Arti Kesabaran #1
Pagi itu sinar mentari hangat menerpa bumi. Kicauan burung seakan turut mewarnai pagi. Kubuka tirai jendela yang menghalangi pandangan untuk melihat keadaan di luar. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Hanya ada beberapa orang yang berlalu sambil mengayuh sepeda tuanya. Jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh. Aku baru saja bangun dari tidurku.
“ La, bangun! Ibu berangkat ke pasar dulu. Nanti tolong antarkan cucian ke rumah bu Dewi,” teriak ibu.
“ iya bu,” jawabku masih dengan suara yang serak.
Seperti biasa setiap hari minggu aku disuruh mengantarkan cucian ke beberapa tempat langganan ibu. Ya, ibuku hanyalah seorang buruh cuci yang tidak setiap hari mendapatkan gaji. Penghasilan ibu hanya cukup untuk makan kami sekeluarga, terkadang juga masih kurang. Ayah mencoba mengais rejeki menjadi seorang kuli bangunan demi biaya sekolahku dan adik. Tetapi syukurlah, Tuhan selalu memberikan jalan bagi hambanya yang mau berusaha. Kami sekeluarga memang hidup pas-pasan, tetapi kesederhanaan dalam keluarga kami terasa membahagiakan.
Sekitar pukul sembilan pagi, aku berangkat ke rumah bu Dewi dengan menenteng beberapa baju cucian. Kupacu gas motor sedikit cepat. Biasanya aku menggunakan sepeda pancal untuk mengantarkan baju-baju itu. Akan tetapi karena hari ini sedang mager alias malas gerak, maka aku memilih melaju cepat bersama asap motor. Selesai dari rumah bu Dewi, aku berencana ke rumah Zia untuk menyelesaikan beberapa tugas sekolah.
“Lala cepatlah ke rumahku, tugas sudah menunggu” hp ku bordering, ternyata pesan dari Zia.
Setelah kuserahkan baju-baju milik bu Dewi, aku segera meluncur ke rumah Zia. Menyusuri aspal hitam yang diselimuti debu. Pepohonan di tepi jalan sesekali melambai-lambai diterpa angin. Sinar mentari yang tadinya hangat kini sudah berganti panas yang cukup membakar kulit. Sang raja siang sepertinya sudah sampai di tengah perjalanan. Kulihat beberapa warga desa masih asyik bergulat dengan lumpur, sebagian lagi ada yang sedang beristirahat di gubuk yang memang sengaja dibuat untuk sejenak melepas lelah. Rasa panas ataupun lumpur yang menerpa tubuh mereka seakan sama sekali tidak menghalangi semangatnya untuk bekerja. Itu semua mereka lakukan demi keluarga dan mungkin juga demi menyambung hidup.
Belum sampai di tempat tujuan aku bertemu dengan seseorang. Kaya dan sadis, begitu tetangga sering memanggilnya. Aku sendiri tidak mengenalnya dengan akrab, tetapi yang aku tau beliau adalah seorang pekerja kantoran. Beliau termasuk orang yang cukup berada, namanya bu Rina, langganan ibu.
“Lala !”
Mendengar namaku dipanggil dengan cukup keras, kuhentikan laju motor, menepi. Kulihat bu Rina mempercepat langkahnya menuju arahku.
“Iya, ada apa bu?” jawabku sambil melihat beberapa baju di tangan kanannya.
“Oh mungkin akan dititipkan untuk dicuci” pikirku.
Wajah bu Rina terlihat tegang sebelum ia melontarkan beberapa pertanyaan.
“Kamu Lala kan, anak tukang cuci itu?”
“Benar, ada apa bu?” tanyaku sedikit penasaran.
Entah apa yang ada dalam fikiran bu Rina, baju yang ia bawa tiba-tiba dilemparkan tepat di wajahku. Kaget, bingung, marah, ingin teriak, seakan semua ingin kulakukan secara bersamaan. Tapi apa daya, aku hanya bisa terdiam, mematung.
“Tukang cuci tidak becus. Kenapa beberapa baju saya bisa rusak seperti ini. Ini baju mahal, bahkan lebih mahal dari motor butut kamu. Memangnya kamu bisa mengganti?”
“Maaf bu, saya tidak tau apa-apa tentang baju itu.”
“Baju itu robek semuanya, kamu tidak lihat?”
“Ibu saya juga mencuci seperti biasa. Mungkin memang baju itu sudah rusak sebelumnya, atau…”
“Atau apa, atau memang ibu kamu sengaja merusaknya. Dasar tukang cuci, miskin!”
Tidak terasa air mataku menetes. Ingin rasanya aku berteriak sekencang-kencangnya. Inikah perlakuan yang pantas untuk orang miskin seperti aku? Inikah penghargaan terbaik untuk seorang buruh cuci seperti ibuku? Cacian, hingga jatuhnya harga diri apakah harus diterima dengan besar hati? Kuambil baju yang berserakan di depanku. Memang benar, kulihat ada bagian baju yang robek. Kuurungkan niatku pergi ke rumah Zia.
“Zia maaf, aku ada kepentingan mendadak, tidak bisa datang ke rumah kamu”
“Oke deh.” Jawab Zia di seberang sana. Setelah menutup telepon. Aku berbalik arah, kembali ke rumah.
Zuyina Hasanah Santri kelas 2 SMA Pesantren Media