“Budhe! Budhe Romlah!” Kamirah, tetangga sebelah kanan rumah Bu Romlah itu berteriak bagai kesetanan. Tubuhnya gemetar dan wajahnya pias.
Tergopoh Bu Romlah menyambut tetangganya itu. “Ada apa tho Rah? Kenapa kamu seperti kesurupan begitu?” Bu Romlah menatap Kamirah dengan tatapan heran.
Kamirah, wanita berusia 31 tahun itu, membalas tatapan Bu Romlah dengan tegang. Wajahnya menunjukkan kepanikan yang luar biasa.
“Pakdhe Pur, Budhe…Pakdhe Pur…” Di tengah napasnya yang memburu, Kamirah mulai menangis sesenggukan.
Seketika wajah Bu Romlah menegang. Terbayang wajah suaminya yang subuh tadi pamit untuk berdagang singkong di pasar Lorong.
“Ada apa tho Rah? Suamiku itu kenapa?” suara Bu Romlah meninggi. Tanpa sadar, dicengkeramnya lengan Kamirah dengan keras. Kamirah merigis kesakitan dan tangisnya makin pilu. Bagi Kamirah, Bu Romlah dan Pak Purwanto itu seperti ibu dan bapaknya sendiri. Panggilan Budhe dan Pakdhe itu diperuntukkan bagi anaknya, Isah yang berumur 5 tahun.
Kamirah tak mampu menjawab. Hanya tangan kanannya meraih tangan kiri Bu Romlah yang berlepotan arang dari pawonan. Ditariknya tangan kurus itu ke arah pasar.
Bu Romlah berusaha menjejeri langkah Kamirah dengan terseok. Tentu saja langkah Bu Romlah, wanita usia 60 tahun sulit untuk menyeimbangi langkah wanita seperti Kamirah yang usianya baru 30-an.
Kamirah terus menarik tangan Bu Romlah memasuki pasar yang jaraknya hanya 200 meter dari rumah mereka. Di pasar, suasana sangat ramai. Makin ke dalam, makin berjubel. Jantung Bu Romlah berdebar kencang. Ia merasa, manusia-manusia itu tengah mengerumuni sesuatu. Suaminyakah?
Begitu melihat Bu Romlah menyeruak, menyibak kerumunan, segera saja suara mereka ribut seperti dengungan lebah. Serentak mereka menyingkir, memberi jalan untuk Bu Romlah agar leluasa mendekat.
Jantung Bu Romlah yang sedari tadi berdegup kencang, kini bergemuruh hebat. Hampir saja kedua kaki wanita itu tak mampu menyangga berat tubuhnya, saat melihat pemandangan di hadapannya. Di tanah pasar yang becek pasca hujan semalam itu, Bu Romlah menyaksikan tubuh suaminya terbujur meregang nyawa. Di bagian perutnya, menganga luka yang –Ya Allah– mengakibatkan isi perut Pak Purwanto terburai keluar. Hebatnya, suaminya itu masih sadarkan diri dan menatapnya sayu manakala melihat kehadirannya.
“Gusti Allah! suamiku kenapa?” Bu Romlah menghambur ke arah tubuh renta di hadapannya. Direngkuhnya suaminya yang bersimbah darah. Seketika Bu Romlah turut berlumur darah.
Detik itu juga, wanita nan tabah itu terisak pilu. Airmatanya tak jua berhenti mengalir. Sempat didengarnya suara-suara di sekitarnya.
“Pak Pur tadi hendak melerai pertikaian Andi dan Dody. Eh, ternyata malah Pak Pur yang terkena sabetan golok Dody. Dasar pemabuk! Kasihan Pak Pur,” ujar salah satu dari mereka.
Pak Ahmad dan Pak Junaedi datang tergopoh. “Bu Romlah, kita bawa saja Pak Pur ke rumah sakit ya.”
Tidak menunggu jawaban dari Bu Romlah, Pak Ahmad dan Pak Junaedi bergerak cepat menutup luka Pak Pur dengan kain seadanya dan menggotong tubuh Pak Pur ke dalam angkot milik Pak Ahmad.
Bu Romlah sendiri pasrah dipapah Kamirah masuk ke dalam angkot. Angkot segera bergerak cepat menuju RS. Sehat Sentosa yang lokasinya tak jauh dari pasar Lorong, pasar tempat Pak Pur mengalami kejadian naas tadi.
Sepuluh menit kemudian mereka tiba di rumah sakit milik swasta tersebut. Mereka disambut dengan petugas dan Pak Pur segera dilarikan ke ruang ICU.
Mereka bergerak cepat. Setiba di depan ruang ICU, langkah Bu Romlah ditahan petugas.
“Bu, mohon menyelesaikan administrasinya terlebih dahulu.” Ujar petugas itu. Yang diajak bicara mengangguk linglung dan menyeret kakinya, mengikuti langkah petugas rumah sakit tersebut.
Setiba di bagian administrasi, setelah ditanya ini itu, tak lama kemudian, Bu Romlah disodorkan selembar kertas berisi rincian uang muka.
“Apa ini Bu? Maaf saya tidak bisa membaca,” tanya Bu Romlah lirih.
