Loading

Riza mengambil empat roti bungkus rasa kelapa dari rak dan memasukkannya ke dalam ranjang yang dibawanya. Dia berjalan ke deretan snack dan mengambil asal, tanpa memeriksa rasa dan sejenisnya. Setelah selesai, dia beralih ke deretan kulkas dan mengambil dua botol minuman bercola ukuran besar. Dia sudah mau berjalan ke arah kasir, tapi kembali untuk mengambil masker lalu membayarnya.

“Nih. Puas, kan, lu pada?” Riza mendengus begitu melihat teman-temannya yang alih-alih berterimakasih, malah langsung berebut dan mengambil snack dari dalam plastik begitu ia meletakkannya di atas meja. Ah, teman yang baik.

“Tapi serius, yah, Riz, kakak lu tuh, sumpah, protektif abis. Keknya kakak gua ngga gitu-gitu amat deh. Dia bahkan bisa jadi ngga tau kalo sekarang gua lagi nginep buat pajamas party.”

“Heh, jangan samain Riza sama lu kali. Dia mah emang patut buat di proktektif…”

“Protektif!”

“Yah, itulah. Lah, elu, dibiarin semaleman dikandang sapi juga cocok-cocok aja.”

“Hellow, lu pikir gua rumput, hah?!”

“Ah, tapi gitu-gitu Bang Dimas kece. Parah. Pelukable, deh, pasti punggungnya.”

“Eh, iya, lu teh. Ah, mau dah gua punya pacar kek Bang Dimas.”

“Gaes… pliiis, kalian lagi ngomongin kakak gue di depan gue! Cari tempat lain yang gak ada guenya kalo mau ngomongin dia, males tau gak!” Riza menatap teman-temannya kesal lalu mencomot roti kelapa dari plastik dan memakannya.

“Woho… Riza tersayang bete. Kenapa cyiin, galau putus sama doi?”

Pertanyaan Azela langsung mendapat tinju Sonya, “Masih pake logat banci kaleng, gua ceburin lu ke ember, La!”

“Udah, deh, gak liat pada Riza lagi bete gitu?” Riza menatap Nada nanar dan tidak lama berhambur kepelukannya sambil menangis.

Riza sedang kesal. Dia sangat kesal. Bukan kepada teman-temannya tapi Bang Dimas. Kakak satu-satunya yang lebih tua lima tahun darinya dan sayangnya berjenis kelamin cowok. Seperti yang teman-temannya bilang, Bang Dimas itu protektif banget yang kebangetan. Sampe ke taraf sering bikin kesel Riza dengan peraturannya yang lebih ketat dari peraturan ayah-bunda. Kadang Riza sering ngedumel, status kakak doang aja peraturannya lebih ketat dari orangtua. Huh!

Emang, sih, sebagian besar peraturan itu buat ngejaga Riza, ngelindungin Riza, tapi kalau berlebihan, kan jadi terkesan ngekang. Riza ngga suka dikekang.

Puncaknya itu waktu Riza ngundang teman-teman kelompoknya buat ngerjain tugas di rumah dia. Kelompoknya itu tiga cowok dan dua cewek. Riza juga sudah bilang ke ayah-bunda kalau teman-temannya akan datang, tapi pas hari-h Bang Dimas dengan seenak udelnya malah ngusir cowok-cowoknya. Yakali, kerja kelompok bikin miniatur gunung meletus berdua doang!

Gara-gara itu Bang Dimas ngelarang temen-temen cowok Riza buat bertandang ke rumah meski dengan alasan kerja kelompok.

“Udah, Za, udah…”

Riza melepas pelukannya pada Nada beberapa menit kemudian. Nada itu, diantara ketiga temannya, dia yang paling dewasa menurut Riza. Nada juga anggun dan keibuan. Padahal umurnya lebih muda satu tahun dari Riza. Kadang Riza berharap, Bang Dimas berubah jadi cewek dan punya sifat kayak Nada.

