Loading

nenek-tua-litePagi masih kejam. Dingin memaksa masuk, menusuk tulang rusuk. Dinginnya membekukan darah dan mengatupkan rahang gigi manusia. Langit hitam pekat. Gelap. Masih seperti malam. Embun tebal menyelimuti bumi. Bulan masih menggantung rendah pada gumpalan-gumpalan awan keabuan itu.

Jalan raya terasa sepi. Deruan kendaraan sayup-sayup terdengar. Benda mati bermata tiga, berkaki satu itu berkedip-kedip berwarna oranye di perempatan jalan raya. Aspal terasa basah efek dari kepulan embun dini hari. Arloji menunjukkan pukul 05.00 tepat. Sebuah kendaraan beroda tiga terparkir di halaman rumah kumuh di pinggiran kota. Seorang nenek tua berjalan tergopong-gopoh menuju becak kesayangannya. Sepatu usang tak bermerk itu ia kenakan pada kakinya yang keriput. Ia segera menaiki kendaraan satu-satunya yang ia miliki itu. Pagi ini ia harus menafkahi keluarga miskinnya. Seorang kakek tua berdiri dengn mulut yang miring ke kanan. Beliau terserang penyakit stroke. Setelah mencium tangan suaminya, sang nenek tua mengenjot pedal becaknya. Dingin menggigit tubuh kurus kering nenek tua itu.

***

                Mentari menyongsong. Hangatnya mulai terpancar dari cahanya yang kuning keemasan. Nek Ijah telah berada di pangkalan becak 2 kilometer dari rumahnya. Hiruk pikuk kendaraan roda 4 dan roda 2 menghiasi jalan raya kota metropolitan tersebut.

Nek Ijah duduk termangu menatap dedaunan kering di permukaan tanah. Tangannya memukul-mukulkan topinya ke atas kepalanya. Sampai jam segini, kenapa belum ada yang naik becakku yaa? Gumamnya dalam hati. Ia teringat beberapa tahun silam, begitu mudahnya hidup ia rasakan. Sebelum suaminya terserang penyakit mematikan itu, ia adalah seorang ibu rumah tangga yang mendidik anak-anaknya di rumah. Namun, 3 tahun kemudian, ketika nek Ijah telah menginjak umur genap 67 tahun, tiba-tiba saja kaki kiri Kakek Papad lumpuh dan separuh badannya tidak berfungsi. Begitu bany…

“Nek! Melamun aje! Anterin saya ke sono dong!” seorang ibu-ibu membuyarkan lamunannya.

“Eh iye iye, bentar yee” sahut nek Ijah malu-malu, karena tertangkap basah sedang melamun oleh penumpang setianya itu.

Lalu ia naik ke atas sepedanya, dan ibu-ibu tadi ia minta untuk segera duduk di kursi becak. Ia kembali mengayuh becak tuanya itu. Ia berusaha keras untuk mengenjot becaknya itu. Gempalnya badan ibu-ibu tadi, membuatnya mengayuh dengan tenaga ekstra. Keringat mengucur bebas di pelipisnya yang keriput.

Ketika hendak membelokkan becaknya ke kanan jalan, tiba-tiba saja sebuah truk pengangkut semen menghantam keras tubuhnya. Darah bercucurah dari mulut dan dahinya. Ia tak sadarkan diri.

***

                Matahari telah kembali ke peristirahatannya. Langit tak lagi biru, melainkan keunguan. Sore berganti malam. Ribuan suara jangkrik terdengar di seluruh pesawahan.

Kakek Papad mengetuk-ngetukkan telunjuknya di atas meja jahit. Dari raut wajahnya, sangat jelas terlihat bahwa ia sedang khawatir. Adzan Maghrib telah usai, namun isterinya masih belum juga tiba di rumah. Ia membuang tatapannya ke luar jendela. Sepertinya, malam tak lagi bersahabat dengannya. Hujan deras turun secara tiba-tiba. Tongkatnya jatuh di depan kakinya. Kakek Papad terjatuh dan ujung meja menghantup keningnya, darah segar keluar dari dahinya. Ia meringis. Sambil mengesot perlahan, Kakek Papad mengambil tongkat yang tak jauh darinya. Lalu ia berdiri sambil berjalan terseok-seok ke arah pintu.

Ketika di ambang pintu, seorang tetangganya datang kepadanya dengan tergesa-gesa.

“Kek! Nek Ijah kek!” katanya, ngos-ngosan.

“Ek.. iahh, ke.. aa, paa?[1]” tanyanya denga terbata-bata. Semenjak terkena stroke, ia tak lagi dapat berbicara dengan sempurna. Tetangganya mengendongnya buru-buru, lalu menerobos hujan yang deras itu.

Sofwan (tetangga Kakek Papad) menurunkan kakek Papad di depan rumahnya yang sederhana.

“Tunggu sebentar ya kek, Sofwan ambil motor dulu..” ujarnya Sopan, dan ia bergegas mengambil motornya. Kakek Papad mengangguk sambil menyeka air matanya. Firasat buruk menyelimuti malamnya itu.

“Ayok kek” kata Sofwan sambil menaikkan Kakek Papad ke atas motor. Lalu ia mengenakan mantel birunya.

“Pegangan ya kek” sambungnya. Lalu motornya melaju.

***

Hujan begitu deras. Angin tak kalah kencangnya. Dan itu membuat Sofwan kesusahan untuk mengendalikan penglihatannya walaupun lampu motornya sudah menyala. Ia menyipitkan mata untuk berkali-kali mencoba menebak apakah ada kendaraan di depannya. Namun, nasib baik tak berpihak kepadanya begitu juga dengan Kakek Papad. Sebuah mobil Avanza hitam melaju kencang dan menabrak kuat tubuh kedua pengendara motor tersebut. Sofwan dan Kakek Papad, tewas di tempat.

***

Wanita bertubuh gempal bolak-balik di depan ruangan Rumah Sakit Setia Budi. Ia resah bukan kepalang ketika Nek Ijah, pengendara becak langganannya tertabrak truk semen. Dan itu ia lihat di depan mata kepalanya sendiri ketika Nek Ijah akan mengantarkannya pulang ke rumah.

Seorang dokter keluar dengan wajah yang pucat. Suhu ruangan terasa sangat dingin. Belum lagi ditambah dengan derasnya hujan dan kencangnya angin malam itu.

“Mohon maaf bu, jiwa nenek itu tidak dapat diselamatkan” lalu dokter itu meninggalkan wanita bertubuh gempal itu. Bu Nita tertunduk, dan tak kuasa menahan tangis.

Malam itu adalah malam terakhir ‘mereka’.



[1] Nek Ijah kenapa?

[Noviani Gendaga, santriwati angkatan ke-2 jenjang SMA, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis cerpen di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By Farid Ab

Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1 jenjang SMA (2011) | Blog pribadi: http://faridmedia.blogspot.com | Alumni Pesantren MEDIA, asal Sumenep, Jawa Timur

One thought on “Akhir dari Sebuah Perjuangan”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *