Loading

5

Kampung Kecil Kasawari

Tibalah kami di rumah Mak e dan Ayah. Aku melihat sekelilingku. Rasanya aneh. Ini seperti kampung, tapi bukan kampung. Daerah yang terpencil dengan rumput-rumput tinggi menjulang melingkari rumah-rumah kayu. Kata Ayah—kepada Man Rul—bahwa kampung ini dibuat sendiri di pinggiran kota. Kampung kecil yang hanya berisi beberapa rumah, tidak lebih dari lima belas rumah dan lima belas keluarga ini cuma ditempati oleh orang-orang Indonesia dan orang-orang Burma yang belum memiliki tempat tinggal yang jelas. Padahal orangtuaku sudah lama sekali meninggalkan kampung halamannya di Indonesia. Ternyata sulit juga mencari tempat tinggal yang jelas di negeri orang.

Di halaman rumah, aku disambut oleh warga kampung kecil itu. Seorang pria muda menggendongku dengan gembiranya. Aku tahu pria itu. Dia adalah kakak lelakiku yang pertama. Aku memanggilnya Cak Har.

Turu mbek Cacak, yok?”1 Aku mengangguk-angguk pun gembira. Dia memang kakakku yang sangat perhatian denganku. Aku sangat merindukannya. Sudah lama sekali, sampai-sampai aku pun melupakan wajahnya yang kocak itu.

Ketika Cak Har menggendongku, hendak membawaku ke kamarnya, ada seorang wanita yang sebaya dengan Cak Har menimpali dengan nada ketus, “Gak usah.2

Bengi iki tok, Dek.”3 Kata Cak Har. Tapi wanita itu—istri Cak Har—langsung pergi tak membalas lagi. Jahatnya! Pikirku saat itu. Bisa-bisanya dia menolak kehadiranku, padahal aku lucu. Ya, begitulah. Pentingnya keberadaan seseorang itu ternyata relatif, Kawan.

Aku dibawa ke kamarnya, lalu aku ditidurkan di kasur yang tak beranjang. Karena aku lelah dengan perjalanan kami tadi yang tidak langsung pulang ke sini, tetapi masih jalan-jalan ke sana ke mari, aku langsung terlelap.

Esoknya aku benar-benar bangun kesiangan. Istri Cak Har—Kak ayuk—sudah bangun pagi-pagi sekali. Sedangkan Cak Har, dia masih tidur. Aku bahkan bangun lebih awal dibanding dia. Kau tahu Kawan, tak seperti di  kampungku yang di Indonesia, di sini aku hampir belum pernah mendengar adzan sembahyang. Kenapa, ya? Aku pikir mereka sudah cukup dewasa untuk sembahyang subuh, dzuhur, ashar, maghrib dan ishak. Aku tak habis pikir! Di sini banyak hal yang membingungkan!

Aku bergegas ke rumah Mak e dan Ayah yang bertepatan di sebelah rumah Cak Har. Mak e menyambutku dan memberiku sarapan, sepiring nasi berukurun sedang dengan lauk tempe di atasnya. Bagiku tempe Mak e adalah yang nomor satu. Tidak ada yang bisa membandingkan kegurihan tekstur tempe buatan Mak e. Aku melahapnya dengan kerinduan yang membeludak.

Setelah makan, Mak e menyuruhku mandi. Ketika aku masuk kamar mandi, untuk yang kesekian kalinya aku kembali bingung sekaligus terkagum-kagum dengan hal-hal baru yang kutemui di sini. Bak air untuk mandi di sini sangat besar. Aku jamin ini bisa dibuat untuk berenang-renang dengan teman-temanku yang ada di kampung Indonesia.

Setelah mandi, aku bertanya pada Mak e, di mana ayah? Beliau menjawab, bahwa Ayah sedang kerja. Ayahku adalah seorang kuli bangunan. Kedua kakak lelakiku juga kuli bangunan. Menurutku, kuli bangunan adalah profesi yang hebat. Karena mereka membuat gedung-gedung tinggi besar yang hebat, aku yakin mereka yang membuatnya pun tak kalah hebat. Sebagaimana Ayahku, ayah yang terhebat sedunia.

Alkisah dari Mak e suatu hari, ketika aku bertanya: kenapa Ayah sering sakit pinggang? Kisah yang terjadi lama sebelum aku lahir ke dunia:

Dulu, Ayah adalah kuli yang hebat, kuli serba bisa. Touke-touke­ Cina itu sangat mempercayai keahlian Ayahku. Tapi suatu hari, tak ada badai, tak ada angin, Ayah terjatuh dari bangunan yang belum jadi dari tingkat empat. Terjerembap ke bawah dengan posisi duduk menjulurkan kaki. Posisi jatuh yang jarang sekali dialami oleh manusia yang jatuh dari bangunan.

Tak bisa  aku bayangkan bagaimana rasa sakitnya itu. Pasti sakit, sakit, sakit sekali, Kawan! Bagaimana tidak, toh sampai kotoran tinja Ayah muncrat keluar menebar ke sekelilingnya.

Ayah terdiam lesu dengan wajah pucat yang luarbiasa, hanya mampu menangis dengan airmata yang tak banyak, tanpa suara isak. Orang-orang yang melihat Ayah menunjukkan wajah-wajah iba. Mak e berlari dari kejauhan dengan kilat, tapi airmukanya tenang, tetap teduh. Itukah yang namanya kesabaran? Aku jadi mengingat kata ustadku yang mendefinisikan arti sabar. Sabar adalah pukulan pertama. Di mana seseorang diukur dari bagaimana dia menghadapi suatu keadaan genting dengan reaksi awal yang pasrah dan tidak ada penyesalan.

Ayah dibawa ke rumah sakit. Tidak sampai operasi untungnya. Jadi biayanya tidak mahal-mahal sangat. Mak e bilang padaku kalau Ayah akan mengalami hal yang semacam ini. Karena kata Mak e, ini adalah karma bagi Ayah. Entah karma untuk apa, Mak e tidak mengatakannya padaku. Yang pasti, Mak e menasehatiku, kalau kepercayaan, kejujuran, kesetiaan, dan kesabaran adalah yang paling penting dalam hidup, dalam cinta. Kalau tidak, karma pasti akan berlaku.

Walau aku tak tahu menahu tentang seluk beluk cinta atau apalah-apalah itu, aku hanya mengangguk-angguk dan berharap suatu saat aku akan mengerti dan paham sepenuhnya dengan nasehat itu. Karena kata ustadku—sekali lagi—nasehat seorang Ibu jangan diabai, bisa-bisa kacau balau hidup kita, Kawan.

  1. Tidur sama Kakak, ya?
  2. Tidak usah.
  3. Malam ini saja, Dek.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *