Rini mengaduk-aduk ‘adonan’nya. Campuran berisi pasir, kerikil, dan beberapa batang daun singkong, ia satukan ke dalam mangkok kecil. Sedang Kemala, sedang asyik menyiapkan sendok dan gelas mainan ke atas meja. Sore itu, mereka sedang asyik bermain masak-masakkan. Rini jadi kokinya, Kemala jadi pelayannya. Kali itu, mereka memilih pekarangan rumah Kemala, sebagai tempat untuk bermain.
“Kemala! Ambilin air dong! Sebentar lagi, sopnya mateng nih!” gadis bermata bulat itu, menyodorkan botol minuman.
“Kok masak sop, airnya belakangan sih?” Kemala menghampiri Rini yang tidak jauh darinya.
“Udah deh, enggak usah bawel! Cepet ambilin airnya! Nanti gosong!” Rini mendorong Kemala, pelan. Gadis berumur lima tahun itu, menurut saja dengan temannya. Kemala pergi mengambil air di dalam kamar mandi rumahnya. Rini kembali sibuk dengan sop buatannya.
Dari kejauhan, terlihat Bilqis datang sambil memeluk boneka Winnie the Pooh lusuhnya. Baju putih kusamnya, terlihat penuh tambalan dan jahitan-jahitan yang berantakan. Rambutnya acak-acakan, seperti tidak pernah disisir. Kulitnya hitam legam. Celananya kucel, nampaknya tidak pernah disetrika.
“Halo Rini! Aku ikutan main ya…” Bilqis langsung duduk di samping Rini.
“Enggak boleh! Kamu enggak boleh ikut main!” Rini mendorong Bilqis kuat-kuat. Bilqis tersungkur di atas tanah. Dia menatap gadis berkuncir kuda di hadapannya. Matanya berair. Bilqis hampir menangis.
“Kenapa?” suara Bilqis bergetar. Rini cepat-cepat membereskan masak-masakkannya.
“Kamu bau sih! Jelek lagi! Nanti mainanku bisa rusak!” Rini memberi alasan. Bilqis meremas boneka di tangan kanannya. Dia marah sekali. Tangisnya pecah. Membuat suasana menjadi ribut. Kemala datang sambil membawa air di dalam botol minuman.
“Loh? Bilqis kok nangis? Digigit Belle ya?” Kemala polos sekali. Belle itu kucing peliharaan Kemala. Kebetulan, saat itu Belle berada tidak jauh dari Bilqis. Melihat Rini telah membereskan mainannya, Kemala jadi bingung,
“Loh? Rini, kenapa diberesin mainannya? Sopnya sudah masak ya?”
“Aku mau pulang aja!” Rini berlari menuju rumahnya, sambil menenteng tas berisi masak-masakkan. Tangis Bilqis makin kencang. Kemala tambah bingung.
“Kenapa pulang? Rini takut digigit Belle juga ya?” Kemala sedikit berteriak. Rini terus berlari tanpa menghiraukan pertanyaan Kemala.
“Maafin Belle ya, Bilqis. Dia memang nakal. Hush! Pergi sana!” gadis kecil berkerudung ungu itu, mengusir Belle, kucingnya. Bilqis menggeleng pelan,
“Bukan gara-gara Belle kok…” ia terisak.Bilqis menghapus air matanya. Kemala menggaruk-garuk kepalanya,
“Jadi? Kenapa Bilqis nangis?”
Bilqis tidak menjawab. Dia malah pergi sambil menggandeng bonekanya. Kemala jadi kesal, gara-gara tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Wal hasil, Kemala menangis sambil berlari masuk ke dalam rumahnya. Bu Anwar yang sedang asyik menyulam, terlihat khawatir ketika mendapati anak sulungnya tengah menangis. Bu Anwar adalah ibunya Kemala.
“Loh, Kemala kenapa nangis?” Bu Anwar meletakkan sulamannya ke atas meja. Kemala terisak-isak,
“Kemala sebel sama Rini dan Bilqis!” tangisnya makin menjadi-jadi. Bu Anwar jadi bingung,
“Sebel kenapa? Mereka jailin Kemala?” tanya Bu Anwar lagi. Kemala menggeleng,
“Tadi, Kemala disuruh ambil air sama Rini buat masak sop. Terus, Kemala ambil air di kamar mandi. Terus, pas Kemala balik, Bilqis lagi nangis. Rini sudah beresin mainannya. Terus, Kemala tanyain, ‘kenapa diberesin mainannya?’, tapi Rini enggak jawab! Dia cuma bilang ‘mau pulang!’ terus lari ke rumahnya” Kemala menjelaskan, sambil terus menangis.
“Terus, kenapa sebel sama Bilqis juga?” Bu Anwar mengusap kepala Kemala. Kemala melanjutkan,
“Kemala kirain, Bilqis nangis gara-gara digigit Belle. Tapi, kata Bilqis, bukan gara-gara Belle. Pas Kemala tanyain lagi, kenapa dia nangis. Dia malah pulang juga” Kemala memelintir ujung kerudungnya.
Bu Anwar terkekeh mendengar penjelasan putri sulungnya itu. Ia menghapus air mata Kemala.
“Sudah, anak ibu enggak boleh nangis. Anak sholeh enggak boleh cengeng” hibur Bu Anwar. Kemala manyun.
“Enggak boleh manyun gitu ah! Nanti Ibu beliin es krim deh…” Bu Anwar membujuk anaknya itu. Kemala tersenyum,
“Dua ya, Bu!”
Ibunya tertawa.
***
Awan-awan nan putih, terlihat seperti asap yang mengebul dari secangkir teh buatan Bu Anwar. Langit berwarna biru laut. Burung gereja bersiul-siul di atas dahan pohon Mangga. Dedaunan kering berjatuhan ke atas tanah. Pagi yang begitu indah! Apalagi, dengan pisang goreng kesukaan Kemala.
Bu Anwar meletakkan pisang goreng ke atas piring kaca. Liur Kemala hampir menetes, melihat pisang goreng yang disajikan di depannya. Tangannya sudah berancang-ancang mengambil satu potong pisang goreng tersebut. Ketika hendak mengambil pisang goreng itu,
“Eits! Itu bukan buat Kemala” Bu Anwar menepuk tangan Kemala.
“Yah… Ibu! Buat Kemala yang mana?” Kemala manyun.
“Ibu akan buatkan untuk Kemala. Tapi, ada syaratnya!”
“Apa syaratnya?” Kemala jadi penasaran.
“Tolong Ibu, antarkan pisang goreng ini ke rumah Bilqis ya…”
“Enggak mau!” tolak Kemala mentah-mentah. Ibunya mengernyitkan dahi,
“Kenapa?”
“Kemala masih sebel sama Bilqis!”
Bu Anwar menghela nafas, lalu tersenyum.
“Kemala, anak yang sholeh itu, tidak boleh menjadi pendendam. Allah yang menciptakan kita saja, mau memaafkan semua kesalahan hambanya. Masa’,Kemala tidak mau memaafkan kesalahan Bilqis?”
“Tapi, Kemala sebel sama Bilqis, Bu” Kemala mendekati ibunya.
“Anak Ibu, yang paling Ibu sayangi… Besar mana Allah, sama Kemala?”
“Hmm… Allah, Bu” Kemala menyenderkan tubuhnya, pada paha Bu Anwar.
“Allah yang lebih Besar daripada Kemala saja, mau memaafkan kesalahan hambanya. Masa’, Kemala yang lebih kecil daripada Allah tidak mau memaafkan Bilqis?” Bu Anwar membelai kepala Kemala. Kemala diam saja.
“Nanti, setelah Kemala antarkan pisang goreng ini ke rumah Bilqis, Ibu mau cerita sesuatu!” tambahnya.
“Ibu, mau cerita apa?” Kemala kecil, jadi penasaran.
“Tentang seekor semut, yang mau memaafkan temannya” Bu Anwar memasukkan pisang goreng ke dalam plastik. Kemala jadi semangat untuk mengantarkan pisang goreng itu, ke rumah BIlqis.
“Oke, Bu!” Kemala berlari ke luar rumah, sambil membawa kantong plastik berisi pisang goreng.
Ketika hendak membuka pagar rumahnya, Rini tengah berdiri di hadapan Kemala. Melihatnya, Kemala jadi sebal kembali.
“Kemala mau ke mana?” Rini melirik bungkusan pisang goreng di tangan Kemala.
“Mau ke rumah Bilqis!” Kemala ketus sekali.
“Hah? Ngapain kamu ke rumah Si Bau itu?” gadis berumur tujuh tahun itu, berkacak pinggang.
“Hush! Kata Ibu, tidak boleh menghina tau!”
“Tapi, dia memang bau kok! Jelek lagi! Kamu kok mau sih, temenan sama Bilqis?” Rini mencoba mempengaruhi temannya, yang dua tahun lebih muda dengannya itu. Kemala menggeleng keras-keras,
“Sudah ah! Kemala mau antar pisang goreng ke rumah Bilqis dulu! Sana pulang! Nanti digigit Belle baru tahu rasa!” Kemala berjalan meninggalkan Rini yang masih berdiri di depan pagar rumah Kemala.
