijabarkan, tak bisa dijelaskan, tak bisa diuraikan, tak bisa diumpamakan dengan apapun. Hanya bisa dirasakan tak bisa diungkapkan.
Bersambung…
[Neng Ilham Raudhatul Jannah, santriwati Pesantren Media, angkatan 1 tingkat SMA]
Ini karyanya siapaaa!
emang kenapa gitu?
kagak ada nama penulisnya