Ini tentang karakter. Sebuah perjalanan panjang untuk membentuknya. Namun, ketika salah membentuk karakter, tak mudah untuk mengubahnya menjadi baik. Begitupun ketika berhasil membentuk karakter yang baik, relatif sulit untuk mengubahnya menjadi buruk. Sejatinya, perjuangan membentuk karakter seorang manusia, dimulai dari rumah keluarga mereka masing-masing.
Apa itu karakter? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Karakter yang baik, berarti sifat-sifat kejiwaan yang baik, akhlak yang baik, tabiat dan watak yang baik. Bagaimana standar baik sebuah karakter? Tentu saja, bagi kita sebagai muslim, maka karakter baik itu sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh ajaran Islam.
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ: «الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Dari an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu berkata: “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam tentang kebaikan dan dosa (keburukan)? Lalu beliau bersabda: Kebaikan adalah bagusnya perangai; sedangkan dosa (keburukan) adalah apa yang mengganjal di dadamu dan engkau pun tidak suka diketahui oleh orang lain.” (HR Muslim)
Penjelasan hadits ini, saya kutip di website almanhaj.or.id, secara ringkas sebagai berikut:
Hadits ini termasuk jawâmi’ul kalim yang menafsirkan dua kata yaitu al-birru dan al-itsmu. Jawâmi’ al-kalim adalah ungkapan ringkas, namun penuh dengan mutiara hikmah dan makna di dalamnya.
Mengenai al-birru (kebaikan); Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Masuk dalam cakupan al-birru yaitu semua bentuk ketaatan batin, seperti iman kepada Allâh Azza wa Jalla , Malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya; dan masuk juga ketaatan secara lahiriah, seperti mendermakan harta untuk hal yang Allâh Azza wa Jalla cintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar menghadapi ketentuan takdir Allâh Azza wa Jalla seperti sakit dan kemiskinan, dan juga bersabar dalam menjalankan ketaatan, seperti bersabar dalam menghadapi musuh di medan perang.
Jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits an-Nawwâs di atas bisa mencakup semua kriteria tersebut. Karena bisa juga yang dimaksudkan dengan akhlak yang bagus adalah berperilaku dengan tatanan dan norma syariat, dan beretika dengan etika yang diajarkan Allâh dalam Kitab-Nya. Seperti yang Allâh jelaskan kepada Rasul-Nya dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS al-Qalam [68]: 4)
Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah al-Quran.” (HR Ahmad)
Maksudnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berperangai dan beretika dengan etika yang diajarkan dalam al-Quran. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya. Pengamalan al-Quran bagi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam sudah menjadi perangai, layaknya tabiat yang sudah mendarah daging, di mana itu sama sekali tidak pernah terpisah dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR Tirmidzi, no. 2004 dan Ibnu Majah, no. 4246)
Para santri Pesantren Media, insya Allah sangat sering diingatkan. Kami para guru, khususnya yang mukim di pondok bersama para santri, memang berulang kali dalam berbagai kesempatan, mengingatkan para santri agar memiliki karakter yang kuat sebagai seorang muslim. Akhlak yang baik, akan mengantarkan kepada kebaikan. Ketakwaan akan membentuk karakter kita.
Saya sendiri sering bercerita tentang karakter para ulama atau tokoh terkenal di masa lalu yang mendapat pendidikan terbaik dari orang tua mereka. Sebab, itulah yang akan membentuk karakter baik juga pada diri mereka. Salah satunya adalah Muhammad Al Fatih. Tokoh yang sangat menginspirasi para pemuda. Pada tahun 1453, di usia 21 tahun, memimpin 250 ribu lebih pasukan Turki Utsmani, dan berhasil merebut Konstantinopel dari Kekaisaran Byzantium. Padahal pada masa itu kota Konstantinopel dikenal sebagai kota dengan benteng legendaris yang sangat sulit ditembus.
Mengapa Muhammad Al Fatih bisa sefenomenal itu? Ternyata ini soal pendidikan untuk membangun karakternya. Muhammad Al Fatih cinta ilmu dan rajin beribadah. Ia menguasai banyak bahasa dan tahu banyak tentang sejarah. Ia juga pekerja keras, berani, dan cerdas. Sebagai pemimpin ia adil, juga memiliki keteguhan hati dan keyakinan, serta tawakal kepada Allah Ta’ala. Luar biasa. Semua karakter ini tak mungkin dicapai dengan bersantai ala generasi rebahan.
Sebagai santri, kalian insya Allah sudah pada jalur yang benar. Ada di pondok, diberikan pendidikan tambahan dalam hal agama dan juga keterampilan untuk mendukung dakwah. Dukungan orang tua yang tak sedikit dalam hal biaya, motivasi, dan doa. Kurang apa lagi? Kecuali, kalian kurang memanfaatkan kesempatan tersebut. Betul. Ini adalah kesempatan kalian memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Sebab, di rumah hal itu sulit diwujudkan. Itu sebabnya, orang tua kalian mengirim kalian ke pondok. Jangan sia-siakan kepercayaan dan harapan orang tua kalian, ya.
Memang tak mudah membentuk karakter saat memulainya di pondok. Nol, karena di rumah tak dibekali. Namun, insya Allah kita sama-sama ikhtiar agar bisa terwujud. Memang akan berbeda hasilnya dengan santri yang sejak kecil sudah dibentuk di rumah oleh orang tuanya. Dibentuk dengan karakter yang baik dan kuat. Ketika berada di pondok, tinggal melanjutkan dengan pembentukan karakter yang lebih bagus lagi. Insya Allah. Namun demikian, bagi santri yang baru memulai belajar membentuk karakter baik itu di pondok, tetap ada kesempatan menjadi yang terbaik, walau harus dengan kerja keras untuk mewujudkannya. Insya Allah.
Nah, satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah, munculnya karakter melow, yakni jiwanya rapuh. Ini memang bukan tanpa sebab. Bisa karena di rumah tidak diarahkan, atau karena anak terlibat dalam pusaran konflik orang tua, dan bisa juga karena lepas kendali tersebab banyak bergaul di luar rumah tanpa pengawasan. Banyak faktor. Padahal, jiwa yang rapuh itu bisa membahayakan. Ia tak akan kuat menahan banyak beban kehidupan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR Muslim)
Kondisi ekonomi dan keluarga, serta pergaulan bisa menjadi penyebab santri jadi galau. Ujung-ujungnya jiwanya rapuh. Padahal, sebagaimana dalam hadits di atas, muslim yang kuat lebih Allah cintai dibanding muslim yang lemah.
Bagaimana supaya karaktet kita kuat? Ya, sebagaimana tadi telah mencontohkan karakter Muhammad Al Fatih, maka kita bisa sungguh-sungguh dalam mencari ilmu, membentuk karakter ksatria (berani, cerdas, gigih, yakin) dengan banyak beribadah kepada Allah Ta’ala dan tawakal kepada-Nya sebagai sarana untuk mendekatkan diri. Selain itu, bersemangatlah dalam berlatih berbagai keterampilan sebagai penunjang dalam menjalani kehidupan. Berpikirlah masa depan untuk kejayaan Islam, bukan meratapi nasib diri semata, itu pun hanya berkutat pada kondisi yang menurut kita menyusahkan kehidupan kita seperti masalah ekonomi dan kondisi keluarga yang tidak ideal.
Jadi, jangan rapuh, ya! Jangan cengeng! Ada kondisi dimana kita memang harus bersabar, ada pula kondisi dimana kita pantas bersyukur. Jika ditimpa musibah bersabar, jika mendapat kebahagiaan bersyukur.
Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR Muslim, no. 2999)
Itulah karakter muslim yang kuat, tidak rapuh. Semangat ya para santri Pesantren Media!
Salam,
O. Solihin
Mudir Pesantren Media