***
Gadis kecil yang mengenakan kerudung bunga-bunga itu, telah sampai di depan rumah Bilqis. Matanya meneliti dari ujung ke ujung, rumah Bilqis. Sebuah pemandangan gubuk reot memenuhi bola matanya. Atap gubuk itu, terbuat dari anyaman daun kelapa. Dinding gubuk itu, terbuat dari batang bambu yang sudah bolong-bolong. Sedang, pintunya yang terbuat dari kayu bekas yang sudah lapuk, hampir lepas.
“Hmm… Assalamu’alaikum” Kemala sedikit bimbang.
“Wa’alaikumussalam… Eh Kemala! Ayo, masuk!” Bilqis muncul dari balik pintu. Matanya berbinar-binar. Bilqis senang sekali. Kemala masuk ke dalam rumah kepunyaan keluarga Bilqis itu.
“Ayo duduk dulu! Aku ambilin air putih dulu ya…” Bilqis menuang air putih ke dalam gelas. Kemala melihat ke sekeliling rumah Bilqis. Langit-langitnya penuh sarang laba-laba. Lantai rumahnya terbuat dari kayu yang sama lapuknya dengan pintu rumahnya. Rumahnya hanya sebesar dapur Kemala. Sekitar lima meter.
“Ayo, duduk dulu!” Bilqis duduk mendahului Kemala yang masih berdiri. Kemala menganga,
“Hmm, duduk di mana?” gadis kecil itu melihat lantai kayu di bawah kakinya.
“Ya di sini. Mau di mana lagi?” Bilqis menepuk lantai kayu, di samping pahanya. Kemala duduk pelan-pelan.
“Ini, pisang goreng buat Bilqis” tatapan Kemala nanar. Bilqis tersenyum lebar,
“Wah… terimakasih ya Kemala! Sebentar, aku panggilkan nenekku dulu!” gadis berumur enam tahun itu, berlari lewat pintu belakang.
“Kamu punya nenek?”
Bilqis mengangguk.
“Nek, ada Kemala! Dia bawain pisang goreng loh…” suara Bilqis terdengar sampai tempat Kemala duduk. Bilqis kembali dengan mengandeng neneknya. Seorang nenek berumur tujuh puluhan, dengan baju lusuh yang penuh sobekan. Badannya bungkuk. Kulitnya penuh keriput.
“Terimakasih ya, Kemala” suara nenek itu bergetar. Matanya yang sayu, terlihat ramah.
“Wah! Pisang goreng buatan Kemala enak sekali!” mulutnya dipenuhi dengan pisang goreng. Kemala tersenyum kecut,
“Itu buatan Ibu”
Nenek tua itu tersenyum, lalu keluar lewat pintu belakang. Mata Kemala mengikuti punggung nenek itu. Sedang Bilqis, masih sibuk mengunyah pisang gorengnya.
“Nenek Bilqis, ngapain ke belakang?” Kemala penasaran. Bilqis berhenti mengunyah pisang gorengnya,
“Bikin nasi aking!”
Kemala mengangguk tanda mengerti.
“Kemala pulang dulu ya… Sudah ditunggu Ibu” Kemala berdiri, hendak ke luar rumah Bilqis.
“Tidak mau main dulu?” matanya penuh harap. Kemala menatap mata Bilqis dalam-dalam,
“Nanti, Kemala ke sini lagi” Kemala cepat-cepat berlari keluar.
“Aku ikut ya!” BIlqis memohon sambil membawa potongan pisang goreng di kedua tangannya. Kemala mengangguk.
***
Kemala tergesa-gesa masuk ke dalam rumahnya. Ia mendapati Ibunya sedang membaca buku.
“Ibu! Mainan Kemala, semuanya buat BIlqis saja ya!” Kemala menarik koper kecil berisi mainan-mainannya. Dan berlari kencang-kencang ke luar rumah.
“Ini buat kamu!” Kemala tersenyum, sambil menyodorkan mainannya. Bilqis lompat-lompat kesenangan.
“TERIMAKASIH YA KEMALA! KAMU BAIK BANGET!” saking senangnya, Bilqis memeluk erat-erat teman di hadapannya itu. Ugh, bau!
Kemala mendorong pelan tubuh Bilqis. Ia menjauh dari tubuh bau Bilqis. Tanpa ia sadari, tangannya menutup rapat-rapat kedua lobang hidungnya.
“Kenapa?” Bilqis bingung. Kemala menggeleng,
“Bilqis pulang aja. Nanti nenek Bilqis nyariin loh!” ia memberi alasan.
