Beberapa waktu lalu, salah seorang wali santri, berkunjung ke pondok. Ia adalah seorang lelaki, yang memiliki anak laki-laki yang belajar di pondok kami. Menceritakan panjang lebar kondisi anak lelakinya itu sebelum masuk pondok kami. Banyak hal diceritakan. Problem anaknya terkait pergaulan, juga tentang lengketnya sang anak dengan smartphone.
Sebenarnya ini problem umum. Hampir semua orang tua pernah mengalami kondisi atau masa dimana anak memiliki problem dengan dirinya sendiri, dengan temannya, bahkan dengan orang tuanya. Pengalaman saya menulis buku remaja sejak pertama kali terbit, yakni pada tahun 2002, judulnya Jangan Jadi Bebek, banyak keluhan dari para orang tua ketika saya mengadakan acara bedah buku atau seminar atau workshop atau kajian remaja. Problem remaja umumnya tak jauh dari: persoalan emosi dirinya, hubungan dengan orang tua, pergaulan dengan teman, dan gadget. Bahkan di tahun 2012-2014 saya pernah mengisi rubrik khusus di Radio 106 MARS FM Bogor, dengan nama rubrik “Orang Tua Sahabat Remaja”. Isinya membahas problem antara orang tua dan anak remajanya, serta solusinya menurut ajaran Islam.
Ada satu hal yang masih saya ingat dari obrolan dengan salah seorang wali santri tersebut, yakni apa yang beliau sampaikan, “Problem remaja di mana pun ada saja, Ustaz. Namun setidaknya, jika anak dititipkan belajar di pondok, ada remnya. Tidak bablas,” begitu ujarnya.
Saya bisa memahami apa yang beliau sampaikan. Memang problem akan selalu ada. Di rumah ada problemnya, di sekolah ada problemnya, bahkan di pondok juga ada problemnya. Namun, setidaknya jika anak ada di pondok pesantren, yang memang berbeda kondisinya dengan sekolah biasa, maka lebih memungkinkan untuk bisa terkendali. Bahkan mendapatkan materi pelajaran, bimbingan, pembinaan, dan arahan yang lebih dari sekadar di rumah atau di sekolah umum.
Betul, setiap kita sejatinya butuh pengendali. Apa itu? Keimanan. Ya, keimanan adalah pengendali perilaku kita, pengendali pendapat kita. Secara istilah, iman adalah perkataan dengan lisan, keyakinan dalam hati, amalan dengan anggota badan. Tidak disebut beriman kecuali dengan ucapan. Tidak manfaat ucapan kecuali dengan beramal. Tidak ada amalan kecuali menjalankan diin (sunnah Nabi). Ketiga hal ini saling terkait. Sebagaimana hadits dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR Bukhari, no. 2051 dan Muslim, no. 1599)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sudah diketahui bahwa iman itu menetapkan, tidak hanya membenarkan. Iqrar (menetapkan) ini di dalamnya terdapat perkataan hati, yaitu membenarkan, juga amalan hati, yaitu tunduk.” (dalam Majmu’ah Al-Fatawa, 7:638)
Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata, “Aku pernah bertemu dengan seribu ulama dari ahli hijaz, Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Washith, Baghdad, Syam, Mesir, aku bertemu mereka berulang kali dari kurun ke kurun, mereka tidaklah berselisih dalam menyatakan bahwa iman itu perkataan dan perbuatan, hal ini berdasarkan firman Allah,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَۚوَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
‘Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.’ (QS al-Bayyinah: 5).”
Mengapa keimanan menjadi pengendali perilaku dan pendapat seorang muslim? Sebab, pelaksanaan syariat pun, tergantung kepada iman. Jika imannya lemah, maka pelaksanaan syariat jadi kendor. Saya sering mengajak santri untuk berpikir dalam setiap mata pelajaran yang saya ampu, khususnya materi adab dan tazkiyatun nafs. Misalnya, ketika seorang muslim menjadikan shalat Subuh itu penting, dan dia tahu konsekuensinya jika melaksanakan secara berjamaah di mushola atau masjid, maka orang tersebut akan berusaha mengupayakannya. Upayanya bisa mulai dari berdoa sebelum tidur agar dimudahkan bangun pagi, sampai berusaha memasang alarm. Ada upaya serius yang dilakukannya. Apalagi jika ditambah pemahaman bahwa alangkah ruginya bila menunda-nunda shalat, apalagi meninggalkannya.
Jadi, iman akan mengendalikan pikiran dan perasaan, akan mengendalikan pendapat dan perilaku. Ini, yang dimaksud dengan rem. Mobil yang remnya blong, bahaya bagi pengendaranya, termasuk bisa membahayakan pengendara lain. Itu sebabnya, jika iman sudah hilang dalam diri seorang muslim, maka dia akan mudah tergelincir ke jurang kemaksiatan.
Rasa malu, adalah bagian dari iman. Maka, jika rasa malu sudah tidak ada, maka ‘pedal rem’ ini sudah tidak berfungsi lagi. Dalam hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35)
Itu sebabnya, dalam sebuah hadits disampaikan tentang bahaya tidak memiliki rasa malu:
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاري
Dari Abu Mas’ud, ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari al-Badri radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya di antara ungkapan yang dikenal manusia dari ucapan kenabian terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah semaumu.” (HR al-Bukhari)
Istilah ‘malu’ secara hakiki adalah: suatu akhlak (dalam jiwa) yang membangkitkan sikap menjauhi hal-hal yang buruk dan mencegah dari perbuatan mengurangi hak pihak yang memiliki hak (Syarhun Nawawi ala Shahih Muslim, jilid 2, hlm. 6)
Para santri di Pesantren Media, insya Allah selalu kami ingatkan bahwa apa yang kita lakukan pasti dilihat oleh Allah Ta’ala. Maka, milikilah rasa malu, karena malu bagian dari iman. Rasa malu itu ibarat rem. Mengendalikan kita untuk mendekatkan diri kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan. Mendekat untuk taat kepada Allah Ta’ala, dan akan membuat kita menghindarkan diri dari kemaksiatan. Malu mencegah kita dari perbuatan maksiat dan akan mengarahkan kita kepada kebaikan.
Sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan” (HR Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 53)
Di pondok para santri dibimbing, dibina, diarahkan, dituntun, dan diingatkan agar senantiasa berbuat baik. Bahkan diberikan fasilitas untuk memudahkan berbuat baik: ada pelajaran adab, akidah, fikih, ibadah, dan sejenisnya. Tempat juga disediakan untuk melakukan berbagai kebaikan, salah satunya mushola. Jadi, insya Allah di pondok memungkinkan bagi para santri untuk diarahkan kepada kebaikan. Tentu saja, jika santri tersebut juga mau dan bersedia diarahkan kepada kebaikan.
Semoga harapan dari salah seorang ayah dari santri kami dan juga para orang tua lainnya, bisa terwujud. Anaknya menjadi shalih dan shalihah. Jika pun masih belum maksimal dalam kebaikannya, setidaknya memang ada ‘remnya’ yang akan berfungsi menjauhkannya dari keburukan dan kemaksiatan. Insya Allah.
Salam,
O. Solihin
Mudir Pesantren Media