Islam. Itu adalah satu kata yang memiliki terlalu banyak arti bagi tiap-tiap orang yang mampu merasakannya. Mampu merasakan Islam. Islam itu hidup, seperti pohon yang terus disiram setiap harinya agar tumbuh besar dan menghasilkan berbagai kenikmatan yang akan dipanen pemiliknya kelak.
Apa yang dipanen? Tergantung bagaimana ia merawat pohon itu. Dengan apa ia menyiraminya. Pupuk apa yang dipakainya. Bagaimana ia memperlakukan pohon itu. Seberapa besar cinta dan kasihnya pada pohon itu hingga membuatnya takut pohon itu akan layu dan mati.
Islam. Awal mendengarnya seperti kaset rusak yang memutar kata yang sama tiap detiknya. Selalu Islam, Islam, Islam, Islam. Bagaiaman kata ini terus ada di tiap-tiap orang tidak peduli ia ‘merasakannya’ atau tidak.
Islam. Terlihat penuh tekanan, tapi entah mengapa tampak membahagiakan bagi yang ‘merasakannya’. Tekanan apa? Entah, hanya tampak penuh tekanan seperti kau terhimpit dari empat sudut berbarengan, tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Tapi kau mungkin tidak menyadarinya, kalau ada lubang kecil di tempatmu berpijak. Atau malah tak ada atap yang menaungimu, memudahkanmu untuk melarikan diri. Tapi kau tidak menyadarinya.
Seperti Islam. Kau tertekan, tapi tidak. Celah keluarnya ada di mana saja. Bisa ada di mana saja, bahkan di keempat sudut yang menghimpitmu. Hanya saja, kau tidak menyadarinya. Memilih untuk terus merasa tertekan. Tertekan. Tertekan.
Hingga kau lelah sendiri dan kemudian menyerah, bersama rasa tertekan yang kau inginkan itu untuk tetap ada. Kenapa? Karena kau tidak mau menyadari, ada jalan keluar di manapun kamu berpijak.
[willyaaziza]