Di setiap perjalanan pasti ada sebuah peristiwa
Peristiwa yang sungguh mendebarkan …
Ada peristiwa unik yang tak mungkin dilupakan…
Ada saja pengalaman bahagia yang ingin diceritakan..
Ada cerita lucu yang ingin dituliskan…
Dan inilah kisahku Sesaat di Negeri Awan ^^
Di ahad yang cerah. Ada kabar gembira yang tak terbantahkan. Kabar yang telah ditunggu beberapa bulan sebelumnya. Yuhui… tak lain tak bukan adalah kabar gembira mengenai vacation Pesantren Media. Sorak sorai membucah ketika Ustadz Umar mengumandangkan perihal liburan tersebut.
Mengenai tujuan liburan kali ini, adalah tempat yang paling kami impikan semuanya. Hampir 5 bulan merantau di Bogor, saya belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke yang namanya Puncak, Cisarua Bogor. Sebuah tempat wisata fenomenal bagi warga Indonesia, kususnya daerah Ibu Kota Jakarta. Daerah yang diliputi kabut, serta pemandangan perkebunan teh yang indah menjadi surga sesaat bagi yang penat tinggal di kota yang sumpek.
Sontak saja ketika diumumkan akan tujuan wisata ke Puncak Bogor, hati ini seolah membuncah kegirangan. Tak sabar menunggu hari yang ditentukan untuk menuju Puncak.
Rabu, 12 Desember 2012
Hari yang ditunggu itu pun tiba. Segala perlengkapan sudah disiapkan. Gadjed yang paling dan nggak boleh ketinggalan adalah kamera digital saku yang akan memotret jejak petualangan kami. Gambar yang akan menjadi saksi sejarah lembaran hidup.
Sungai Ciliwung
07.30 tepat kami berangkat menuju tujuan utama yang telah ditetapkan sebelumnya. Yaitu pengamatan ke Sungai Ciliwung. Salah satu sungai yang cukup fenomenal juga di Indonesia. Ya, di sungai ini lah yang paling mempengaruhi Jakarta banjir atau tidak. Aliran Sungai Ciliwung ini juga cukup panjang, berawal dari Puncak dan menampung curah hujan yang turun dari sana, lalu melewati Kebun Raya Bogor, hingga memasuki wilayah Jakarta. Di sungai ini juga bisa sewaktu-waktu mendatangkan air bah yang tidak disangka-sangka.
Keadaan Sungai Ciliwung yang kami kunjungi di pinggir Lapangan Sempur, Bogor, sangatlah berbeda dengan keadaan Sungai Ciliwung yang berada di Jakarta. Aliran sungai yang deras memberikan kesan sungai ini agak lebih bersih walaupun masih ada ceceran sampah, namun tak separah tumpukan sampah yang telah menjadi pulau di sungai Ciliwung daerah Jakarta. Seperti yang pernah saya lihat sebelumnya di TV bahwa sungai yang butek keruh coklat kehitaman serta sampah yang menggunung menjadi pemandangan sehari-hari warga Ibu Kota Jakarta.
Bendungan Katulampa
Mendengar namanya saja ‘katulampa’ serasa wah membahana. Konon, keberadaannya sudah ada sejak zaman Belanda. Setelah mengamati keadaan Sungai Ciliwung dan sekitarnya, kami beranjak ke Bendungan air Katulampa. Pada musim hujan begini, Bendungan Katulampa menjadi buah bibir di media massa. Ya karena di bendunga ini lah letak kunci atau parameter air yang bersumber dari puncak yang mengalir ke Sungai Ciliwung dan tentunya ke Jakarta.
Perjalanan menuju Bendungan ini melewati Jalan raya Padjajaran lalu belok ke kiri sehingga menemukan pamplet yang bertuliskan ‘Bendungan Katulampa’. Jalanan menuju bendungan ini terbilang sempit dengan sungai besar di kiri-kanan. Sebelah kirinya adalah sungai buatan untuk memecah air, dan yang di sebelah kanannya adalah sungai alami yang berasal dari Bendungan Katulampa.
Pemandangan yang menghiasi di bantaran sungai buatan tersebut adalah kios-kios kecil yang keberadaannya dilarang untuk didirikan. Dan sepanjang bantaran sungai buatan itu yang tak lepas dari penglihatan kami adalah ‘photo box’ tempat bersemedinya warga sekitar. Hehe.. 😀
Sebelum semakin mendekati bendungan, kami menemukan pusat perbelanjaan hasil produktivitas setempat berupa Tas Tajur yang terkenal itu. Ternyata cukup besar juga industry lokal tersebut. Kualitas dan display nya tak kalah dengan tas branded ternama seperti Hermes, Louis Vuitton dll.