“Wah, Bang Dimas bener-bener over protektif, yah. Ngga kayak kakak gua, boro-boro ngelarang anak cowok main ke rumah, bawa motor sambil bonceng gua aja kebut-kebutan.”

Berbeda dari Nada, Sonya itu tomboy. Sabuk hitam DAN tiganya sudah ia pegang sejak kelas satu SMP. Meski setengah-setengah mengikuti taekwondo dan silat, setidaknya dia bisa menggunakan jurus-jurusnya untuk melawan lima orang preman sekaligus. Sonya juga kalau bicara ngga tanggung-tanggung. Asal ngomong aja ngga mikir sikon. Dan sebenarnya, Riza iri karena kakaknya Sonya, Kak Bagas ngga seprotektif Bang Dimas.

“Sabar, yah, Za, Bang Dimas itu orang kece, jadi dia pasti punya niat baik dibalik peraturan itu.”

Azela yang paling aneh menurut Riza. Dia itu cerewet tapi ceria dan gampang ngidupin suasana. Azela itu sifatnya hampir mirip kayak Sonya, bedanya dia ngga bisa beladiri kecuali tonjok angin dan childish banget. Pipinya yang tembem bikin dia kayak anak kecil. Biasanya, kalo lagi gemes Riza dan teman-temannya mencubit pipi Azela sampai puas.

“Bang Dimas itu sudah dewasa dan tau mana salah dan benar. Dia bikin semua peraturan itu pasti bukan karena kemauan dia, tapi karena itu yang terbaik.” Nasehat Nada tidak diacuhkan Riza.

“Yang terbaik, sih, yang terbaik, tapi ngga usah ketat banget gitu juga kali. Lama-lama bisa jadi aku malah dilarang buat sekolah, lagi.” Riza mengeluh sambil melanjutkan makan roti kelapa yang belum dihabiskannya.

“Kamu inget ngga waktu kamu cerita ke kita soal kakak kamu yang ngelarang buat keluar rumah di atas jam enam sore sendirian?”

Riza mengangguk. Dia tidak mungkin melupakan salah satu peraturan yang tidak disukainya itu. Dia merasa tidak adil, teman-temannya punya batas waktu sampai jam tujuh, hanya Riza sendiri yang punya batas waktu sampai jam enam. Seringkali dia harus pulang duluan saat mereka berempat sedang nongkrong bersama di perpustakaan sekolah.

“Nah, coba kamu inget, ngga lama banyak kejadian penculikan perempuan di sekitar lingkungan kamu, kan? Coba bayangin kalau Bang Dimas ngga bikin peraturan kayak gitu, mungkin sekarang kamu ada di antah berantah.”

Ah, perkataan Nada semuanya benar. Seratus persen benar. Riza masih ingat ketika ia sedang berjalan sendirian menuju ke rumahnya sore itu sekitar jam setengah enam lewat karena ngga ada ojek yang mangkal. Sampai di rumah dia langsung dimarahi Bang Dimas karena telat pulang. Besoknya Riza denger berita dari ibu-ibu rumpi di tukang sayur kalau ada anak perempuan yang diculik sekitar magrib kemarin.

Mengingat kejadian itu membuat Riza mengingat kembali sekian banyak peraturan dari Bang Dimas yang selalu menghindarkan Riza dari banyak petaka. Uh, Riza jadi terharu mengingatnya. Riza tetep ngga setuju sama peraturan Bang Dimas yang terlalu ketat, tapi mungkin, cuman mungkin, peraturan itu bakal nolong dia dikemudian hari.

“Iya,” cicit Riza lemah. Dia masih tidak mau mengakui kalau Bang Dimas itu benar. Gengsi, dong, mengakui kalau musuhnya menang?!

“Udah, dong, Za, jangan nangis lagi. Buat malem ini doang, deh, aku ijinin kamu cubit pipi aku sepuasnya!” tanpa babibu, Riza langsung mencubit pipi Azela yang langsung berteriak kesakitan. Salah sendiri, sih, nawarin diri minta di gigit sama singa!

 

[willyaaziza]

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *