Judul ini mirip dengan dialog di film “Negeri 5 Menara”. Dikisahkan seorang santri bernama Alif yang setengah hati belajar di pondok karena titah ortunya. Beberapa bulan kemudian ia curhat kepada ibunya melalui surat yang dikirimkannya bahwa ingin pindah dari pondok. Obsesinya ingin sekolah di tempat lain. Singkat kata, ibunya memaklumi kondisi anaknya. Sehingga menyerahkan keputusan itu pada anaknya. Bahkan sudah mengirimkan surat persetujuan ke pihak pondok untuk proses kepindahannya. Namun ada kata-kata ibunya dalam surat yang membuatnya mengurungkan niatnya, “satu saja pinta amak, entah itu di Bandung atau di mana pun kamu belajar, lakukanlah dengan kesungguhan. Amak juga baru menyadari, tempat belajar memang penting tapi kesungguhan hati lebih penting lagi.”
Di Pesantren Media, secara fasilitas boleh dibilang tak begitu mewah. Hanya memadai untuk belajar dan istirahat. Fasilitas utama seperti kelas dan asrama serta dapur sudah tersedia. Tempat beraktivitas luar ruangan dan sarana untuk praktek di lapangan dalam mengaplikasikan teknik media juga tersedia—walau beberapa bangunan belum rampung. Ini sudah dipreteli di catatan yang ke-5 tentang kobong santri. Oya, beberapa guru yang ikut membimbing juga ada karena tinggal bersama dalam satu area (termasuk saya). Ada asrama guru. Tempat baru ini jauh lebih ideal ketimbang tempat lama yang ada di komplek perumahan dan asrama yang saling berjauhan dengan tempat belajar.
Alhamdulillah, para santri yang bertahan hingga tahun akhir adalah mereka yang kenyang dengan tempaan. Di pondok memang tempat untuk mandiri dan belajar. Bukan tempat bersantai atau menikmati fasilitas “wah” demi bermalas-malasan. Tidak. Ini ladang mencari ilmu dan mengembangkan kreativitas dan kemandirian. Itu sebabnya, Pesantren Media memang hanya menerima yang terbaik untuk menghasilkan yang terbaik. Di catatan sebelumnya sudah ditulis bahwa calon santri terbaik bisa diukur dari niat yang kuat dan dibarengi dengan kecintaan pada ilmu dan menyukai bidang teknik media yang ingin dikuasai.
Meski di ruang kelas yang tak berpendingin udara, santri tetap semangat belajar. Walau di asrama banyak nyamuk karena dekat dengan kebun, santri sudah terbiasa untuk menyadari bahwa masih beruntung ada tempat untuk istirahat. Pada awal-awal mungkin saja tak nyaman dengan kondisi tersebut. Tetapi babak berikutnya insya Allah sudah terbiasa dengan “apa adanya”. Semangat belajar tak boleh pudar.
Insya Allah ke depan kami akan terus berbenah agar secara fasilitas juga lebih dari sekadar memadai. Namun demikian, baik nanti ketika fasilitas jauh lebih baik atau seperti pada kondisi saat yang hanya pada level memadai, standar kami tetap sama: mencari calon santri yang niatnya kuat, cinta ilmu—khususnya tsaqafah Islam, suka dengan teknik media, dan punya kesungguhan hati meski fasilitas tempat belajar masih belum “wah”. Bagi santri yang masih bertahan, tetap emangat dan tetap istiqomah belajar dan berkarya!
Salam,
@osolihin
Mudir Pesantren Media