Di sekitar bendungan ini ada sebuah kantor kecil semacam pusat pemantau Bendungan Katulampa. Ada sebuah tugu atas bantuan Nokia Siemens yang menyumbang alat pengukur tinggi permukaan air. Ini adalah satu-satunya tugu yang saya jumpai di sekitar bendungan Katulampa.
Photo bareng di dekat tugu ini menjadi tanda perpisahan yang tak terlupakan dengan Bendungan Katulampa. Dan selanjutnya adalah perjalanan menuju Puncak. ^^
Kejadian Tak Terduga
Tepat pukul 09.30 kami berangkat menuju puncak. Setelah keluar melewati jalan raya Padjajaran, di perempatan Ciawi sudah mulai terlihat kemacetan di daerah sana. Waduh, saya fikir hari biasa seperti hari Rabu ini, jalanan tenang tiada macet yang mengganggu. Ternyata penyebab kemacetan utama adalah akibat angkot dan bus berhenti sembarangan mencari penumpang. Memang masalah angkot di kota Bogor dan sekitar juga menjadi momok. Pertumbuhan angkot yang tak terkendali menyebabkan kota ini dijuluki Kota Angkot selain dari Kota Hujan.
Panas dan gerah terus saja menyeruak sepanjang perjalanan kami menuju Puncak. Hingga panas ini menunjukkan titik puncaknya saat penyetopan oleh polisi di daerah Gadog. Dua mobil yang kami tumpangi, berhasil di tilang oleh polisi. Sebuah kejadian yang sangat tidak diduga dan tak diharapkan sama sekali. Bagaimana tidak kami sangat khawatir akibat Ustadz Umar dan Musa yang menjadi pengemudi mobil tidak memiliki SIM A dan masa aktifnya telah habis. Belum lagi mobil yang ditumpangi oleh Musa dna kawan-kawan, pajaknya belum di bayar. Waduh, bisa terkena pasal berlapis nih, dan tentunya uang yang harus dikeluarkan tidak sedikit.
Agaknya Musa dan kawan-kawan lebih beruntung dari kami. Bermodalkan tampang memelas dan santai serta muka innocence nya berhasil mengelabui polisi dengan hanya membayardenda sebesar Rp 20.000,- saja. Sedangkan kami harus membayar Rp 200.000,- sungguh perbedaan yang jauh. Padahal, kasus pelanggaran kami lebih ringan dibandingkan mobil yang ditumpangi Musa dkk. Ternyata Musa punya tips jitu dalam menghadapi situasi ini. memasang muka memelas dan beralasan SIM hilang serta memisahkan uang di dalam dua dompet. Tunjukan dompet yag berisikan uang Rp 20.000,- saja. Alhasil cara ini pun ampuh menghindari ketekoran.
Polisi Indonesia VS Polisi Swiss
Saya menyesali tindakan polisi Indonesia dengan tindakan UUD alias Ujung-Ujungnya Duit. Sangat jauh berbeda dengan polisi di Swiss. Negeri yang terkenal akan pesona wisata dan layanan terhadap publik ini patut dicontoh. Berawal dari pengalaman langsung seorang dosen Unsyiah yang mengambil S3 di Swiss. Pernah suatu ketika dosen itu mengendarai mobil dan secara tidak sengaja melanggar lampu merah. Dengan gagah sang polisi Swiss yang menunggang kuda menghampiri dengan ramah.
“Good morning Sir,” sapanya.
Lalu ia melanjutkan “Apa anda sadar tadi anda telah membahayakan anda sendiri?” sang dosen tercengang dengan keramahan dan pertanyaan yang tak lazim oleh polisi Swiss tersebut.
“Selain anda membahayakan diri anda, anda juga hampir membuat orang lain celaka,” kata sang polisi tersebut.
“Lalu bagaimana perasaan keluarga anda di rumah jika sesuatu terjadi pada anda?” tanya nya lagi dengan penuh perhatian.
“Ok pak, lain kali jangan berbuat ceroboh seperti ini lagi ya, jaga keselamatan anda dan orang lain.” Saran nya sambil berlalu meninggalkan dosen tersebut sambil terkagum-kagum.
Tanpa uang denda yang mencekik leher dan penilangan yang memusingkan. Yang ada hanya keramahan dan perhatian.
Galeri Fotoku
Serasa di Negeri Awan
Acara yang tak terduga pun terlewati secara sempurna. Degup jantung yang berdetak gugup sirna seiring perjalanan yang semakin dekat menuju Puncak. Setelah kami melewai persimpangan Taman Safari, saya mengamati keadaan sekitar yang telah memasuki daerah Cisaruwa, Bogor. Suasana disini ternyata sangat khas dengan kearab-araban. Sepanjang jalan dan deretan toko yang berjejer, bertuliskan arab gundul. Restoran-restoran arab pun ada disana sini, serta hotel yang bernuansakan Timur-Tengah menghiasi sudut kota.
Lamat-lamat dari kejauhan, kami melihat kabut tipis menggantung di awan, artinya, udara semakin dingin dan kami semakin dekat dengan Puncak. Kaca jendela pun diturunkan untuk menikmati udara yang sejuk dan meneggangkan pikiran ini.
Rintik gerimis hujan menyambut kedatangan kami di Puncak. Hamparan perkebunan teh yang hijau memanjakan mata. sejauh mata memandang hanya hijau dan putih kabut yang menghiasi pemandangan kala itu.
Dengan mengucap rasa syukur, kami pun sampai dengan selamat di Masjid Atta’awun. Masjid ini berdiri kokoh di atas bukit yang menjulang. Sehingga ketika kabut datang menyapa, berada di Masjid ini seolah-olah berada di atas Negeri Awan. Imajinasi saya beranjak ke film kartun Song Gokong. Film kartun tersebut menggambarkan setting berada di kerajaan awan. Masjid Atta’awun ini seolah seperti menjadi istana dalam kerajaan awan tersebut.
Sungguh indah pemandangan sekitar, hingga puji-pujian kepada Sang Pemilik Keindahan tak henti-hentinya keluar dari bibir saya.
Untuk menuju ke masjid ini, dari parkiran mobil harus menapaki anak tangga. Setelah itu jalan sedikit ke tempat penitipan payung dan sandal. Setelah itu anda akan disambut kolam setinggi setas mata kaki yang dingin sperti air es. Hal ini memberikan sensasi tersendiri. Selain kaki menjadi bersih ketika memasuki areal masjid, ada terapi me-refresh-kan sejenak penat dalam benak fikiran.
Setelah berwudhu, dan merasakan sensasi air es menyerap ke seluruh syaraf, kami melaksanankan shalat zhuhur berjamaah . tempat shalat akhwat dan ikhwan dipisah. Yang akhwat di atas dan ikhwan di bawah secara otomatis kami seolah shalat di tengah ruang kaca yang besar dengan pemandangan yang luar biasa. Di dalam shalat rasa syukur atas kenikmatan senantiasa saya panjatkan dalam setiap sujud.
Dari Omar Hingga Curug
Setelah makan siang, kami dibolehkan untuk mengeksplor sekitar masjid. Tak buang waktu yang tersisa, saya menyusuri banyak bagian di masjid ini. Mulai dari perpustakaan kecil dan stand penjualan kaset cd islami dan disana saya melihat ada VCD film Omar yang beberapa waktu lalu kami tonton bareng dipajang di salah salah satu estalase penjualan CD. Iseng saya menanyakan harganya. Coba tebak beapa harganya. Ckck, diluar dugaan harga satu kotak VCD itu mencapai Rp 100.000,-! Namun ada hal yang lebih mengejutkan dan tak di duga lainnya. Di belakang masjid Atta’awun ini ada Curug—air terjun buatan yang elok. Ada bebatuan yang disusun apik dan dibuat seperti tingkatan bertangga seolah membuat air meluncur dengan deras dan indahnya. Tepat berada di atas air terjun kecil tersebut ada seutas spanduk yang bertuliskan “Selamat datang di Curug ATTA’AWUN. Jadikan keindahan alam ini untuk bertafakkur atas kebesaran Allah SWT.”
Sungguh perpaduan keindahan yang tak terbantahkan. Letak masjid bak istana kerajaan di tengah awan dengan air jernih yang mengalir serta taman-taman bunga yang mempersona serta rimbunan pohon yang menyejukkan menyertai vacation kami kali ini.
Kabut awan semakin tebal menyentuh dan meraba kulit kami. Membuatnya semakin eksotis layaknya di Negeri Awan. Gerimis hujan semakin cetar membahana menandakan kami akan segera pulang ke peraduan.
Ya inilah kisah ku Sesaat Di Negeri Awan. Dan sampai jumpa di kisah lainnya…
Salam,
Jacinda Aqinah Woyla
[Dini Purnama Indah Wulan–dengan nama pena “Jacinda Aqinah Woyla”, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini adalah bagian dari tugas menulis feature di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media
Menurut saya, “Polisi Swiss” itu informasi yang sangat penting dijejali karena berkaitan dengan penilangan yang terjadi dalam perjalanan ini.
Lewat tulisan ini, saya tak hanya menceritakan tentang asik nya liburan, namun saya ingin menyampaikan kekesalan saya terhadap oknum Polisi Indonesia yang sangat jauh berbeda dengan keramahan Polisi Swiss. Dan cerita Polisi Swiss ini real saya dapat kan langsung dari sumbernya. Di cityzen reporter, serambinews.com
Bukankah di setiap cerita ada ibrah yang harus di ambil ?
awww… ternyata lagi2 dia mengkritik kritik…