Ke Perpustakaan UI
Hari itu adalah Sabtu pagi. Aku dan ibu berada di sekolah untuk mengambil pembagian nilai UN yang dilakukan di ruang kelas 9 E. Wali kelasku memanggil tiap siswa sesuai nomor absen. Sekitar jam sembilan lewat sedikit namaku akhirnya dipanggil. Sejujurnya lulus SMP saja sudah cukup karena aku akan masuk pesantren, meski begitu tetap saja merasa kurang puas dengan hasil UN yang tidak sesuai dengan keinginan.
Selesai mengambil hasil UN, ibuku pulang ke rumah, sementara aku menuju ke Gang Selot di sebelah sekolah. Karena hari itu hari sabtu hanya beberapa stand di Gang Selot yang buka. Aku melihat dua orang adik kelasku di depan salah satu stand yang tutup, melambaikan tangan sambil memanggil namaku dengan nada kesal.
“Maaf, maaf, aku telat. Tadi ngambil hasil UN dulu, maaf yah,” aku tersenyum ke arah Ghina dan Adilla yang memasang ekspresi kesal di wajah mereka.
“Ih Teh Zadi, kan janjiannya dari jam delapan, aku nungguin tau dari jam delapan. Mana Adilla datengnya jam setengah sepuluh lagi. Coba bayangin, aku nunggu di sini satu setengah jam, ih, ngeselin banget.” keluh Ghina membuatku kembali mengucap maaf.
Hari ini kami ada kegiatan mentoring jalan-jalan. Rencananya kami akan pergi ke perpustakaan UI dan melihat-lihat koleksi novel mereka di sana. Seharusnya kami pergi dengan mentor kami, Teh Nada, tapi karena kegiatan lain dia akan menyusul datangnya.
Kami bertiga akan naik kereta menuju ke Perpustakaan UI. Seharusnya Nurfa, adik kelasku yang lain, ikut serta hari ini tapi orangtuanya tidak memberi izin. Dari Gang Selot kami berjalan melalui jalan tikus menuju ke Stasiun Bogor. Aku membeli kartu MRT jurusan Pondok Cina, sementara Ghina dan Adilla mengisi ulang kartu mereka.
Selesai dengan urusan kartu, kami bergegas memasuki kereta yang menuju Jatinegara, berjalan hingga ke gerbong tujuh dan menemukan kursi kosong disana. Adilla duduk di dekat pintu, kemudian Ghina dan aku.
Selama di perjalanan kami mengobrol tentang banyak hal. Ghina sangat bersemangat saat menceritakan tentang keinginannya untuk kuliah di Kairo yang sudah sering kudengar. Tapi kali ini ia menambahkan akan tinggal bersama bibinya di Kairo kalau memang dia jadi kuliah disana. Adilla menanggapi satu dua perkataan Ghina. Obrolan kami selalu terinterupsi ketika suara perempuan menyebutkan stasiun pemberhentian selanjutnya.
Untukku, ini pertama kalinya pergi naik kereta MRT, dan ini pertama kalinya naik kereta tanpa didampingi oleh orang dewasa, malah jadi orang yang tertua diantara kami. Seringkali rasa was-was muncul tiap melihat laki-laki atau perempuan yang menurutku bersikap aneh. Meski tampaknya itu semua tidak terbukti.
Selama di perjalanan aku baru benar-benar menyadari kalau teman-teman di sekolahku banyak yang pulang pergi menggunakan kereta. Lebih dari tiga kali aku melihat wajah teman-temanku, dan di antara mereka semua beberapa dikenali oleh Ghina dan Adilla.
Aku melihat ke denah stasiun, memastikan berapa stasiun lagi sampai Pondok Cina lalu kembali ke kursiku dan mengatakan kami akan turun di stasiun berikutnya.
Begitu turun di Stasiun Pondok Cina, kami menyebrangi rel menuju sisi lainnya yang langsung masuk ke kawasan UI. Kami berjalan tak tentu arah hingga ke tepi danau dengan pemandangan yang indah, berfoto sebentar lalu kembali berjalan mencari perpustakaan UI. Karena tidak tahu dimana perpustakaannya, Ghina dan Adilla bertanya pada salah seorang yang berjalan di trotoar, sementara aku menunggu di tempat lain.
Perpustakaan UI berada di sisi lain danau yang kami lihat. Itu adalah sebuah gedung dengan bentuk unik dengan batu alam mendominasi dan kaca-kaca tinggi menjulang. Untuk sampai ke sana kami harus berjalan menyusuri trotoar, mengelilingi tepi danau. Pemandangan danau yang indah dapat kami lihat dari berbagai sisi, walaupun begitu tidak menghilangkan rasa capek kami.
Tidak hanya danau yang kami lihat, berbagai sarana dan prasarana UI pun membuat kami berdecak hebat. Aku suka ketika melewati lorong seperti di rumah sakit PMI yang menghubungkan antar pavilion. Kami juga melewati sebuah tempat yang dikhususkan untuk sepeda. Banyak bangku taman dan pohon-pohon rindang di tiap-tiap tempat, suasananya juga bersih dan asri, sangat menyejukkan.
Ketika kami melihat gedung perpustakaan UI di depan mata, rasa lega menyeruak di dada. Menurutku, dari pada perpustakaan gedung itu lebih mirip seperti mall. Di depan gedung, selain menyuguhkan view danau yang indah ada bangku taman dari batu alam yang dibuat melingkar berundak ke bawah dengan pohon besar sebagai pusatnya. Banyak mahasiswa yang berkumpul membentuk kelompok-kelompok kecil di sana.
Mengabaikan keingin untuk duduk di sana, kami langsung masuk ke gedung perpustakaan. Di samping pintu masuk ada sebuah toko buku kecil yang di sampingnya ada pintu kaca besar. Kukira begitu melewati pintu akan langsung disuguhkan jajaran rak-rak buku, tapi hanya ada ruangan luas yang bersih dan sepi, persis seperti mall. Di beberapa sudut ada ukiran-ukiran kayu besar yang unik. Masih bingung dengan apa yang kami lihat, aku mengajak Ghina dan Adilla untuk melihat-lihat dulu saja. Dan tepat seperti penggambaran yang pertama, gedung ini lebih mirip mall daripada perpustakaan. Setelah toko buku kecil yang kami lihat, di pojok lainnya ada jajaran café, kantor pos, tempat makan minum dan sebagainya.
Lelah dengan apa yang kami lihat, aku duduk di sofa panjang yang ada di tengah diikuti Ghina dan Adilla. Ini pertama kalinya aku ke perpustakaan UI jadi aku tidak tahu apa-apa, pun Adilla dan Ghina. Jadi kami memutuskan untuk menghubungi Teh Nada, tapi selalu tidak tersambung. Kesal dengan kondisi kami memutuskan untuk bertanya pada seorang satpam yang lewat. Ghina yang bertanya, karena dia kalah suit denganku dan Adilla.
Tidak hanya memberi tahu, satpam yang Ghina tanya menuntun kami ke perpustakaan yang ada di ujung lain gedung itu. Kami menuliskan daftar pengunjung setelah menunjukkan kartu pelajar dan masuk ke bagian perpustakaan UI yang terdiri dari lima lantai.
Kami berada di lantai pertama, awalnya melihat-lihat buku-buku yang ada di sana yang tidak ada satupun novel di sana. Deretan computer untuk mencari lokasi buku tidak kami gunakan, menyerah karena memang tidak tahu bagaimana cara menggunakannya.
Setelah berkeliling di lantai satu perpustakaan, kami sampai di bagian belakang perpustakaan yang tersedia dua kursi sofa dan sebuah meja. Sementara Ghina dan Adilla duduk di sana, aku kembali mencari novel tapi tidak membuahkan hasil.
Selesai dengan lantai satu, kami ke lantai dua perpustakaan menaiki tangga. Mencari ke sekeliling lantai, lagi-lagi, tidak menemukan satu buku novel pun di sana. Kami mulai curiga, jangan-jangan memang tidak pernah ada novel di perpustakaan UI. Dari lantai dua, kami beranjak ke lantai di atasnya dan kembali tidak menemukan buku yang kami cari.
Ghina dan Adilla sudah capek, begitu juga denganku. Kami berjalan hingga ke ujung, bersiap naik tangga ke lantai atas tapi terhenti ketika Ghina berbisik histeris sambil menunjuk ke sesuatu yang terhalang tembok. Lift!
“Udah capek-capek naik tangga tauknya ada lift, ngeselin banget.” Kata Ghina ketika kami berada di dalam lift.
“Lagian ngapain lift ditaro di pojokkan gini, ngga keliatan. Gak bakal ada yang make!” tambah Adilla kesal.
Kami memutuskan untuk ke lantai teratas di tombol lift. Ketika lift berhenti dan pintu mulai terbuka, bukannya deretan kaca atau rak buku seperti yang kami lihat sebelumnya, malah pekerja kasar yang sedang beristirahat. Buru-buru kami menekan sembarang tombol lift. Kami terus mengoceh tentang situasi awkward yang terjadi tadi.
Pintu lift terbuka, kami keluar dari lift dan aku merasakan liftlag. Kubiarkan Ghina dan Adilla berjalan duluan, setelah liftlag berangsur menghilang aku menyusul mereka berdua. Dari balik kaca Adilla yang pertama kali menyadarinya, melihat buku dengan Hangeul (aksara korea) dan mandarin. Dengan harapan tinggi kalau itu buku novel, kami memasuki ruangan, tapi sebelum menyentuh satu pun buku di sana, petugas perpustakaan melarang kami. Ternyata itu bukanlah buku novel, melainkan buku-buku sastra dari banyak negara yang katanya sudah berumur dan benar-benar harus dijaga.
Saat itu kami benar-benar putus asa untuk mencari buku novel. Kami pun sulit menghubungi Teh nada karena sinyalnya buruk. Kami memutuskan untuk memeriksa tiap lantai lagi, naik-turun menggunakan lift sampai lupa di lantai berapa kami berpijak. Liftlag mulai mendera kami bertiga, sementara buku novel tak satupun kami temukan.
Jam sudah hampir pukul satu, aku memutuskan untuk mengajak Ghina dan Adilla untuk sholat zuhur di mushola di lantai satu. Kami turun ke lantai satu menggunakan tangga, karena tidak mau liftlag kami bertambah parah. Selesai sholat, kami tidak kembali ke perpustkaan, melainkan duduk bersntai di taman lingkaran di depan gedung sambil melihat pemandangan dan tentunya menunggu kedatangan Teh Nada.
Jam digital menunjuk jam satu lewat tapi Teh Nada belum juga muncul batang hidungnya. Aku melihat tiap orang yang berjalan di trotoar, berharap menemukan Teh Nada tapi tidak kunjung pula ada.
Kulihat Ghina dan Adilla sudah mulai bosan dan kesal. Aku memutuskan untuk mengajak mereka membaca Al-Qur’an sambil menunggu. Surat Al-Kahfi sudah kami baca sampai ayat ke-28 sementara jam hampir menunjukkan pukul 2. Aku diikuti Ghina dan Adilla menengok kearah trotoar, tapi masih kunjung tak ada yang ditunggu.
Melihat tampang Ghina dan Adilla yang kesal dan bosan, aku memutuskan untuk mengajak mereka pulang. Kami mengambil barang-barang di tempat penitipan, melalui trotoar di tepi danau untuk kembali ke stasiun Pondok Cina.
Ketika kutempelkan kartu, tidak ada tanda-tanda gagang besi di depan sana bergerak. Kutempel lagi tetap tidak bisa, ternyata Adilla pun mengalami hal yang sama, sementara Ghina sudah masuk. Aku bingung harus bagaimana karena itu pertama kalinya menggunakan MRT. Kuminta Ghina untuk memanggil satpam, dan dengan bantuannya kami bisa masuk ke area stasiun dan naik kereta.
Kereta menuju ke Bogor cukup padat, kami hampir tidak kebagian tempat duduk, dan hanya ada satu kursi kosong saat itu, jadi kuminta Ghina duduk di sana sementara aku dan Adilla berdiri. Dua stasiun lagi menuju ke stasiun Bogor, aku dan Adilla baru bisa duduk.
Ketika hampir sampai stasiun Bogor, Ghina mengajak aku dan Adilla untuk ke gerbong paling depan, supaya lebih mudah dan cepat keluarnya. Tidak lama ketika kami sampai di gerbong depan, kereta berhenti di Stasiun Bogor.
Aku dan kedua adik kelasku mengikuti arus untuk keluar. Ketika kutempelkan kartuku, seperti yang kukhawatirkan, kejadian tadi terulang lagi. Begitu pun Adilla, sementara Ghina menunggu di pintu keluar.
Seorang satpam menghampiri kami, aku mengatakan kalau ketika di temple kartunya tidak bisa membuka gagang besi. Satpam itu membawa kartuku dan Adilla, ketika kembali dia bilang kartu milik Adilla memang sudah tidak bisa digunakan, sementara kartuku hanya bisa sekali pakai dari Bogor ke Pondok Cina jadi harus membeli lagi untuk ke Pondok Cina-Bogor.
Karena ini pertama kalinya kami diperbolehkan keluar oleh satpam. Aku sangat bersyukur masalahnya bisa cepat teratasi. Aku, Adilla dan Ghina menuju ke jembatan penyeberangan, tapi dari kejauhan aku melihat seseorang yang begitu familiar.
“Teh Nada!” seru Ghina dan Adilla, langsung menghampiri Teh Nada.
Aku berjalan mendekati Teh Nada yang tersenyum padaku sementara Ghina dan Adilla sibuk menceritakan kisah mereka. Teh Nada bilang, dia ada acara dadakan dan bingung harus ke UI atau ngga karena hp kami tidak ada yang bisa di hubungi. Walaupun alasannya begitu, aku tetap kesal karena Teh Nada, yang sudah kami tunggu lama tidak datang. Dia tidak tau saja, bagaimana cerita panjang kami di UI sana.
Ugh, What a perfect day!
willyaaziza
[ZMardha]
tugas menulis