Liburan panjang telah tiba. Semua santri bersiap untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Bahkan, ada di antaranya yang pulang beberapa hari sebelum hari H liburan. Memang begitulah kenyataannya. Liburan panjang menjelang hari raya memang hari yang paling ditunggu untuk pulang kampung. Bahkan santri baru juga tak ketinggalan ingin segera pulang. Padahal mereka baru datang ke pesantren beberapa minggu yang lalu.
Hanya saya yang berbeda dan mungkin satu-satunya. Liburan memang iya. Tapi berbicara masalah mudik, tahun ini tak ada mudik buat saya. Saya akan tetap tinggal di sini. Sendiri menghadapi suasana yang tak ada beda ketika pertama kali saya memulai hari-hari pertama di pesantren ini; sepi.
Ya, suasana macam ini memang tak ada bedanya dengan suasana dua tahun yang lalu. Dulu hanya ada empat santri, satu pria, tiga wanita. Saya adalah satu-satunya santri pria kala itu. Beberapa calon santri pria lain yang juga ikut mendaftar nyantri, setelah saya tunggu-tunggu kehadirannya, tak jua menampakkan batang hidungnya. Jika tak kuat mental, mungkin saya hanya bisa bertahan satu minggu di pesantren ini. Untungnya dulu ketika malam tiba, saya ditemani dua bocah Abdullah dan Taqi anak pak ustadz.
Tapi itu tak banyak membantu. Di samping mereka berdua (dulu) bandel alias sering jahil, salah satu di antara mereka (dulu) sering nangis dan teriak histeris di tengah malam. Membuat saya terbangun dengan wajah kaku karena bingung harus bagaimana.
Di saat-saat sulit dalam hidup ini, biasanya saya langsung teringat seorang sahabat lama. Seseorang yang kini entah di mana. Dia adalah kawan sebaya yang pertama kali saya jumpai ketika merantau ke Jawa. Orangnya sederhana tapi berkarakter. Dialah sahabat yang membuka mata hati saya bahwa hidup ini sungguh begitu berharga jika hanya dijadikan tempat untuk berkeluh kesah apalagi menyerah. Dunia memang tempatnya masalah, tapi ia bukanlah tempat yang tepat untuk meratapi masalah hingga menjadikan kita orang-orang bermasalah yang akhirnya membuat masalah di tengah-tengah masyarakat.
Sahabat lama saya ini, di kos-kosan kala itu adalah satu-satunya anak yang tidak makan di warung. Ia memasak sendiri. Membawa rice cooker tua dari rumah. Sedangkan untuk lauknya, biasanya dia belanja di pasar kecil di sebuah gang di dekat kampus. Dia juga mempunyai kebiasaan, setelah kuliah atau ketika ada waktu kosong, dia biasanya pergi dari kos. Entah pergi ke mana.
Hingga suatu malam, ketika saya berjalan kaki di suatu area yang agak jauh dari kos, saya melihat seorang pengamen bertopi sedang mendendangkan lagunya di depan sebuah rumah. Ia menyanyi sekenanya dengan petikan gitar sumbang karena kunci nada yang tak sesuai. Demi ingin mendengar lebih jelas irama musiknya yang fals itu, saya mendekat. Dan astaga! Saya kaget ketika dia menoleh. Dia adalah sahabat saya yang masak sendiri itu!
Tak ada raut minder di wajahnya. Seperti biasa ia menyapa saya dengan segenap ketulusan. Saat itu malah saya yang kikuk. Tak menyangka bahwa inilah aktifitas yang dilakukannya di waktu luang. Inilah aktifitas yang membuatnya sering tidak nampak di kos-kosan.
“Aku berasal dari keluarga miskin, Rid. Bapakku hanya sopir bis antar kota yang jarang pulang.” Ujarnya ketika saya iseng bertanya lebih jauh tentang keluarganya. Kami berjalan pelan di pinggir jalan raya. Kendaraan sedang padat merayap.
“Orang tuaku hanya bisa membayar biaya kuliah. Itu pun belum tentu selalu ada. Kadang kebutuhan mendesak lain membuatku menunggak membayarnya. Sedangkan untuk bayar kos sama makan, aku harus mencari sendiri. Setidaknya untuk sementara, inilah yang bisa kulakukan.” Lanjutnya sambil melirik gitar yang saya tahu itu bukan gitarnya. Gitar itu adalah gitar salah satu teman kami di kos.
“Aku dengar tadi kamu nyanyi apa? Ko merdu ya?” Tanya saya mulai meledek. Berusaha mengusir hawa sendu yang mulai menjalar.
Di waktu-waktu berikutnya, jika ada waktu luang, saya ikut dengannya. Membantunya memetik gitar sehingga ‘pertunjukan jalanan keliling’ ini lebih layak untuk didengar dan ‘ditonton’. Saya juga mulai ikut belanja ke pasar gang dan ikut masak bersamanya. Ternyata benar, masak sendiri di kos-kosan bisa menghemat anggaran makan. Maka tak lama setelah itu, hampir semua penghuni kos memilih untuk masak sendiri.
Sejak saat itu saya kagum padanya. Ternyata, orang seperti dia tak hanya ilusi sutradara atau penulis yang ada di sinetron-sinetron, film, atau cerpen. Ia nyata, ada di dekat saya. Ia adalah gambaran nyata tentang seorang anak yang pantang menyerah menghadapi kesulitan hidup. Tidak manja dan bermental kerupuk seperti beberapa teman yang saya jumpai sebelum merantau; ada yang meradang karena tak dibelikan motor, ada yang tak mau sekolah karena tak ada uang jajan, ada yang ngamuk hanya karena nilai ulangan jeblok, serta masalah sepele lainya.
Sungguh, permasalahan hidup yang dialami sahabat lama saya itu jauh lebih pelik dari masalah hidup yang saya alami. Tapi saya salut, dia mampu menghadapinya dengan tenang. Selama menjalani hari-hari bersamanya, tak ada keluh kesah apalagi kata-kata galau tak berguna yang keluar dari mulutnya. Hari-harinya hanya dipenuhi perjuangan untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Saya ingin setangguh dia.
Maka saat ini, di saat saya menulis ini, tak ada alasan bagi saya untuk galau hanya karena sepi. Memenuhi status Wall Facebook dengan seribu kata galau tiada bermanfaat. Tenanglah, ini hanyalah persoalan sepele. Bukankah dulu saya pernah menghadapi suasana seperti ini? Dan saya berhasil. Tenanglah, tinggal satu tahun lagi. Dan saya akan menyelesaikan apa yang telah saya mulai.
Hanya manusia berjiwa kecil saja yang menganggap besar persoalan sepele. Dan hanya orang berjiwa besarlah yang mampu membuat persoalan besar menjadi kecil. bukan untuk diremehkan, tapi untuk dipecahkan. [Farid Ab, santri angkatan ke-1, jenjang SMA, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis feature di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media
*gambar dari sini
KOMENTAR: Judul bagus, bahasa rapi. Sangat wajar untuk Farid yang sudah menimba ilmu di tahun ketiga. Penulisan ejaan sudah bagus. Tetap semangat menulis, dan pertahankan agar tidak kehilangan semangat.
O. Solihin
Instruktur Kelas Menulis Kreatif