Loading

Saya sering memotivasi diri sendiri dan juga para santri untuk membaca kisah para ulama. Selain tentunya, juga kisah para nabi dan para sahabat nabi. Mengapa? Sebab, dalam kisah-kisah tersebut mengandung banyak ibrah. Apa itu ibrah?

Kata ibrah (عبرة) berasal dari `abara – ya`buru – `abratanwa `ibratan yang pada asalnya berarti menyeberang dari satu tepi sungai ke tepi yang lain yang ada di seberangnya. Karenanya, sampan penyeberang dalam bahasa Arab disebut `abbârah.

Terkait dengan hal ini, Imam al-Ghazali berkata:

مَعْنَى الاِعْتِبَارِ أَنْ يَعْبُرَ مَا ذُكِرَ إِلَى غَيْرِهِ فَلَا يَقْتَصِرُ عَلَيْهِ

Makna i`tibar adalah seseorang yang menyeberang dari apa yang disebutkan kepada apa yang tidak disebutkan, karenanya ia tidak membatasi diri pada apa yang disebutkan saja. (Ihya’ `Ulumud-Din juz 1, hlm. 62)

Lalu Imam al-Ghazali memberi contoh sebagai penjelasan. Beliau berkata: Misalnya, seseorang menyaksikan suatu musibah yang menimpa orang lainnya, maka jadilah musibah itu sebagai ibrah baginya, maksudnya, orang itu “menyeberangkan” apa yang dilihat dan disaksikannya kepada dirinya untuk menggugah kesadarannya bahwa bisa saja dirinya terkena musibah yang mirip dengannya.

Jadi, seseorang yang mengambil ibrah artinya ia menyeberangkan suatu peristiwa yang terjadi pada orang lain ke arah dirinya. Untuk apa? Dijadikan pelajaran.

Di Pesantren Media saya memberikan materi pelajaran Menulis Dasar, kadang-kadang materi pelajaran Jurnalistik dan materi pelajaran Penulisan Skenario. Saya sering memotivasi santri agar semangat membaca kisah-kisah nyata dari para ulama, atau kisah-kisah dalam al-Quran, dan jadikan sebagai bahan tulisan atau membuat film inspirasi berisi hikmah dan dakwah.

Kisah orang-orang shalih senantiasa memberikan manfaat. Maka, seringlah membaca kisah atau biografi mereka. Saya memberikan contoh seperti dalam Kitab Hilyatul Auliya karya Imam Abu Nu`aim al-Ashfahani, yang berjilid-jilid itu. Alhamdulillah saya memiliki kitab tersebut beberapa jilid. Luar biasa banyaknya kisah tersebut. Kita bisa membaca dan mengambil ibrah dari perjalanan hidup mereka. Pada suatu kesempatan di kelas, saya juga menyampaikan materi dari buku “Potret 28 Tokoh Tabi’in” karya Azhari Ahmad Mahmud. Ini sekadar menyebut contoh buku yang memuat kisah para ulama, yang tentu saja terkategori orang-orang shalih.

Kitab Qishashul Anbiyaa karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah juga sangat menarik. Para santri diarahkan juga untuk membaca kitab seperti ini agar mendapatkan manfaat yang banyak. Kisah-kisah ini bukan khayalan, tetapi kenyaatan. Sehingga bisa mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang dialami para nabi dan umatnya.

Saya coba ambilkan beberapa contoh dari Kitab Hilyatul Auliya. Misalnya pendapat Imam Syafi’i rahimahullah tentang wabah. Beliau menyampaikan:

لَمْ أَرَ أَنْفَعَ لِلْوَبَاءِ مِنَ التَّسْبِيحِ.

“Aku belum menemukan solusi yang lebih manjur untuk menghilangkan wabah dibanding bertasbih (kepada Allah).” (Hilyatul Auliya’, jilid 9, hlm. 136)

Kisah lainnya. Misalnya tentang catatan dosa-dosa. Bilal bin Sa’d rahimahullah yang mengatakan,

إن الله يغفر الذنوب، ولكن لا يمحوها من الصحيفة حتى يوقفه عليها يوم القيامة وإن تاب.

“Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa, namun tidak menghapusnya dari catatan amalan hingga memperlihatkannya pada hari kiamat, meski orang itu telah bertaubat.” (Hilyatul Auliya jilid 5, hlm. 226)

Kisah tentang tawadhu’ para ulama salaf juga menarik. Berkata Yahya bin Ma’in rahimahullah:

مَا رَأَيْتُ مِثْلَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ؛ صَحِبْنَاهُ خَمْسِينَ سَنَةً مَا افْتَخَرَ عَلَيْنَا بِشَيْءٍ مِمَّا كَانَ فِيهِ مِنَ الصَّلَاحِ وَالْخَيْرِ

“Aku belum pernah melihat orang semisal Ahmad bin Hambal, kami berkawan dengannya selama 50 tahun, dia tidak pernah membanggakan diri terhadap kami sedikit pun dari apa yang ada pada dirinya dari keshalihan dan kebaikan.” (Hilyatul Auliya’ jilid 9, hlm. 181)

Menarik pula tentang pendapat yang memotivasi bahwa pengorbanan seseorang dalam mencari ilmu meski yang didapat ternyata hanya sedikit. ’Amir bin Syarahil asy-Sya’by rahimahullah berkata:

لو أن رجلا سافر من أقصى الشام إلى أقصى اليمن فحفظ كلمة تنفعه فيما يستقبل من عمره، رأيت أن سفره لم يضع

“Seandainya seseorang melakukan safar dari ujung Syam menuju ujung Yaman, lalu dia hanya menghafal sebuah kalimat, namun kalimat itu terus bermanfaat baginya sepanjang umurnya, maka saya menilai bahwa safarnya tersebut tidaklah sia-sia.” (Hilyatul Auliya’, jilid 1, hlm. 313)

Masih banyak kisah lainnya dari sumber lainnya yang luar biasa banyaknya. Bahkan bisa jadi juga kisah teladan itu kita dapatkan dari orang-orang shalih yang kita kenal dan dekat dengan kita. Ambil ibrahnya agar kita bisa menjadi lebih baik. Insya Allah.

Salam,

O. Solihin

Mudir Pesantren Media

By osolihin

O. Solihin adalah Guru Mapel Menulis Dasar, Pengenalan Blog dan Website, Penulisan Skenario, serta Problem Anak Muda di Pesantren Media | Menulis beberapa buku remaja | Narasumber Program Voice of Islam | Blog pribadi: www.osolihin.net | Twitter: @osolihin | Instagram: @osolihin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *