Loading

Para santri Pesantren Media insya Allah sudah sangat hafal dengan istilah ini. Sebab, hampir di setiap pertemuan saya dan para guru yang mukim di pondok selalu mengingatkan tentang pentingnya keberkahan ilmu. Sebab, percuma saja banyaknya ilmu yang dimiliki, tetapi tidak berkah, tidak barokah.

Apa itu berkah? Insya Allah para santri sudah tahu. Ya, menurut Ibnul Manzhur rahimahullah, “Secara ilmu bahasa, al-Barakah yakni berkembang, bertambah dan kebahagiaan.” (dalam Lisan al-Arab, jilid 10, hlm. 395)

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi.” (Syarh Shahih Muslim, jilid 1, hlm. 225)

Ilmu yang barokah (berkah), adalah ilmu yang berkembang, bertambah dan pemiliknya mendapatkan kebahagiaan, penuh dengan kebaikan. Masya Allah. Berbahagialah orang yang mendapatkan keberkahan ilmunya.

Lalu, bagaimana caranya agar kita mendapatkan keberkahan ilmu? Pertama, ilmu itu didatangi, berguru langsung kepada orang yang memiliki ilmu tersebut. Para santri Pesantren Media, insya Allah sudah sangat paham akan hal ini. Sebab, banyak santri yang datang dari jauh. Dari luar Jawa banyak, dari luar Jawa Barat juga tak sedikit, dari Jabodetabek dan sekitarnya juga melimpah. Mereka mendatangi sumber ilmu. Belajar sungguh-sungguh. Semoga. Walau, ada juga yang belum semangat belajar. Biasanya santri baru yang perlu adaptasi.

Ada kisah menarik tentang mendatangi ilmu. Dalam Mukhtashar Tarikh Dimasyq (hlm. 3769), Ibnu Manzhur rahimahullah menceritakan: “Khalifah Harun ar-Rasyid mengutus seseorang kepada Imam Malik bin Anas rahimahullah agar beliau berkenan datang ke istana, agar kedua anaknya yaitu Amin dan Makmun bisa belajar ilmu agama langsung kepada Imam Malik. Lalu Imam Malik menolak permintaan Khalifah dan mengatakan: Ilmu agama itu didatangi, bukan mendatangi! Untuk kedua kalinya Khalifah Harun ar-Rasyid mengutus utusan yang membawa pesan sang khalifah: Aku kirimkan kedua anakku agar bisa belajar ilmu agama bersama murid-muridmu. Maka Imam Malik menjawab: Silakan, dengan syarat keduanya tidak boleh melangkahi pundak orang lain, agar bisa duduk di depan dan hendaknya, mereka berdua duduk di mana saja, pada tempat yang longgar saat pengajian. Akhirnya kedua putra Khalifah tersebut hadir dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Malik.”

Luar biasa. Wibawa seorang ulama mengalahkan pengaruh pejabat negara, bahkan setingkat khalifah.

Kedua, beradab kepada guru. Bagaimana pun juga, setiap murid belajar dari gurunya. Mendapatkan ilmu dan keterampilan, mendapatkan teladan, mendapatkan pengetahuan dari gurunya. Selama di pondok, santri Pesantren Media belajar dengan banyak guru sesuai bidang keahlian sang guru. Itu sebabnya, jika tak menghormati gurunya, apalagi membencinya, ilmu yang dimiliki bisa tak berkah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, serta yang tidak mengerti (hak) orang yang berilmu (agar diutamakan pandangannya).” (HR at-Tirmidzi, no.1919)

Nah, termasuk adab baik kepada guru adalah, selain menghormati guru itu sendiri, juga kepada keluarganya atau orang terdekatnya. Menyikapi hal ini telah disebutkan dalam kitab “Ta’limul Muta’allim” bahwa Syaikhuna Burhanuddin, pengarang kitab al-Hidayah, bercerita bahwa salah seorang pembesar negeri Bukhara duduk dalam suatu mejelis pengajian, di tengah-tengah pengajian, dia sering berdiri. Lalu oleh teman-temannya ditanya mengapa berbuat demikian. Dia menjawab, sungguh putra guruku sedang bermain di jalan, oleh karena itu jika aku melihatnya aku berdiri untuk menghormatinya.

Al-Qadhi Fahruddin adalah seorang imam di daerah Marwa yang sangat dihormati oleh para pejabat negara. Beliau berkata, “Aku mendapat kedudukan ini karena aku menghormati guruku, Abi Yazid Addabusi. Aku selalu melayani beliau, memasak makanannya, dan aku tak pernah ikut makan bersamanya.”

Diriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahili, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ فِيْ جِحرِهَا وَحَتَّى الْحُوْتَ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

“Sesungguhnya Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, beserta penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang berada dalam sarangnya, demikian pula dengan ikan-ikan; Semuanya berdoa untuk orang-orang yang mengajarkan kebajikan pada manusia.” (HR Tirmidzi)

Imam Ahmad rahimahullah banyak mengambil ilmu dari Imam Syafi’i rahimahullah hingga ia berkata: Jika dalam suatu permasalahan tidak aku temui haditsnya maka aku memutuskan hukum dengan perkataan Imam Syafii. Maka sebagai balasannya Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ

Aku mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Aku berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i)

Masih banyak cara mendapatkan keberkahan ilmu, tetapi dalam tulisan kali ini cukup dua poin saja, yakni mendatangi ilmu dan beradab kepada guru. Meski di zaman yang berbeda dengan di masa lalu, semoga para santri tetap semangat belajar dan menghormati guru. Apalagi kedua hal tersebut sudah tercantum dalam Ikrar Santri Pesantren Media yang sudah sangat dihapal oleh para santri, yakni poin kedua dan poin kedelapan: Berbakti kepada orang tua dan menghormati guru; Mencintai Ilmu dan semangat belajar.

Salam,

O. Solihin

Mudir Pesantren Media

By osolihin

O. Solihin adalah Guru Mapel Menulis Dasar, Pengenalan Blog dan Website, Penulisan Skenario, serta Problem Anak Muda di Pesantren Media | Menulis beberapa buku remaja | Narasumber Program Voice of Islam | Blog pribadi: www.osolihin.net | Twitter: @osolihin | Instagram: @osolihin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *