(03)
Riza melirik ke arah Azela yang langsung panik. Yang anehnya, Riza, Nada dan Sonya malah ikutan panik. Azela sempat-sempatnya sembunyi di bawah meja tapi muncul lagi dan narik-narik tas Nada.
“Demi mampus? Sembunyiin gua Ya Allah. Nadaaa, umpetin gua di tas lo, pliis.” Nada menarik tasnya menjauh dari Azela yang langsung semakin panik.
“Tiga meter lagi, Nyet.” Sonya ngga ngebantu sama sekali buat redain keadaan. Yang ada tambah panik!
Riza mengatur napas sambil menarik Azela supaya duduk di tempatnya semula. Jangan pernah mempermalukan diri dengan gugup ngga jelas depan doi, kalo ngga mau harga diri ancur! “Keep calm gaes, keep calm.”
“Bersikap kayak biasa aja, deh. Kalo kalian gitu malah kesannya aneh. Udah, ngobrol kek tadi aja. Tuh liat, Za, Dian Pelangi kayaknya ngeluarin disain baru, deh!” pada akhirnya Nada memancing Riza untuk bercuap, menyamarkan kalo mereka sempat panik karena Satria tiba-tiba berjalan ke arah meja mereka.
“Oh, pasti… tapi gua masih lebih suka disain-disainnya Oki dari pada Dian. Lebih syar’I dan ikutin tuntunan. Kalo Dian kan fokusnya ke tren hijab, kalo Oki ke baju dan gua su…”
“Hai,” Riza melirik ke asal suara dan ngga terlalu kaget waktu liat Satria berdiri di dekat meja mereka. “Oh, hai, Azela. Eh, Azela, kan? Yang di pensi kemaren?”
Riza menahan tawa saat dia melihat Azela sempat-sempatnya merapikan kerudungnya sebelum menjawab pertanyaan Satria. “Iya. Hai, Sat. Ngapain?”
“Mau nyapa aja, sekalian mesen makanan. Oh, iya, lu Riza, kan? Anak kelas G, sekelasannya Fadhil?”
“Oh, iya.”
“Kenalin, gua Satria kelas A.” Riza menatap gamang uluran tangan Satria, menimang harus dia abaikan atau membalas dengan salam ala Islam. Riza tidak memasukkan ‘membalas uluran tangan cowok yang bukan mahram’ ke opsinya. Bisa gagal usaha dia buat ngejaga diri kalo begitu! Dan Riza ngga mau.
Akhirnya ia memilih opsi kedua dan ngga terganggu sama sekali dengan gelagat Satria yang menarik tangannya canggung. “Itu, Fadhil nitip catetan biologi buat dikasihin ke elu.”
“Oh, iya, makasih.”
Riza mengambil buku catatannya dari tangan Satria dan memilih untuk langsung memasukkannya ke dalam tas sambil melirik ke arah Nada dan Sonya, memberi kode yang langsung diterima dengan baik oleh mereka.
Riza itu, tipe cewek feminim yang kata teman-temannya selalu tampil cantik dan modis. Ngga ngerti juga, sih, maksud cantik dan modisnya gimana. Soalnya menurut Riza, dia cuman berusaha buat tampil rapi dan memakai pakaian syar’i yang selaras. Emang, sih, sesekali Riza memadukannya dengan tren-tren pakaian terkini, tapi itu karena dia suka dengan dunia fashion. Tapi lagi-lagi, teman-temannya dengan keras kepala bilang kali Riza itu cantik dan modis, bikin banyak orang suka. Khususnya cowok.
“Elah, catetan doang. Buat si Fadhil juga gapapa, kale. Riza mah, catetannya ada di mana-mana. Di gua, Azela, Nada, otak dia.”
“Iya. Oh, katanya lu mau mesen. Bisa, pergi sekarang!”
Riza tersenyum sinis mendengar ucapan Nada barusan. Memang, sih, Nada keibuan dan anggun. Tapi penolakannya pada orang-orang yang tidak disukainya selalu ngga nanggung tapi caranya sangat anggun.
“Eh, oh, iya. Yaudah, bye Riz,” Riza mengabaikan salam Satria.
