Huh! Waktu menunjukkan 02.00 WIB. Mataku masih berat untuk menuju kamar mandi. Tapi, aku harus segera mandi. Karena hari ini aku akan pulang kampong ke Banjarmasin, kota tercinta. Yeah! Aku berdiri dari kasurku dan mengambil seperangkat alat mandi. Tapi, aku lihat teman-teman se asramaku tidak ada yan terbangun dari mimpi indahnya. Seperti biasa, yang bangun lebih dahulu itulah yang membangunkkan tidur para santri lain. Karena teh Ira dan teh Nissa yang akan mengantarkanku ke terminal Damri. Maka mereka berdua inilah yang aku bangunkkan pertama kalinya.
Tubuh segar, dan mata sudah tidak mengantuk. Aku berdiri sambil mengeringkkan rambutkku. Ku pandangi barang bawaanku. Wow! Ternyata barang bawaanku banyak juga. Koper yang isinya baju, keresek yang di dalamnya Bolu talas, dan tas ransel yang isinya laptop. Aku merapikan barang-barangku yang masih bercerai berai. Tapi sepertinya ada yang aku lupakkan, oh ya! Dompetku berwarna pink yang kutinggal di perpustakaan. Akan ku ambil ketika makan sahur. Tak lupa aku mengerjakaan kewajibanku. Sebenarnya sih bukan kewajiban tapi sunnah. Tapi menurutku itu wajib. Yaitu sholat tahajjud dan witir, biasanya aku melakukan dua rakaat sholat tahajjud plus satu rakaat sholat witir.
“Putri, putri” Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Ya, umi. Umi lathifah Musa. Guruku sekaligus kepala asrama akhwat.
“Hari ini berangkat jam tiga.” Aku melirik jam tanganku, pukul menunjukkan, 30 menit lagi jarum pendek menunjukkan pukul 03.00 WIB. Aku segera turun melalui tangga untuk menuju dapur. Hari inikan aku puasa jadi aku harus sahur dulu. Ketika aku ingin ke dapur, tidak ada siapa-siapa. Aku berjalan menuju perpustakaan, sebenarnya itu tidak hanya perpustakaan. Di tempat kami biasa pergunakaan untuk membaca buku, belajar, makan malam, siang,pagi bersama, dan lain-lain. Pokoknya tempat itu bisa di gunakaan untuk apa saja. Kecuali satu hal yaitu wc dan kamar mandi. Itu tidak mungkin.
“Putri udah siap?” Teh Ira. Kakak kelasku. Teh Ira inilah yang akan mengantarkanku ke stasiun damri bersama teh Nissa.
“Udah teh. Teteh udah sahur?” Tanyakku.
“Putri berangkat jam tigakan? Kata Umi sahurnya di perjalanan aja. Putri sudah menurunkan kopernya?” AKu menjawab belum. Ya memang koperku yang berisi barang-barangku belum di turunkan. Ketika aku dan teh Ira menurunkan koper terdengar suara mobil. Suara mobil itu tidak asing lagi di telingaku. Mobil panther berwarna biru malam. Mobil panther inilah yang akan mengatarkanku ke stasiun damri. Mobil panther ini dikendarai oleh kak Farid. Rasa sedih mampir di hatiku, karena aku akan meninggalkan pesantren. Dan rasa tidak sabar untuk bertemu keluarga pun mampir di hatiku.
Setelah mengangkat barang-barangku kedalam mobil dan mengambil rapor. Aku bersalaman kepada umi dan fathimah. Sebenarnya aku ingin bersalaman ke semua santri akhwat. Tapi itu tidak mungkin karena mereka belum bangun dari mimpi-mimpi mereka. Biasalah hari inikan hari pertama libur. Sebelum berangkat aku ingin berpamitan dulu kepada ustadz Rahmat dan ustadzah Wita. Tapi, rumahnya masih di gembok. Umi menyarankanku untuk tidak usah berpamitan dengan kedua guruku itu, karena takut menggaggu. Aku naik kedalam mobil bersama teh Ira dan teh Nissa. Di dalam mobil sudah ada kak Farid yang sudah siap menggas mobil dan melaju menuju stasiun damri.
Mobil berwarna biru mala mini melaju, menuju stasiun damri. Handphoneku berbunyi. Sudah kuduga pasti itu dari mamaku.
“Assalmu’alikum. Pun ma?” Itu bahasa Banjarnya “Iya ma?”
“ Wa’alaikumussalam. Mba jangan tidur di damri ya, bahaya. Tidurnya di pesawat aja. Jangan lupa kopinya diminum, biar gak ngantuk. Sudah di cek semua barangnya?” Deg! Sepertinya ada yang suatu yang kurang. Apa ya?
“Mba jangan lupa bawa KTPnya. Ya kan, Pah? Eh bukan, kartu pelajar. Jangan lupa bawa kartu pelajarnya ya, Mba.” Aku segera menggeledah tas ranselku yang di dalamnya berisi laptop dan barang berharga lainnya. Seinggatku semua kartuku sudah aku masukkan kedalam dompet merah. Ngomong-ngomong dompet warna merah itu pemberian mamaku ketika aku berumur 13 tahun. Sedangkan dompet berwarna pink, itu pemberian papahku ketika aku berumur 13 tahun juga. Jadi pada saat itu mendapat dompet double. Eh, dompet pink. Oh ya aku ingat ketika aku mau jalan-jalan bersama fathimah, aku mengeluarkan dompetku dan aku letakkan di antara buku-buku perpustakaan. Tenang, gak ada uangnya kok. Sepertinya, aku meninggalkan kartu pelajarku di dompet pink itu. Sepertinya.
“Assalamu’alikum. Ma, kalo chek in gak pake kartu pengenal boleh gak?” Kataku polos. Sebenarnya sih aku sudah tau pasti tidak boleh chek in, kalo gak bawa kartu identitas. Tapi, semoga aja mama bilang” Iya, gak papa.” Itukan berarti mama ridho. Ridho Allahkan ridho orang tua juga. tapi, itu terjadi karena mamaku juga bertanya kepada papahku.
“Halo Mba. Mba, kartu pelajarnya ketinggalan? Kenapa?” Waduh! Aku diintrogasi sama papah. Ini yang paling aku takutkkan. Aku bilang aja, lupa.
“Coba minta photokan sama teman kartu pelajarnya, terus dikirim lewat bbm.” Yah, si papah. Orang anaknya gak punya bbm. Gimana mau ngirim pake bbm.
“Ya udah pake mms aja.” Duh! Itu ribet pah. Aku mengalihkan telponku kepada mamaku. Aku mengusulkan kepada mamaku, bagaimana kalo aku putar balik? Itu usul yang cemerlang.
“Emang udah sampai mana? Udah jauh gak dari pesantren? Masih sempet gak waktunya?” Pukul menunjukkan 03.30. Pesawat yang aku tumpangi boarding time pukul 07.00 WIB. Berarti masih banyak waktu. Aku mulai membicarakannya dengan teh Ira dan teh Nissa. Dengan sedikit kepercayaan aku memberanikan diri untuk memberitahu kak Farid, bahwa kita harus putar balik karena kartu pelajarku tertinggal. Kak Farid pun langsung memutar arah menjadi menuju pesantren. Aku menelphone Fathimah untuk meminta tolong mengambilkan dompetku di perpustakaan dan memeriksa apakah di dalam dompet itu ada kartu pelajarnya. Alhamdulillah ternyata kartu pelajarnya masih di dalam dompet pink itu. handphoneku berbunyi lagi, itu pasti mama. Batinku. Salah, ternyata itu Papah.
“Mba gimana?” Tanya papah. Ada suara kekhawatiran di sana.
“Mba putar balik, Pah. soalnya kartu pelajar tertinggal di pesantren.” Aku tidak menyebutkan bawha kartu pelajarnya tertinggal di dalam dompet yang aku letakkan di perpustakaan. Aku takut papah akan memarahiku. Karena aku teledor. Masa, hal yang penting aku tinggalkan. Tapi, papahku bukannya marah tapi,
“Alhamdulillah, untung aja bisa diambil. Papah jadi takut Mba pulang sendirian. Rasanya tuh, Papah mau jemput Mba sekarang juga.” He? Papah bukannya marah, malah mau menjemputku. Aku sih sebenarnya gak takut-takut banget solanya aku sudah sering pulang sendirian tanpa satu orang yang dikenalpun.
oOoOo
45 menit. Damri yang aku tumpangi ini hanya memerlukan waktu 45 menit untuk sampai di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
“Siap-siap untuk terminal 1B.” Kenek damri itu memberitahukan kepadda para penumpang yang akan berhenti di terminal 1B. Cukup banyak yang berhenti di terminal 1B. Oh, iya. Aku sempat tidak ingat pesan mamaku , loh. Aku sempat tertidur di dalam damri, tapi gak nyampe 10 menit kok. Soalnya mamaku nelphone. Dan sekarang aku sudah mempunyai teman di damri. Namanya mba Fuji. Dia kuliah di IPB, jurusan perikanan. Katanya sih di daerah Darmaga. Mba Fuji ini juga pulang kampong sama seperti aku, satu pulau lagi. Tapi, beda provinsi. Mba Fuji jurusan Pontianak. Sedangkan aku Banjarmasin. Tapi, gak apa-apalah. Yang penting ada teman nunggu boarding timenya.
Setelah aku sampai di terminal 1C. Aku harus memprint tiketku dulu, di loket Lionair. Untung saja mba Fuji ini pesawat yang ditumpanginya juga Lionair. Jadi bisa bareng. Kalo mba Fuji ini pesawatnya, boarding timenya pukul 09.00 WIB. Sedangkan aku 07.00 WIB. Kami beda dua jam. Untung saja aku membawa kartu pelajarku, kalo tidak gimana nasibku? Mungkin aku masih di bandara.
[Saknah Reza Putri, santriwati kelas 3 jenjang SMP, Pesantren Media]