Loading

Hati itu rentan jatuhnya. Jatuh pada hal yang disebut cinta.
Hati itu rentan jatuhnya. Rentan pada hal yang disebut ‘si dia’

Ini hanya bumbu kisah dalam masa kehidupan yang sesaat. Ketika suatu waktu mata memandang, kemudian menyesapkan perasaan teramat dalam di hati. Ini hanya bumbu kisah, ‘kehidupan berwarna mawar’ begitu kata Oreki Houtaro si Penghemat Energi. Ehe…

Ini benar-benar hanya bumbu kisah di kehidupan yang fana. Tentang hati yang pasrah pada keajaiban yang menuntun pada pemujaan. Pemujaan pada si dia, yang entah bagaimana… terasa sempurna.

Suatu waktu, aku berada di pertigaan. Ke kiri atau ke kanan. Aku belum tahu, kemana tiap jalan itu akan menuntunku. Tiba-tiba dari jalan di kanan muncul si dia. Jangkung, bijaksana, tenang. Sangat dewasa. Membuatku tanpa sadar ingin selalu mengikutinya. Yang kulakukan juga pada akhirnya. Benar-benar… ingatan yang lucu bila dikenang kembali.

Aku berjalan, tepat di belakangnya. Menyusuri langkah yang sama dengannya, meski belum bisa berdampingan dengannya. Karena kupikir, kami belum di level yang sama. Ah… aku harus bersabar menatap punggungnya.

Lagi-lagi, itu benar-benar tiba-tiba. Ketika aku tanpa sadar sama sekali tahu, bahwa ada jalan bercabang di depan kami. Padahal sebelumnya, lurus begitu saja meski sedikit berbatu dan berlumpur.

Jalan bercabang itu memiliki clue yang sulit. Arah kiri berwarna hijau, arah kanan berwarna biru. Kupikir, mana yang harus kupilih. Daun, atau langit?

Kuputuskan, itu harus langit.

Sayangnya, begitu aku melangkah ke arah kanan dan melihat ke depan, si dia tidak ada. Menghilang. Kami memilih arah yang berbeda. Dia dengan jalannya, aku dengan jalanku. Hal terakhir yang mampu kuingat, punggung lebarnya, dan janji-janji kekanakanku. Janji yang mampu kutepati, tanpa mendapat balasan yang berarti. Tapi entah bagaimana, aku bersyukur tak mendapat balasan, toh itu memang janji kekanakan. Hanya sedikit pembuktian, aku bisa menjadi dai seperti dirinya, dengan caraku sendiri.

Waktu kemudian mengalir bagai air. Hingga di satu waktu aku merenunginya. Bahwa, mungkin bagus jalanku berbeda darinya. Mungkin kami memang harus berpisah, tidak di jalan yang sama. Jika tidak begitu mungkin aku tidak seperti yang sekarang.

Ketika kubuka catatan, tahun lalu kutulis begini:
“Kini aku mengerti. Kita berbeda. Jalan yang kita pilih berbeda. Kamu dengan jalan dakwahmu. Aku dengan jalan dakwahku. Bukan perbedaan antara lisan dan tulisan. Tapi cara dan tujuan pendengar. Aku yang serius menanggapi sesuatu, kamu yang serius tapi santai menghadapi sesuatu.

Kita benar-benar berbeda. Kuharap ada sedikit sama, agar harapanku bersamamu lebih tinggi dari sekarang.

Niat itu yakin. Aku berniat untuk mengejar Allah, dan kamu juga. Keyakinan itu adalah doa, aku mencoba berdoa agar kamu adalah jodohku nantinya. Tapi keyakinan itu seperti hukum Archimedes. Mengapung ketika suatu benda dijatuhkan ke dalam air.

Haruskah aku menguatkan niatku dan benar-benar berdoa? Agar aku bersamamu nantinya.”

Itu pemikiranku tahun lalu, loh. Kini benar-benar berbeda.

Karena harapanku, kita tidak pernah bertemu lagi. Tidak bertemu kecuali Allah benar-benar menghendaki kamu dan aku. Karena melelahkan loh, menyimpan perasaan seperti itu. Perasaan yang seperti itu, aku tidak suka. Perasaan menyukai seseorang itu, aku tidak suka. Karena itu kubuat catatan pribadi: ‘Jangan jatuh hati pada seseorang kecuali karena Allah. Karena berharap pada selain Allah itu melelahkan’. Untuk aku yang tidak suka lelah ini, sebelum merasa kelelahan, sebaiknya tidak jatuh hati pada seseorang kecuali untuk Allah. Karena hanya untuk Allah, semuanya terasa mudah bagiku. Tidak melelahkan atau mengecewakan atau menyakitkan. Hanya… ya sudah. Jalani saja. Hehe…

Untuk aku dengan diriku yang sekarang, mungkin begini doanya: ‘Wahai Allah, jangan biarkan aku mencintai dengan berlebihan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Hanya biarkan rasa cintaku kepada Rabb-ku lebih besar dari hari kemarin’

Yah… meski doanya tampak berat… tapi itu benar-benar keinginanku yang paling besar untuk saat ini.

Curahan hati yang lucu… siapapun yang membaca, salam kenal. Ini aku, willyaaziza.

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *