- Pagi itu, Ahad (18/12), suasana Masjid Nurul Iman, Komplek Laladon Permai nampak ramai oleh kehadiran para orang tua dan anak-anak. Beberapa anak berumur antara lima sampai delapan tahun nampak mengenakan busana dengan warna dan corak yang sama, kain sarung dipadu dengan setelan hem lengan panjang lengkap dengan kopiah putih. Sementara itu, dari pengeras suara masjid berkali-kali terdengar pengumuman bahwa sunatan massal akan segera dimulai.
Pagi di masjid ini memang nampak berbeda karena di tempat ini acara sunatan massal yang diadakan atas kerjasama DKM Nurul Iman dan Ikatan Ibu-ibu Laladon Permai (IILP), berdasarkan pengumuman dari pengeras suara, akan segera dibuka. Tepat jam 07.10 WIB acara yang diadakan guna menyambut Bulan Suci Muharram ini pun dibuka oleh Ketua DKM Nurul Iman, Pak Cecep. Usai prosesi pembukaan, suasana ramai ini berpindah dari masjid menuju kediaman dr. Maryanto, sang dokter yang bertugas melakukan penyunatan.
Suasana keramaian di rumah dr. Maryanto nampak begitu khas. Seakan-akan suasana ini tercipta dari paduan dua dunia yang berbeda. Dunia puskesmas yang diwarnai tangis ketakutan anak-anak yang sedang disunat berpadu serasi dengan dunia hajatan yang dipenuhi dengan keceriaan dan makan-makan.
Kadang aku tersenyum di dalam hati. Suasana ini mengingatkanku akan kenangan waktu kecil dulu, di kala aku akan disunat. Saat-saat mendebarkan di mana aku sedang menunggu giliran disunat di puskesmas kecamatan. Berbeda dengan suasana sunatan yang aku hadiri sekarang, suasana di puskesmas kala itu benar-benar menakutkan. Banyak orang-orang berwajah lesu dan pucat karena sakit berlalu-lalang dengan gontai di lorong puskesmas. Bau obat menyeruak di seantero ruangan. Tabung-tabung infus bergelantungan. Lemari-lemari nampak penuh dengan botol-botol obat dan jarum suntik. Suara tangis dan jeritan anak-anak yang sedang disunat menjadi pelengkap itu semua. Tak tahan dengan suasana demikian, aku pun kabur dari puskesmas. Aku baru bisa diajak kembali ke puskesmas setelah terlebih dahulu diajak makan bakso di sebuah warung.
Itu kisah kaburnya aku dari puskesmas. Namun, akan sangat rugi rasanya jika seandainya anak-anak peserta sunatan massal kali ini kabur dari rumah dr. Maryanto. Jika mereka nekat kabur, mereka akan kehilangan sebuah kesempatan emas. Bayangkan saja, jika seorang anak hendak disunat, maka orang tua tentu harus memikirkan biayanya. Maka hal itu tidak terjadi di sini. Semuanya gratis. Bahkan, malah sebaliknya, tiap peserta malah ‘dibayar’ oleh panitia. Tidak hanya itu, mereka juga mendapat berbagai paket bingkisan, mulai dari paket obat-obatan, paket snack, sarung dan baju, serta bekakak (ayam panggang). Jadi, seharusnya tidak ada rasa takut lagi untuk disunat.
Dari sepuluh peserta, hanya Raihan (8) yang dapat dikatakan paling berani melawan rasa takutnya. Jika anak yang lain menangis atau meringis ketika disunat, maka itu semua tidak terjadi pada cucu Pak Uu, salah seorang warga yang tinggal di luar komplek Laladon Permai ini. Tak satupun garis ketegangan dan ketakutan terlihat di wajahnya. Bahkan, dia nampak tersenyum dan tertawa manakala peralatan sunat mulai bekerja. Dia terlihat ceria bercakap-cakap dengan orang-orang yang saat itu mengelilingi ranjang tempat dia berbaring.
Ruangan tempat penyunatan mengambil tempat di salah satu kamar di rumah dr. Maryanto. Aroma kulit yang hangus terbakar tercium di sini. Setelah aku tanyakan hal ini kepada dr. Maryanto, ternyata beliau menggunakan sebuah metode menyunat bernama cotterisasi. Inti dari metode ini adalah panas yang ada pada alat pemotong. Panas ini dihasilkan oleh listrik yang terhubung langsung dengan alat pemotong. Jadi, kulit kelamin terpotong karena panas yang ada pada alat pemotong ini. Keunggulannya metode ini ialah lebih higienis. Kuman-kuman yang menempel pada alat pemotong akan mati karena panas yang ada.
Acara sunatan massal ini mungkin telah usai. Namun, kenangan yang tertanam di dada anak-anak peserta sunatan tidak akan pernah sirna. Mereka akan senantiasa mengingatnya seumur hidup. Kalaupun mereka sempat lupa, kenangan ini akan hadir kembali manakala suatu saat mereka melewati komplek ini, melihat Masjid Nurul Iman, atau lewat di depan rumah dr. Maryanto. Mereka juga akan senantiasa mengingat paket cinta dan kemurahan hati yang disematkan para dermawan kepada mereka saat itu. (Farid Ab/famedo.blogspot.com)
Catatan: Tugas praktik menulis berita Mata Pelajaran Menulis Kreatif di Pesantren Media