Farid Abdurrahman (Santri Pesantren Media)
“Apa-apaan kau ini! Sudah kubilang aku tak patut kau kasihani.” Ucap pria di depanku kasar sambil membuang bungkusan makanan yang kuberikan.
Ya, dia adalah suamiku. Sudah 3 tahun kami menikah. Sebuah umur pernikahan yang seharusnya masih bergelimang dengan cinta dan saling menyayangi. Namun, sekarang tak ada raut muka penuh cinta di wajah suamiku. Yang ada di wajahnya hanyalah rupa dingin dan kaku yang bersumber dari keegoan seorang laki-laki.
Di awal pernikahan, kami hidup bahagia. Sebuah keluarga, yang meskipun tak bergelimang kemewahan harta benda, namun ia bergelimang dengan cinta dan kasih saying. Aku benar-benar tak menyangka semuanya akan menjadi seperti sekarang ini. Sebuah keluarga yang gersang tanpa jiwa.
Perubahan sifat suamiku tak terjadi begitu saja. Awalnya dia adalah pria lembut yang penyayang. Namun, karena suatu kecelakaan, dia pun mulai berubah. Suamiku bekerja di sebuah pabrik kertas. Dia adalah karyawan di bagian pemotongan. Entah kenapa, pada suatu hari, mesin pemotong kertas yang dioperasikannya malah melukai tangan kanannya. Lukanya sangat parah. Dan ketika dibawa ke rumah sakit, dokter menyampaikan bahwa tangan suamiku harus diamputasi. Jika tidak, maka akan terjadi infeksi fatal yang bisa merenggut jiwanya.
Setelah tangan kanannya diamputasi, suamiku tak diterima lagi bekerja di tempatnya semula. Pihak perusahaan berdalih bahwa tugas karyawan di bagian pemotong memang membutuhkan tangan kanan. Jika tangan kanannya sudah tak ada, maka hilang juga pekerjaannya.
“Kami tak bisa menerima kembali suami ibu bekerja di sini. Sebagai gantinya, kami hanya bisa memberikan sejumlah uang pesangon.” Jelas menajer perusahaan kertas itu.
Semenjak itu, kami bertahan hidup dari uang pesangon suamiku. Dalam kurun waktu itu, siang dan malam suamiku terus mencari pekerjaan baru. Namun, itu semua tak mudah. Dengan tangan yang hanya tinggal satu, tak ada perusahaan yang mau menerimanya bekerja.
Hari pun berganti. Uang pesangon suamiku semakin menipis. Hanya cukup untuk dua minggu lagi. Di saat-saat genting itulah, aku mendapat tawaran bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Dan sebenarnya, hal inilah yang telah membuat sifat suamiku berubah.
“Sudah aku katakana berapa kali, kau tak usah bekerja. Bekerja itu urusan laki-laki, suamimu ini. Apa gunanya suami jika tak bisa member nafkah istrinya?”
“Tapi Bang, kalau kita terus begini kita akan mati kelaparan. Uang pesangon Abang sudah hampir habis.” Jawabku membela diri.
“Aku hanya ingin membantu ekonomi keluarga, Bang. Tak ada maksud lain.” Tambahku meyakinkan.
Dan semenjak itu dirinya berubah. Suatu malam, dia pulang dalam keadaan linglung. Di depan pintu aku memapahnya.
“Bang, apa yang terjadi? Abang mabuk ya?” Tanyaku. Aku curiga karena kucium bau minuman keras dari mulutnya.
“Aah! Sudahlah, ini bukan urusan perempuan. Tau apa kamu. Minggir!”
Aku tahu harga dirinya tercabik-cabik. Dia adalah tipe orang yang bertanggung jawab. Saking bertnggung jawabnya, dia tak mau jika beban mencari nafkah yang seharusnya dia yang melakukan, diambil alih olehku.
Kadang, tuntutan pekerjaan yang aku lakukan saat ini menuntutku untuk pulang lebih malam. Dan suatu malam, ketika aku baru saja pulang kerja.
“Dari mana kamu? Pulang larut malam begini, hah?”
“Seperti biasa, Bang. Aku pulang kerja.” Ujarku lembut. Aku dapat melihat keadaan suamiku saat ini. Dia mabuk.
“Plak!”
Baru selesai aku menjawab, sebuah pukulan menghantam wajahku. Aku tak dapat mempercayainya.
“Jangan-jangan kau sudah berani main serong. Ayo ngaku!” Gertaknya.
Dan semenjak itu, suasana rumah tangga semakin runyam. Setiap nasi yang kuberikan selalu dilemparnya.
Apa yang harus kulakukan?[]
Catatan: cerpen ini adalah tugas Kelas Menulis Kreatif di Pesantren Media