Diskusi Aktual (Rabu, 1 Agustus 2018)
Ulama Dibela, Ulama Dihina
Seperti biasa Rabu malam minggu pertama (1 Agustus 2018), Pesantren Media melakukan Diskuasi Aktual yang dihadiri oleh santri Pesantren Media yang berlokasi di kelas. Sayangnya, dua santri akhwat berhalangan hadir karena sakit.
Dibuka oleh Ust. Oleh Sholihin selaku pembina, Zadia sebagai notulen, dan moderator Diskusi Aktual malam itu, Ukkasyah Q. dan Taqiyyuddin A. membuka prolog untuk diskusi malam itu yang membahas tentang polemik Ust. Hanan Attaki yang menuai pembelaan dan penghinaan berujung perang caci maki di dunia maya.
“Berkaitan dengan polemik kasus Ust. Hanan Attaki yang menyatakan ada geng-geng di antara para istri Nabi, dan Nabi Musa sebagai premannya para nabi.” Kata Ukkasyah, memberikan prolog.
Setelah prolog singkat dari moderator, diskusi masuk ke sesi tanya jawab. Walaupun awalnya peserta diam, setelah ada yang memulai bertanya, pertanyaan-pertanyaan lain mulai disampaikan. Ada 8 pertanyaan yang ditanyakan peserta diskusi. Berikut yang ditanyakan:
- Zadia: Boleh atau ngga menyimpulkan suatu hadits dan membilangkannya?
- Bintang: Bagaimana tanggapan kita sebagai santri menghadapi masalah ini, apakah diam saja atau sampai berkomentar, mengkafirkan dia lewat video-video?
- Akram: Mengapa ustad Hanan Attaki menyampaikan dakwahnya dengan bahasa (gaul) yang seperti itu?
- Zadia: Apakah boleh kita berdakwah seperti itu (menyampaikan dengan bahasa yang gaul) agar lebih menyesuaikan penyampaiannya kepada para audience (pendengar)?
- Qois: Dari semua video-video Hanan Attaki, apakah video yang diambil orisinil atau potongan-potongan yang diambil orang tanpa izin?
- Syahril: Mengapa Ustad Hanan Attaki meng-upload dakwahnya di Instagram. Kenapa ngga di upload di anak gaul doang?
- Faziera: Apakah Ust. Hanan Attaki sudah memverifikasi semua kesalahan dalam dakwahnya?
- Nufus: Apakah perumpamaan yang disampaikan Ust. Hanan Attaki termasuk menghina atau men-dzalimi para Nabi dan sahabat atau ngga?
Karena keterbatasan waktu, maka sesi tanya jawab ditutup oleh moderator dan langsung melanjutkan sesi menjawab. Sesi menjawab berurutan mulai dari pertanyaan pertama dari Zadia, bolehkah kita menyimpulkan satu hadits dengan menyebutkan bilangannya, padahal tidak disebutkan angka tertentu di hadits itu.
Ukkasyah, santri ikhwan kelas 2 SMA menjawab dengan pendapatnya, “Di haditsnya memang ngga ada bilangannya. Tapi niat dia itu karena orang yang 55 kilo itu proporsional, jadi ngga ada kekurangan atau kelebihan. Itu konteksnya ke akhwat, jadi klarifikasinya bakal jadi ibadah karena menyenangkan suaminya. Jadi kalo misalnya ibu-ibu kalo nimbang lebih dari 55 itu hanya bilang kalo agar menjaga kesehatan, menjaga kebersihan, karena itu ibadah. Allah juga bilang kalo ibadah itu berdasarkan kesholehannya,”
Santri akhwat kelas 3 SMA Zadia membantah pendapat Ukkasyah, “Tapi itu, kan ngga benar. Misalnya orang Indonesia bilang proporsionalnya 55 kilo, emang orang luar (luar negeri) juga 55, padahal mereka bisa jadi lebih tinggi dari orang Indonesia. Kan bahaya kalo orang luar malah nentuin angka sendiri, padahal di haditsnya ngga ada ketentuan angka berat badan. Kalo bukan soal berat, ambillah soal doa qunut, kan jelas ada dalil yang mencontohkan Nabi pakai doa qunut dan ada Nabi mencontohkan ngga pakai doa qunut. Tapi kalo soal berat badan kan ngga ada ketentuan angka harus 55 atau 65 dan sebagainya. Nanti kalo sampe ada yang bikin keyakinan baru gimana?”
Menanggapi kembali pernyataan Zadia, Bintang santri Ikhwan kelas 3 SMA mengatakan, “Buat saya buat keyakinan baru, ngga. Karena dia cuman mencontohkan kalo dia ngga kebanyakan makan dan ngga kekurangan makan,” Dari pernyataannya, Bintang pro dengan pendapat Ukkasyah.
Suasana di kelas terasa memanas. Santri akhwat terlihat berpendapat satu sama lain, menyatakan ketidak setujuannya. Sementara itu, Qais santri ihkwan kelas 3 SMA memiliki pendapatnya sendiri, “Menurut saya kalo memakai angka itu memang salah. Misalnya nih, itu dijadiin kriteria akhwat yang sholehah, terus cowok pada nyari yang di bawah 55, kan salah. Terus kalo misalnya nanti ada kriteria cowok sholeh itu 55 kilo, nanti cewek nyari cowok yang beratnya 55, emang cowok mau digituin? Jadi ngga mesti 55. Kalo missal kata Qowy untuk jaga kesehatan dan sebagainya, okelah. Tapi lebih baik kalo mau nasehatin yah, bilang aja untuk jaga kesehatan, jaga kebersihan, ngga perlu pake angka angka segala…”
Pernyataan Qais menengahi perbedaan pendapat, dan tampaknya seluruh peserta diskusi menyetujui pendapatnya. Sesi menjawab dilanjutkan ke pertanyaan kedua dari Bintang, bagaimana santri harus menghadapi masalah ini?
Ukkasyah menjawab pertanyaan Bintang. “Kalo menurut saya, kalo dia salah, yah dinasehatin. Kalo soal Nabi Muhammad posting tilawah di Instagram, emang salah, sih. Tapi sebagai umat muslim kita ngga perlu sampai mengkafirkan atau bagaimana. Karena dia kan seorang ustad. Dan mungkin pas waktu dia ceramah dia sempat bingung nyari kata yang tepat. Mungkin kalimatnya dianggap orang Indonesia itu terlalu negative. Kalo untuk santri PM (nanggepinnya), karena dia mengaku salah, yaudah dimaafin, karena dia tidak berniat menghina nabi atau rasul. Kalo ceramahnya ada yang bener yah, yaudah kita ikutin.”
Merasa cukup dengan jawaban Ukkasyah, sesi jawaban dilanjut ke pertanyaan ketiga dari Akram: mengapa cara penyampaian materi Ustad Hanan Attaki dengan bahasa gaul?
Pertanyaan ini dijawab oleh Zadia, kemudian santri akhwat kelas 3 SMP, Faziera menyimpulkan dan menanmbahkan, “Ust. Hanan Attaki disebut ustad muda yang gaul. Mayoritas yang dateng (mendengar ceramah) anak-anak motor, anak-anak skateboard. Kalo diberikan kata-kata yang tinggi, mungkin mereka tidak mengerti, jadi pakai kata-kata yang gaul.”
Jawaban pertanyaan ketiga merangkum jawaban pertanyaan keempat dari Zadia: Apa boleh menyampaikan dakwah dengan bahasa yang gaul? Bahwasannya boleh menggunakan bahasa yang gaul atau formal dalam berdakwah untuk menyesuaikan dengan orang-orang yang mendengarkan. Dengan catatan tidak melanggar batas-batas, aturan dan ketetapan syariat Islam.
Karena jawaban ketiga merangkum jawaban keempat, maka pertanyaan yang dijawab langsung ke pertanyaan kelima dari Qais, apakah video kesalahan Hanan Attaku yang diambil orisinil atau potongan-potongan yang diambil orang tanpa izin?
Lagi-lagi, Ukkasyah santri pertama yang menjawab, “Kalo yang saya liat dari video-video, 70% diambil dari luar, bukan orisinil tim nya. Jadi kalo misalnya hak cipta atau izin, kita ngga tau mereka urusannya gimana. Tapi kalo misalnya ngambil yang lain (illegal), kurang tau. Kita ngga bisa nentuin videonya legal atau ngga. Jadi yah, menurut saya diambil baiknya aja.”
Menambahkan jawaban dari Ukkasyah, Faziera berpendapat, “Kalo kita liat ceramahnya Ustad Hanan Attaki kan dari awal sampai akhir. Tapi kalo kita liat di videonya yang viral, kebanyakan cuman potongan kesalahannya aja. Jadi kita Taunya kesalahan Ustad Hanan Attaki, tapi lupa sama kebaikan-kebaikan yang udah beliau siarkan,”
Ditutup oleh pendapat Faziera, sesi jawaban masuk ke pertanyaan keenam dari Syahril, santri ikhwan kelas 1 SMP: Kenapa dakwah Ustad Hanan Attaki di share secara umum alih-alih di share di anak gaul doang?
Moderator menjawab pertanyaan Syahril, “Anak gaul ngga mungkin di satu daerah doang. Jadi mereka nge-sharenya ngga cuman di satu tempat, tapi tersebar luas.”
Zadia menambahkan, “Walaupun misalnya di share di antara anak gaul doang, tapi sarana sharing bisa jadi umum dan memungkin banyak orang buat ngeliat itu.”
Sesi jawaban langsung ke pertanyaan ketujuh dari Faziera, apakah Ustad Hanan Ataki sudah meminta maaf atas semua kesalahannya? Yang dijawab oleh Ukkasyah, “Beliau udah minta maaf, tapi kalo saya liat ngga semuanya. Tapi kebanyakan orang mempersalahkan Nabi Musa preman para nabi dan Aisyah itu anak gaul. Menurut saya juga juga terlihat negative (salah) yang di Musa itu premannya para nabi.”
Karena tidak ada peserta diskusi yang mau menambahkan jawaban atau berpendapat lain, sesi jawaban masuk ke pertanyaan terakhir dari Nufus, santri Ikhwan kelas 1 SMA, apa perumpamaan yang disampaikan Ustad Hanan Attaki termasuk menghina dan men-dzalimi para Nabi dan sahabat atau ngga?
Pertanyaan ini dijawab oleh Zadia yang berpendapat kalau apa yang disampaikan oleh Ustad Hanan Attaki sebenarnya hanya perumpamaan. Untuk orang-orang yang mengerti (tau sejarah Islam), mereka pasti ngerti maksud perumpamaan Ustad Hanan Attaki. Kalau Aisyah disebut istri Nabi yang gaul, maksudnya karena karakter Aisyah yang ceria jadi merupakan sosok yang ‘gaul’ pada masanya. Bukan pada masa sekarang, tapi pada masanya dulu.
Ukkasyah menambahkan sekaligus menutup sesi jawaban, “Maksudnya Nabi Musa preman para nabi adalah bangga karena Nabi Musa itu sosok yang kuat, gagah. Sementara Aisyah gaul karena ceria.”
Semua pertanyaan telah dijawab menurut pendapat para santri Pesantren Media. Moderator mempersilahkan Ustad Oleh untuk mengevaluasi, “Dari sisi diskusi, awal-awal masih pemanasan. Kecuali munkin pas Ustad nelepon terjadi diskusi yanyg bagus,” kata Ustad Oleh yang memang sempat keluar dari kelas untuk menerima telepon dari wali santri.
“Kalo yang terkait dengan pemahaman ini, pertama mungkin bijak juga dalam menyikapi pemahaman ini. Artinya bijak soal pemahaman dan penyelesaian. Pertama, setiap orang bisa salah, karena setiap anak keturunan Bani Adam itu bisa berbuat salah. Dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertaubat.
Apa yang dilakukan Ustad Hanan Attaki sudah bagus dan fair. Artinya legowo menerima kritik dan saran netizen. Dalam hal ini, sebenernya udah clear. Tapi persoalan yang bikin hot karena ada sebagian kaum muslimin sampai ada yang meng-kafirkan hanya dengan melihat bukti video itu. Seolah-olah tidak ada kata maaf. Padahal untuk orang yang murtad saja, dikasih waktu 3 hari untuk bertaubat. Tapi ini sudah mengklarifikasi, meminta maaf, seharusnya sudah selesai. Tapi karena terlanjur video tersebar seolah membully. Ustad Hanan Attaki udah meminta maaf.
Kemudian, kalopun ada istilah-istilah yang 55kg lihat dulu klarifikasinya, bener atau ngga. Karena saya belum menemukan klarifikasinya dan video penjelasannya. Tapi yang menjadi baper kan biasanya ibu-ibu, kok diukur dari berat badan. Bukannya kalo wanita shalihah itu, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalehah dan yang baik adalah agamanya (hadits nabi). Mau orang gemuk atau ngga, itu bukan urusan utama. Tapi yang dinilai itu aqliyah (Islamiyah) sama nafsiyah (Islamiyah) yang bila sudah Islam maka insya Allah (baik). sementara kalo dari fisik itu bukan dari ukuran.
Keliatannya udah beres polemiknya. Tapi kalo melihat itu lagi, pelajaran juga bagi kita. Makanya kalo mau dakwah ke audience (pendengar) yah, sesuai dengan tema dan bahasa yang sesuai dengan audience. Jadi bukan istilah, tapi apa yang menjadi problem di masyarakat. Bapak-bapak, anak-anak, ibu-ibu…. Kalo anak gaul sekarang terus pake perumpamaan Nabi dakwah lewat Instagram followernya sekian, memang ngga pas, saya juga setuju ngga pas, karena faktanya bukan begitu. Bahasa yang ingin gaul tapi kebablasan, ngga boleh.
Maka ketika akan berdakwah ke kaumnya, yah itu harus disesuaikan. Bukan berarti ketika menyasar ke remaja, bahasanya harus gaul tapi kalo mencontohkan nabi, yah, jangan, karena itu harus sesuai fakta. Intinya kita harus proporsiaonal menyikapi apa yang terjadi di lapanagna apalagi itu sesama muslim. Kita harus saling mengingatkan tapi dengan cara yang baik juga.”
Pukul 21.10 Diskusi Aktual minggu pertama, Rabu, 1 Agustus 2018 ditutup.
ZMardha (willyaaziza) Santri Kelas 3 SMA Pesantren Media