Liputan Khusus Diskusi Aktual Pesantren Media, 21 Desember 2011
Kasus Mesuji memang agak rumit dan unik. Rumit karena sebenarnya sudah sering terjadi di berbagai daerah (yang termasuk baru di Papua dan Bima) berkaitan dengan kepemilikan tanah dan pengelolaannya yang sering berakhir ricuh. Tepatnya menjadi problem. Sebabnya, seringkali ada dua versi dalam memandang persoalan kepemilikan tanah dan statusnya. Versi pemerintah yang seringkali dijadikan pegangan oleh pengelola sebuah usaha, dengan versi rakyat yang bersandar kepada tanah ulayat. Umumnya hal ini terjadi di daerah pedalaman atau wilayah hutan. Tidak jelasnya status kepemilikan tanah dan pengelolaan ini berpotensi rawan konflik.
Kasus Mesuji menarik? Ya, menarik. Sebabnya seperti pada kasus-kasus sejenis, ada NGO atau LSM yang memanfaatkan konflik tersebut dan bisa jadi mereka akan menyalakan konflik terus menerus agar dana mengucur deras ke rekening mereka dari negara-negara yang peduli HAM dan bahkan gender. Ini sudah sering terjadi, dan bahkan ditengarai dalam kasus Mesuji juga tercium aroma tak sedap dari pihak ketiga yang memanfaatkan konflik ini. Mulai dari pemberitaan yang di awal-awal begitu bombastis: “Pembantaian di Mesuji, 30 Orang Tewas”. Kemudian seiring berjalannya waktu dan ditemukannya beberapa fakta serta menyeret pihak-pihak tertentu akhirnya jumlah tewas menciut hingga 3 orang saja. Perkembangan berikutnya malah ada yang mengunggah video ke Youtube seolah-olah itu terjadi di Mesuji. Padahal, setelah diteliti malah kejadian di tempat lain. Ada apa ini? Siapa di balik munculnya kasus ini yang lambat laun malah meredup? Termasuk, sebenarnya bagaimana status pemilikan tanah dan mekanisme pengelolaannya yang benar menurut syariat Islam? Menarik untuk didiskusikan. Maka, pada 21 Desember 2011 seperti biasa MediaIslamNet dan Pesantren Media menggelar diskusi pekanan yang diikuti kru MediaIslamNet, Voice of Islam, dan Pesantren Media, serta beberapa perwakilan dari mitra MediaIslamNet.
“Kasus Mesuji mulai ramai dibicarkan setelah Mayjen (Purn) Saurip Kadi dan beberapa tokoh Lampung mendatangi DPR serta Komnas HAM melaporkan konflik di Mesuji, Lampung yang menewaskan puluhan orang,” jelas Ustadz Umar Abdullah memulai prolog untuk diskusi yang terlambat hingga 40 menit karena harus menyelesaikan agenda rapat pembuatan blog untuk DKM Nurul Iman, masjid di komplek perumahan yang didiaminya.
Kasus Mesuji makin jadi buah bibir di media nasional menjelang pekan ketiga bulan Desember lalu. Seperti diberitakan media massa, Front Pembela Islam (FPI) melakukan advokasi kepada warga Mesuji yang mengadu lantaran hak-haknya telah dilanggar oleh perusahaan perkebunan sawit dan mengalami tindak kekerasan oleh oknum perusahaan serta aparat berwenang di sana. Munarman, Ketua Bidang Advokasi dan Hukum DPP FPI juga turut bersuara, “Masih simpang siur, masih didalami oleh Komnas Ham dan kepolisian,”ungkapnya di hadapan media massa yang meminta keteranganya. Akan tetapi menurutnya, Korban dalam peristiwa kekerasan di Mesuji memang ada, bahkan pembunuhan dengan cara yang sadis seperti memutilasi telah terjadi di sana.
Bagi kami di sini, tentu saja kasus Mesuji menjadi begitu menarik dan membuat penasaran sehingga kemudian diputuskan jadi tema diskusi pekan ketiga bulan Desember lalu.
Seperti pada diskusi biasanya, Ustadz Umar Abdullah tetap memimpin diskusi. Setelah menyampaikan fakta-fakta seputar kasus Mesuji, lalu dibuka kesempatan untuk bertanya atau memberikan opini bagi peserta diskusi yang kali ini tidak begitu banyak yang hadir.
