Sebentar, ini memang tidak mengada-ada. Membaca itu kebutuhan juga, sebagaimana makan dan minum. Banyak di antara kita–saya yakin–bahkan sudah terbiasa mendengar nasihat agar rajin membaca. Sejak sekolah dasar, saya sudah mendengar nasihat tersebut. Sebenarnya sebelum masuk sekolah dasar, alhamdulillah saya sudah membaca. Menulis seingat saya belum terlatih waktu itu. Namun, setelah masuk sekolah dasar, saya jadi terbiasa membaca. Saat masuk jenjang SMP bertambah kesukannya, yakni menulis. Sangat suka, malah.
Kakek saya memiliki cukup banyak buku. Beliau adalah kepala sekolah. Jadi, saya sering membaca buku-buku milik beliau. Jadi begini, kakek dari ibu saya itu kepala sekolah. Adik laki-laki nenek saya, juga kepala sekolah, dan saya belajar di sekolah yang dikepalai oleh adiknya nenek saya. Waktu SD, saya suka sekali berlama-lama di perpustakaan untuk membaca berbagai judul buku. Buku cerita, dongeng, sampai ilmu pengetahuan umum. Menarik sekali bagi saya, sehingga bisa “menjelajah” ke berbagai tempat walau hanya melalu bacaan.
Kebiasaan membaca saya masih terbawa sampai sekarang. Alhamdulillah, hampir setiap bulan ada buku baru yang saya beli. Bahkan kebiasaan membeli buku sudah saya lakukan sejak SMK Kimia Analisis (antara tahun 1989-1993–di sekolah ini kami belajar selama 4 tahun). Saya menabung dari sisa uang jajan untuk membeli buku. Saat itu, buku saya incer biasanya buku nonfiksi terkait masalah sosial dan agama. Kadang juga beli novel.
Saya sering memotivasi para santri Pesantren Media agar rajin membaca buku. Apalagi di pondok ada perpustakaan (walau tempatnya masih menyatu dengan kelas) dan jumlah judul buku belum banyak serta penataan buku belum rapi. Tujuannya, agar para santri juga bisa membuka jendela dunia melalui informasi yang dibaca di buku. Jika sudah punya bekal ilmu melalui buku yang dibaca, maka dakwahkan. Medianya bisa fotografi, desain grafis, tulisan, videografi, dan juga lisan. Menebarkan dakwah melalui gambar, kata, dan suara. Maka, kemarin tanggal 1 Maret 2020, kami mengajak para santri ke Islamic Book Fair 2020 di Jakarta. Bairlah mereka melihat fakta langsung ‘surga’ buku dan merasakan sensansinya berburu buku inceran.
Kita bisa mencari teladan dalam membaca yang dilakukan para ulama. Kebetulan saya punya buku “Al-Musyawwiq Ilaa al-Qiraa’ah wa Thalab al-‘Ilm”, tetapi versi terjemahannya dengan judul “Gila Baca ala Ulama”. Isinya keren dan menarik banget! Tentu, semoga bisa menginspirasi kita untuk rajin membaca buku. Sebagai contoh saya tuliskan sedikit saja kisah para ulama yang ‘gila’ baca. Semoga menginspirasi.
Al-Hafizh ad-Diyami (wafat 908 H), beliau bisa khatam empat hari saja dalam membaca kitab Shahih al-Bukhari. Dikisahkan oleh as-Sakhawi di dalam adh-Dhau’ al-Laami’ ketika menyampaikan biografi Utsman bin Muhammad Abi Amr ad-Diyami asy-Syafi’i rahimahullah, dia menghitung jumlah buku yang dibacanya saat perjalanan ke Madinah, dia berkata, “Saat berada di Madinah beliau mengkhatamkan Shahih al-Bukhari selama empat hari di Raudhah.”
Saat membahas tentang membaca buku, di dalam Shaid al-Khaatir, Ibnu Jauzi berkata menceritakan dirinya, “Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang belum pernah aku lihat, maka seolah-olah aku mendapatkan harta karun. Aku pernah melihat katalog buku-buku wakaf di Madrasah an-Nidhamiyyah yang terdiri dari 6.000 jilid buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, al-Humaidi, Abdul Wahab bin Nashir, dan yang terakhir Abu Muhammad bin Khasysyab. Aku pernah membaca semua buku teresebut serta buku lainnya. Aku pernah membaca 200.000 jilid buku lebih. Sampai sekarang aku masih terus mencari ilmu.” Kemudian Ibnu Jauzi memaparkan hasil pengkajian llmunya.
Ibnu Jauzi juga menasihati orang alim dan pencari ilmu, “Sebaiknya kamu mempunyai tempat khusus di rumahmu untuk menyendiri. Di sana kamu bisa membaca lembaran-lembaran bukumu dan menikmati indahnya petualangan pikiranmu.”
Membaca buku artinya kita sangat perhatian terhadap ilmu. Tentu saja, buku yang dibaca adalah buku yang memberikan manfaat dan kemaslahatan. Dalam bukunya, Adab ad-Dunyaa wa ad-Diin, Imam al-Mawardi menasihati muridnya, “Jangan pernah merasa puas dengan ilmu yang telah engkau ketahui. Sebab, perasaan puas seperti itu menunjukkan kurangnya perhatian terhadap ilmu. Kurangnya perhatian terhadap llmu akan mendorong seseorang meninggalkan ilmu. Apabila seseorang meninggalkan ilmu, maka dia pun menjadi bodoh.”
Semoga kita semua (juga khususnya untuk para santri Pesantren Media) senantiasa rajin membaca buku. Oya, jangan lupa juga tentunya membaca al-Quran, ya!
Salam,
O. Solihin
Mudir Pesantren Media