“Yeee, si monkey doggy piggy, yang di dadahin Riza doang. Buaya darat, lu!” kata Sonya tanpa menunggu Satria benar-benar menjauh dari meja. Ck, ck, teman yang keren!
Riza melirik ke arah Azela yang terdiam. “Sorry, La, keknya Satria gak pantes buat lo sukain, deh. Dia deketin gua soalnya, tadi. Cowok yang ngedeketin gua rata-rata sableng semua, blacklist aja!”
Masih inget, kan, soal Riza banyak yang suka khususnya cowok? Nah, ngga jarang juga cowok-cowok itu deketin Riza. Sayangnya, yang biasanya deketin itu yah, yang tipe-tipe agresif ngga jelas kayak Satria gitu. Sisanya mundur karena nganggep Riza itu alim dan anti-pacaran.
Selama tiga tahun di SMP, yang hormon-hormon pelajarnya lebih cepet dari zaman ayah-bundanya dulu, bukan Satria aja yang berlaku kayak tadi ke Riza. Dan Riza ngga suka. Dia bukan tipe cewek yang setuju soal pedekate apalagi pacaran. Begitu juga ketiga temannya.
Suka sama lawan jenis boleh, itu wajar. Yang ngga wajar yah, yang ngga suka sama lawan jenis. Tapi batasnya adalah suka, bukan ‘pacaran dalam batas wajar’. Dalam kamus Riza yang ia pelajari dalam ilmu Islam, ngga ada yang namanya pacaran meski dalam batas wajar sekalipun. Yang ia pahami cuman satu. Jangan mendekati zina. Dan pacaran adalah salah satu cara mendekati zina, dan hukumnya haram. Jangankan ngebayangin murkanya Allah di akhirat karena pacaran, ngebayangin murka Bang Dimas dan orantuanya aja, Riza gak berani!
Riza dan teman-temannya punya prinsip dalam menjalin hubungan dengan cowok. “cuman status istri yang bakal disandang” udah jadi visi hidup mereka, bukan lagi misi. Dan ngga akan pernah jadi misi.
Azela menjulurkan tangannya lesu ke atas meja, “Huaaa… monkey doggy piggy, yah, si Sate! Dia bahkan gak inget gua. Apaan, tuh, Azela, eh, Azela, kan? Salto aja si Sate, Nya! Salto, buruan!”
Sonya menyandarkan punggungnya ke kursi, “Kalo boleh gua salto, dari tadi udah gua patahin lehernya kelseu…”
Azela pura-pura mengusap air matanya yang bahkan ngga netes sama sekali, “Tunggu aja Mamang Sate, gua bakal bikin lo suka sama gua. Suka setengah mampus pus pus!”
“Ngga ada kucing di sini, neng!”
“Tapi Da, top banget tadi ngusirnya!”
“Hm, Nada!” kata Nada sambil berhigh-five dengan Azela.
Dulu, semasa awal SMP, banyak cewek yang ngga suka sama Riza karena suka banget narik perhatian cowok, walaupun udah dia jelasin berkali-kali kalau bukan itu maksud dia. Riza bahkan sempat berhenti me-mix pakaiannya dengan tren fashion agar menghilangkan ‘daya tarik’ yang dibilang teman-temannya dulu. Tapi gagal.
Sekarang, Riza bersyukur teman-temannya easy-going dan tidak menyalahkan keadaan. Kalau orang lain, mungkin sekarang dia akan dituduh ngerebut doi orang dan sejenisnya. Padahal, kan, bukan Riza yang menyukai orang itu. Dan Riza juga ngga punya waktu buat bikin cowok tertarik.
“Okay, gaesss. Lupakan si Sate, ayo balik ke sekul. Gua ada jadwal tanding sama alumni. Kak Den sama Kak Nisa mau duel. Buruan, ayok!”
Riza, Nada dan Azela langsung melupakan bahasan soal Satria dan malah sibuk merecoki Sonya yang tidak pernah bilang mau tanding dengan alumni. Padahal biasanya dia selalu bilang semua hal pada mereka, jadi aneh saja Sonya tiba-tiba bilang kalau dia ada tanding, dengan alumni lagi!
Tapi, yah, mau gimana lagi, sperti biasa, mereka bertiga jadi supporter setia Sonya, deh!
Hari ini hari Sabtu, seperti biasa Riza dan teman-temannya mengadakan pajamas party. Rencananya hari ini pajamas party-nya di rumah Riza lagi, walaupun seharusnya di rumah Nada. Dia bilang, kakak-kakanya sedang ada di rumah semua. Yakali rumah Nada yang paling gede di antara mereka berempat mau nampung tiga orang lagi sementara kelima kakaknya lagi di rumah, belum lagi ketiga adiknya yang masih kecil. Pecah, deh, yang ada, rumah Nada.
Rumah Sonya dan Azela juga ngga bisa dijadiin pilihan. Teman-teman kakaknya Sonya nginep di rumah, sementara orangtua Azela tidak memberi izin untuk pajamas party, katanya, sih, ada keluarga yang mau mampir. Jadilah, dengan berlapang dada Riza menjadi tuan rumah lagi. Kebetulan yang begitu… menyenangkan. Emang menyenangkan, sih.
Bang Dimas udah janji mau jemput Riza di sekolah sore ini. Tapi Riza ngga punya cukup pulsa buat ngehubungin abangnya dan ngasih tau kalo temen-temennya bakal nginep di rumah. Ketiga temannya juga menghilang entah ke mana setelah masing-masing dari mereka mendapat panggilan dari anak klub, OSIS, dan pengurus rohis. Teman-temannya itu, sibuuuk semua… cuman Riza yang ngga punya kegiatan selain update fashion terbaru sepulang sekolah.
“Oh, assalamualaikum, Riz!”
Riza menengok ke asal suara. Dia yang saat itu sedang duduk di depan mushola langsung tersenyum begitu melihat Putra berjongkok sekitar dua meter darinya, sedang memasang sepatu. Sepertinya dia habis sholat. Tapi sholat apa, sore-sore begini. Masa sholat ashar?
“Waalaikumsalam, Put!”
“Nama gua bukan Putri.”
Riza tersenyum meminta maaf. “Sholat?”
“Oh, ngga. Abis beresin mushola sekalian tadarus. Ini baru mau rapat rohis, Nada udah duluan, kan?”
“Oh, iya. Dia tadi dipanggil sama Rizka.” Putra beroh ria sambil menalikan sepatunya.
“Oh, hai Riza! Lu belum balik?”
Riza menatap aneh Satria yang tiba-tiba sudah ada di depannya. Dia sampai harus menggeser duduknya untuk memberi jarak dengan Satria yang menurutnya terlalu dekat. Dia tidak suka dengan cowok yang agresif. Tapi sepertinya perpindahan duduknya malah dianggap Satria lain, karena cowok itu langsung duduk di dekatnya. Refleks, Riza menggeser duduknya lagi.
“Nungguin temen-temen lu atau jemputan?”
“Dua-duanya.”
“Oh, sama dong. Gua juga nungguin temen-temen, nih.” Riza diam, tidak menanggapi perkataan Satria sambil berharap cowok itu sadar kalau dia tidak suka ada di dekatnya.
“Eh, lu punya line juga? Minta id-nya, boleh?”
Riza bingung. Biasanya kalo ada cowok seagresif Satria di dekatnya, teman-temannya pasti ada di sekelilingnya atau tiba-tiba datang dari kahyangan sambil mengatakan sesuatu sejenis pengusiran. Riza tidak bisa melakukan hal semacam itu kecuali Nada dan Sonya atau mungkin Azela.
“Apa id-nya? Atau pake nomor hape lu aja?”
“Eh, itu…”
“Ngga papa kok kalo nomor hapenya juga. Atau mau dua-duanya?” berbeda dengan Satria yang cengengesan tidak jelas, Riza malah bingung dan panik sendiri saat tiba-tiba Satria mencondongkan badannya ke arah Riza.
Riza terlalu panik buat ngomong sesuatu sampai ada suara lain yang mengintropeksi, “Satria, kan? Jangan menggoda akhwat yang menjaga dirinya. Itu gak sopan!”
[willyaaziza]