“Begini Bu, kondisi suami Ibu kritis, harus segera dioperasi. ini rincian uang mukanya dulu. Biaya keseluruhan akan dirinci nanti, pasca operasi. Tolong ibu tanda tangan dulu dan membayar uang mukanya, sebesar 5 juta rupiah.” Jelas petugas administrasi itu.
Bu Romlah bagai tersengat listrik. Bibirnya kelu dan ludahnya terasa pahit.
Hening sesaat.
“Bu, saya tidak punya uang segitu. Suami saya tadi jual singkong. Hasilnya rencananya buat makan hari ini. Belum sempat ada hasilnya, ternyata suami saya keburu ditikam orang. Untuk makan saja tidak ada Bu, apalagi uang sebanyak itu.” Ujar Bu Romlah lemah.
“Apa Ibu bisa menghubungi orang lain yang kira-kira bisa memberikan jaminan, barangkali?”
“Tidak ada Bu. Kami cuma hidup berdua. Anak kami satu-satunya jadi TKI dan tak pernah kembali.”
Hening. Bu Romlah dilanda gelisah. Kedua petugas wanita di hadapannya saling berpandangan.
“Maaf Bu, sebenarnya rumah sakit kami tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menangani kondisi suami Ibu. Lagi pula, prinsip rumah sakit kami lebih mengutamakan pasien dengan kasus selain perkelahian, Bu.” Ujar petugas wanita yang satunya lagi.
“Maksud Ibu?” bergetar suara Bu Romlah.
“Maaf, kami tidak bisa membantu pasien yang terluka akibat perkelahian, Bu,”
“Tapi, suami saya itu korban, Bu. Seumur hidupnya ia tidak pernah berkelahi.”
“Maaf, silahkan Ibu cari rumah sakit lain ya,”
“Bu….” suara Bu Romlah tercekat di tenggorokan. Lemaslah kini tubuh renta itu. Tidak ada gunanya lagi memohon.
Dengan gontai ia kembali ke ruang ICU. Digigitnya bibirnya hingga nyaris berdarah. Menahan perih yang menyesakkan dada. Apa yang harus ia katakan terhadap suaminya tercinta?
Di depan ruang ICU, Pak Ahmad, Pak Junaedi dan Kamirah menatap penuh tanya.
Beberapa petugas kembali mengeluarkan tubuh Pak Pur dari ruang ICU. Tubuh itu masih seperti sedia kala. Belum tersentuh pertolongan medis.
Penuh cinta dan iba Bu Romlah menatap wajah pucat suaminya. Pak Pur telah kehilangan begitu banyak darah. Gusti Allah, apa yang mesti diperbuatnya.
Perlahan Bu Romlah mendekati tubuh renta nan bersimbah darah milik suaminya.
“Pak…maafkan Bu ne. Bu ne tidak punya uang untuk mengobati Bapak.” Bu Romlah berbisik sangat lirih di telinga suaminya. Air mata tak jua surut dari sudut matanya.
Pak Pur, suami yang telah menemaninya hampir 40 tahun lamanya itu, tersenyum sangat samar. Bibirnya bergerak lemah…
Bu Romlah segera mendekatkan telinganya di bibir Pak Pur.
“Bu ne…tolong, masukkan…ususku.” terbata suara Pak Pur di tengah napasnya yang tersengal.
Bu Romlah terpaku. Pak Ahmad, Pak Junaedi dan Kamirah yang mendengar permintaan Pak Pur bergidik ngeri. Tak terbayang bagaimana Bu Romlah melakukannya.
Perlahan, tatapan Bu Romlah pada wajah Pak Pur berpindah ke arah perut suaminya itu. Perut bersimbah darah itu tertutup secarik kain yang ditutup seadanya.
Entah mendapat kekuatan dari mana, perlahan Bu Romlah menyibak kain itu. Semua yang menyaksikan pemandangan itu membuang pandang. Ngeri dan mual. Namun tidak dengan Bu Romlah. Bahkan isaknya tak terdengar lagi.
Bau amis seketika menyeruak, menggantikan bau kering udara. Bau itu menyergap indera penciuman, bergumul dan mendesak perut untuk memuntahkan isinya. Lalu, dengan ketabahan yang luar biasa, jemari Bu Romlah mulai memasukkan usus Pak Pur yang terburai itu, ke dalam perutnya kembali. Awalnya ia kesulitan, namun akhirnya, ia berhasil juga.
Bu Romlah mengakhiri ‘tugas’nya dengan menahan napas. Kembali ditutupnya luka yang menganga hebat itu.
Bersamaan dengan selesainya Bu Romlah memasukkan usus Pak Pur, bersamaan itu pula Pak Pur menghembuskan napasnya yang terakhir. Tubuh itu kini dingin, sedingin hati Bu Romlah yang menatap dengan perih bangunan angkuh rumah sakit.
Kini, ada luka baru yang menganga. Bukan, bukan di tubuh beku milik Pak Pur. Namun luka di dada yang renta, milik Bu Romlah.
Bogor, 19 Februari 2013
Luka itu bukan hanya di dada Bu Romlah
Namun juga di dada orang tua
Yang kehilangan anak-anaknya
Di hati istri-istri
Yang kehilangan suaminya,
Di hati setiap manusia,
Yang kehilangan nyawa orang tercinta
Akibat ketidakpedulian rumah sakit
Yang berbisnis ala kapitalis
[Wita Dahlia, santriwati kalong, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis cerpen di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media