Abdullah (9), peserta diskusi dari kalangan anak-anak mengajukan pertanyaan khas anak-anak yang sering ‘polos’, “Mesuji itu apa? Dan apa yang diperebutkan dalam masalah ini? Kenapa itu yang diperebutkan, bukan tempat yang lain?” Terlihat sederhana tapi cukup menguras pikiran untuk menjawabnya.
Sementara Farid, santri Pesantren Media mempertanyakan, “Kenapa video itu palsu? Alasannya apa? Bukankah akan menjadi bumerang bagi pelapor jika yang disampaikan tidak sesuai dengan fakta?” Ini termasuk pertanyaan berbobot. Hmm….
Ustadz Umar Abdullah masih memberikan kesempatan kepada peserta lainnya. Adalah Taqiyuddin Abdurrahman (7) yang kemudian berani menyampaikan pertanyaannya, “Awalnya gimana terjadinya tragedi Mesuji? Kenapa sampai membunuh?”
Belum reda terkesima dengan pertanyaan Taqi, giliran Novia, santriwati Pesantren Media yang mengajukan pertanyaan, “Plasma itu apa? Kenapa perjanjian plasma itu dilanggar?” herannya.
Saya sendiri tak mau ketinggalan untuk bertanya, tapi lebih tepatnya sih memberikan wacana informasi yang saya dapatkan sebelumnya. Namun tetap saya harus fokus pada pencatatan hasil diskusi. Saya menyampaikan kepada forum bahwa kasus Mesuji ini banyak pihak yang bermain dan harus dipreteli satu persatu masalahnya supaya bisa dicari titik temu. Adakalanya pada posisi tertentu yang salah justru masyarakat. Bisa juga pemegang ijin pengelolaan lahan. Tak menutup kemungkinan juga malah pemerintah yang berbuat salah. Tetapi untuk mendapatkan fakta detil dan valid ini memang harus diselidiki lebih detil dan obyektif.
Hasil diskusi dengan seorang kawan yang pernah bekerja di perkebunan kelapa Sawit di daerah Lampung, memang cukup pelik. Persoalan cara pandang dan rujukan hukum menjadi dinilai sebagai faktor yang tak bisa diabaikan begitu saja. Rakyat berpegang pada tanah ulayat, sementara pemegang HGU (Hak Guna Usaha) dari lahan yang akan digarap mendasarkan kekuatan hukumnya kepada izin dari pemerintah. Jelas ini problem karena cukup sulit ada titik temu. Sebagai contoh adalah kasus pemilikan tanah. Menurut kawan yang saya ajak diskusi itu, ada juga warga yang nakal. Misalnya ada tanah yang dijual kepada seseorang oleh warga sekitar. Kwitansi ada, hak pemilikan juga sah. Namun pada suatu waktu bisa saja tanah itu tak bisa dimiliki si pembeli karena pihak keluarga penjual ada yang minta bagian atas tanah tersebut. Tak terjadi kesepakatan, akhirnya ditempuh dengan kekerasan untuk mempertahankan haknya. Untuk kasus lahan perkebunan juga sama. Pengusaha kelapa sawit yang sudah mengantongi ijin dari pemerintah daerah untuk menggarap hutan sebagai lahan usahanya ternyata harus berhadapan dengan masyarakat sekitar yang mengklaim bahwa itu tanah ulayat, yang sudah diatur sebelum NKRI berdiri. Tidak terima di antara keduanya, maka bentrok fisik tak bisa dihindari lagi. Ini sudah sering terjadi.
Berdasarkan fakta ini, saya menyampaikan, “bagaimana menyelesaikan kasus ini karena banyak versi dari masing-masing dan mengklaim mereka benar?”
Terakhir, adalah pertanyaan dari Ustadzah Latifah Musa, “Konsep pemilikan dalam Islam apa? Dalam kasus Mesuji itu bagaimana pemetaan lahannya, karena jumlah penduduk Indonesia banyak?”
Sebagai pemimpin dalam diskusi, Ustadz Umar Abdullah mulai melemparkan pertanyaan yang diajukan kepada forum, barangkali ada yang ingin berpendapat atau mengomentarinya.
“Coba, siapa yang mau mencoba menjawab pertanyaan pertama?” Ustadz Umar Abdullah memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengemukakan pendapatnya atas pertanyaan yang diajukan.
Taqiyuddin Abdurrahman menjawab dengan antusias, “Mesuji itu sebuah tempat kota kecil” sambik ketawa-ketawa, yang kelihatannya setengah tak yakin. Fatimah juga mencoba memberikan jawaban, “Kota yang ada di Lampung!” serunya.
Ustadz Umar Abdullah kemudian menjelaskan bahwa, “Mesuji adalah nama Kabupaten di Lampung Timur. Selain itu, Mesuji juga tercatat sebagai nama kecamatan di Sumsel. Dekat Ogan Komiring Ilir”
Masih menjawab pertanyaan dari Abdullah dengan cara mengajak penanya berpikir, Ustadz Umar Abdullah mengatakan, “Yang diperebutkan adalah lahan untuk bertanam. Lahan itu ada yang awalnya berupa hutan, ada juga lahan yang sudah digarap oleh rakyat,” jelasnya. Lalu aia bertanya, “Kenapa mereka berebut?”
Abdullah menjawab, “Karena tahu lahannya subur!” Kemudian diamini Ustadz Umar Abdullah dengan memberikan komentar tambahan, “dan bisa menghasilkan. Bisa ditanami kelapa sawit, buah-buahan atau sayuran,” tandasnya.
Beralih ke pertanyaan Novia dan Ustadz Umar Abdullah kembali menjawabnya karena peserta yang hadir tak ada yang menjawab, “dalam istilah perkebunan, plasma adalah petani (pekebun) yang menjadi bagian dari sistem usaha pertanian (perkebunan) yang bertugas melakukan proses produksi dan memasok hasil produksinya kepada pabrik (yang bertindak inti), sedang biaya produksi dan fasilitasnya disediakan oleh pabrik,” jelasnya.
Alasan mengapa pengusaha melanggar perjanjian plasma dengan para petani? “Ya, karena maunya mendapatkan untung yang banyak,” jawab Ustadz Umar Abdullah.
Menanggapi persoalan ini, Ustadzah Latifah Musa ikut berpendapat, “Seringkali pengusaha hanya punya hak guna usaha, tidak mau membiayai plasma. Hanya pengen untung besar.”
Ustadzah Latifah Musa juga memberikan komentar atas pertanyaan dari Farid, bahwa “Editing video kasus Mesuji yang beredar luas di internet bisa jadi dari orang yang tidak jujur. Awalnya bisa jadi hanya untuk mengambil gambar dan menunjukkan saja bahwa faktanya ada. Tetapi jika bukan fakta sebenarnya bisa fitnah,” terangnya.
Maka, lanjut Ustadzah Latifah Musa, “Ketika Mayjen (Purn) Saurip Kadi mengajukan kasus Mesuji ini diharapkan ada perhatian dari pemerintah. Tapi video itu akan menjadi fitnah, dan bisa jadi bumerang bagi para pelapor.”
Ustadz Umar Abdullah menjelaskan juga bahwa kekerasan yang terjadi dipicu pengambilan lahan oleh pemerintah, “Lahan yang sudah digarap oleh rakyat diambil. Rakyat marah lalu mendatangi perusahaan dan akhirnya bentrok dengan pam swakarsa.”
Diskusi ini kemudian mengerucut kepada pembahasan posisi ideal dalam Islam tentang kepemilikan dan pengelolaan tanah. Sebab, walau bagaimana pun kita harus bisa menjelaskan kepada masyarakat hakikat dari masalah ini. UU Agraria yang diberlakukan saat ini banyak menimbulkan masalah. Sehingga posisi rakyat biasanya yang paling banyak dilemahkan dan dirugikan. Meski demikian, memang persoalan tetap menjadi rumit karena sudah kadung terlanjur diterapkannya sistem undang-undang yang bukan Islam dan semua terlibat dalam hal ini. Mulai dari penguasa, pengusaha, dan juga rakyat yang saling memanfaatkan lahan tersebut. Negara menggunakan hukum yang ada saat ini (warisan Belanda), pengusaha yang mengantongi hak pengelolaan hutan dari pemerintah, dan masyarakat yang menganggap bahwa itu tanah ulayat. Ribet. Tidak mudah mendapatkan titik temu.
Bagaimana dalam pandangan hukum Islam? Ustadz Umar Abdullah menjelaslan bahwa, “Tanah milik Allah Swt. Allah Swt. akan memberikan kepada siapa saja yang berhak memilikinya. Yakni, yang bisa memanfaatkan atau memagari untuk memanfaatkan. Bisa untuk dibuat rumah, kandang, pertanian, kebun, sawah.”
Dalam Islam status tanah sendiri dikelompokkan menjadi dua, yakni kharajiyah dan ‘usriyah. Suatu tanah dikategorikan sebagai tanah kharajiyah adalah jika tanah di daerah tersebut diperoleh karena daerah atau negara tersebut ditaklukkan oleh negara Islam (ad-Daulah al-Islamiyah) melalui peperangan. Status tanah yang demikian misalnya status tanah yang ada di daerah Mesir, Irak, Turki, Spanyol (Andalusia), Ukraina, Albania, India, Yugoslavia dan sebagainya. Suatu daerah atau negara yang ditaklukkan dengan peperangan, maka kepemilikan atas seluruh tanah yang ada di daerah tersebut adalah menjadi milik negara Islam. Dan tanah yang seperti ini disebut dengan tanah kharajiyah.
Adapun suatu tanah dikategorikan sebagai tanah ‘usyriyah adalah jika daerah atau suatu negeri penduduknya telah masuk Islam, maka tanah tersebut statusnya sebagai tanah ‘usyriyah. Tanah yang seperti ini kepemilikan tanahnya adalah milik penduduk setempat. Tanah seperti ini misalnya tanah yang ada di Indonesia termasuk jazirah arab. Adapun status jazirah arab dimasukkan ke dalam tanah usyriyah adalah meskipun tanah tersebut ditaklukan secara paksa –misalnya penaklukan Makkah—namun Rasulullah saw tetap membiarkan tanahnya untuk penduduknya tanpa dibebani untuk membayar kharaj.
Dalam kaitan dengan kasus Mesuji dari sudut pandang Islam, Ustadz Umar Abdullah mengemukakan pendapat, “Wilayah Indonesia dan Jazirah Arab statusnya adalah tanah ‘usriyah. Tanah ‘usriyah menjadi milik kaum muslimin selama dimanfaatkan dan dikelola.Tapi jika selama 3 tahun tidak dikelola (khususnya dalam pertanian) akan diambil oleh negara dan diberikan kepada yang berhak dan mampu memanfaatkannya,” terangnya.
Masalahnya adalah, Ustadz Umar Abdullah melanjutkan komentarnya, “Hukum Belanda (khususnya di bidang agraria) menjadikan pengaturan jadi rumit. Padahal siapa pun yang pertama kali memanfaatkan dialah pemiliknya menurut ajaran Islam. Seperti tanah ulayat. Jangan mengambil tanah yang sudah digarap, dan jangan yang berpotensi merusak lingkungan. Harus diatur oleh Islam. Tugas negara memetakan tanah mana saja yang belum digarap.”
Menjelang adzan maghrib berkumandang, seperti biasa diskusi harus segera diakhiri. Kesimpulan dari diskusi kali ini adalah: “Status tanah wilayah Indonesia adalah tanah ‘usriyah. Jadi negara tidak berhak memilikinya dan mengelola sesukanya, karena itu sejatinya adalah milik kaum muslimin. Berbeda dengan tanah kharajiyah yang memang dimiliki oleh negara. Ini satu. Yang kedua. Dalam kasus Mesuji atau kasus lainnya, yang sudah kadung bermasalah dalam pemilikan dan pengelolaan tanah, maka menyelesaikannya adalah dengan kembali kepada hukum Islam yang mengatur seputar agraria. Bukan hukum buatan Belanda. Ketiga, selain meminta negara menerapkan hukum Islam, juga mendidik rakyat agar paham juga hukum-hukum Islam, khususnya hukum pemilikan dan pengelolaan tanah sebagaimana dalam kasus Mesuji ini. Sehingga baik negara maupun rakyat siap untuk memahami dan menyetujui syariat Islam. Agar kejadian ini tidak terulang: negara yang arogan sehingga tega merampas lahan milik rakyat dan bersamaan dengan itu menunjukkan keberpihakannya kepada pemilik modal yang menggelontorkan dananya untuk mengelola lahan meskipun sudah digarap rakyat. Juga, tidak ada lagi rakyat yang tidak mengerti masalah, khususnya di tingkat bawah yang saling ‘mengklaim’ tanah miliknya “seluas mata memandang” dengan menyandarkan pada hukum tanah ulayat yang berakibat di antara mereka juga saling mencederai.”
Semoga diskusi ini bermanfaat. Satu-satunya cara menyelesaikan problem ini adalah kembali kepada hukum Islam. Sudah lama kita menderita dalam sistem warisan penjajah yang menyengsarakan rakyat kecil karena keberpihakannya kepada pemilik modal semata. [OS]