“Enggak kok, nenek udah biasa sendiri. Kita main sama-sama yok!”
“Enggak ah!” Kemala masuk ke dalam rumahnya.
Bilqis berlari riang sambil membawa koper berisi puluhan mainan itu. Dia sangat senang.
Di dalam rumah bertingkat dua itu, Kemala mencari Bu Anwar.
“Ibu…”
“Iya?” suara Bu Anwar terdengar dari dalam kamar Kemala. Kemala melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Ia mendapati ibunya sedang merapikan tempat tidurnya.
“Ibu, kenapa Bilqis itu bau?” tanyanya polos. Kemala duduk di atas kasurnya. Ibunya tersedak,
“Kenapa Kemala nanya gitu?” Bu Anwar duduk di samping Kemala. Kemala menatap wajah ibunya,
“Tadi Bilqis peluk Kemala. Badannya bau, Bu. Makanya, Rini sering manggil dia Si Bau”
“Hush!” Bu Anwar memukul pelan mulut kecil Kemala. Tatapan Bu Anwar, berpaling pada jam dinding di atasnya. Karena, sekitar satu jam lagi, Pak Anwar – ayah Kemala – akan pulang dari kantornya. Sedangkan, makan siang belum siap di atas meja. Tapi, Bu Anwar ingin menceritakan sesuatu kepada Kemala.
“Sayang, temenin Ibu masak yuk! Nanti, Ibu jelaskan, kenapa Bilqis jadi begitu” Bu Anwar melenggang menuju dapur. Kemala membuntuti ibunya.
Sesampainya di dapur,
“Kenapa Bilqis bau, Bu?” tanyanya lagi. Bu Anwar memasukan air keran ke dalam panci, lalu merebusnya di atas kompor.
“Dulu, waktu ayah Bilqis masih ada. Bilqis tidak begitu…” suara Bu Anwar terpotong,
“Memang, sekarang ayahnya Bilqis ke mana?” Kemala menatap dalam-dalam wajah ibunya.
“Ayah Bilqis sudah meninggal. Bilqis sudah tidak punya orang tua. Semenjak itu…” suaranya terpotong lagi.
“Memangnya, Bilqis enggak punya Ibu?”
Bu Anwar menghela nafas,
“Ibunya sudah meninggal duluan dari ayahnya. Makanya, Kemala harus bersyukur masih memiliki kedua orang tua yang sayang sama Kemala”
Kemala mengangguk.
“Bilqis tidak pernah mandi, karena neneknya tidak mampu membayar biaya PDAM. Uang neneknya, hanya cukup untuk makan seminggu sekali.” Bu Anwar mengiris bawang merah.
“Kenapa tidak mandi di rumah Kemala saja?”
“Memangnya Kemala mau, Si Bau itu mandi di rumah Kemala? Nanti, kamar mandi Kemala jadi bau lho?” Bu Anwar menggodanya. Kemala mempertimbangkan. Matanya mendelik,
“Hush! Ibu! Tidak boleh menghina orang!” Kemala ketus. Ibunya tertawa kecil.
“Makanya, Kemala tidak boleh ikut-ikutan mengolok orang. Kemala juga harus banyak-banyak bersyukur, karena masih punya Ibu dan Ayah. Ayah dan Ibu, juga masih sanggup buat bayar PDAM. Jadi, Kemala masih bisa mandi. Itu, tandanya Allah masih sayang sama Kemala”
“Memangnya, Allah enggak sayang sama Bilqis ya, Bu?” matanya melotot, kaget. Bu Anwar tersenyum, sambil mengulek sambal buatannya.
“Allah itu Maha Penyayang. Allah sayang kepada semua hambanya yang mau menjalankan semua yang diperintahkan-Nya. Mungkin Allah sayang sama Bilqis, hanya saja Allah ingin memberi peringatan kepada tetangga-tetangga Bilqis, agar saling menyayangi dan mengasihi. Agar mau saling berbagi apa yang mereka punya”
Kemala tersenyum,
“Mulai besok, Bilqis mandi di sini aja ya! Neneknya biar ayah bikinin rumah yang agak bagus. Biar enggak cuma makan nasi aking” ujar Kemala, sedikit tidak nyambung. Bu Anwar mengangguk,
“Oh, iya Bu! Certain dong tentang Semut yang mau memaafkan temannya!” Kemala teringat dengan janji Bu Anwar. Bu anwar bersiap-siap mendongeng,
“Pada suatu hari…” [Noviani Gendaga, santriwati angkatan ke-2 jenjang SMA, kelas 2 di Pesantren Media]