Bagi santri Pesantren Media, berlomba dalam sebuah event adalah bagian dari tantangan. Mereka ingin mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat, khususnya perlombaan di bidang teknik media—lebih spesifik lagi—dalam short movie alias film pendek. Suasana kompetisi menjadikan para santri bergairah dalam berkarya. Itu hal biasa memang. Seusia mereka membutuhkan ‘lawan tanding’.
Persoalannya, cara pandang sekolah atau pesantren lain terhadap santri Pesantren Media yang membuat dilema. Jika menang dalam lomba short movie, dianggap wajar karena keterampilan untuk membuat film (penulisan skenario, fotografi, videografi, editing audio-visual) memang mapel yang masuk kurikulum teknik media. Itu ‘makanan’ sehari-hari santri Pesantren Media. Jika kalah, malah dipertanyakan: “dipelajari sehari-hari kok bisa kalah, sih?” Ya, begitulah.
Maka, biasanya kami para guru memotivasi para santri agar fokus berkarya untuk berdakwah melalui media. Perlombaan hanya sebagai sarana untuk menguji mental bersaing dan sarana untuk promosi kemampuan diri dan semacam ‘open house’ pondok. Tak lebih. Kami mendukung penuh para santri dalam berlomba agar karya yang dibuat dikerjakan dengan semaksimal mereka bisa. Menang alhamdulillah, kalah juga alhamdulillah. Keduanya pasti yang terbaik. Ada hikmah di dalamnya. Menang dan kalah hanya konsekuensi dalam berlomba.
Kemenangan menjadi energi untuk terus berkarya. Pun demikian dengan kekalahan, tetap menjadi energi untuk evaluasi agar ke depan bisa menghasilkan karya terbaik. Keduanya memiliki hikmahnya masing-masing. Selain itu, karena perlombaan tak setiap bulan (apalagi setiap pekan), maka jangan menjadi tolok ukur utama dalam berkarya. Tetaplah berkarya dengan niat berdakwah, sebab itu bisa kapan saja. Bisa tiap hari, malah. Semangat!
Salam,
@osolihin
Mudir Pesantren Media