Loading

Pagi itu udara di sekitar asrama cukup menyejukkan walaupun beberapa helai daun yang jatuh sempat menampar wajahku, mungkin akibat musim kemarau yang datang. Awan mendung masih bergelantungan di langit, menyembunyikan sinar matahari dan menyisakan sebersit sinar kecil. Suasana yang lumayan cocok untuk mengawali hari Minggu setelah try out berturut-turut.

Dengan langkah gontai aku berjalan menuju barisan yang berjejer rapi di depan gerbang, sebelum kena omel ketua kelasku yang begitu taat dengan peraturan sekolah. Apalagi setiap Minggu pagi diwajibkan berolah raga di lapangan desa.

Setelah beberapa menit yang menyiksa karena harus terus berdiri menunggu yang lain, sang ketua kelas, Marsya akhirnya memimpin ‘ekspedisi sehat’. Aku agak bingung sih kenapa ini disebut ‘ekspedisi sehat’ soalnya yang olah raga cuma seperempat dari 63 orang. Dan aku termasuk tiga perempat sisanya, tapi bukan berarti aku engga pernah olahraga.

Aku ikut olahraga cuma pas main baseball dan benteng-bentengan. Selain itu, aku milih kabur.

“Jangan ngelamun Fat!” Nadin menyenggol bahuku pelan dari belakang. Aku tersenyum seadanya.

“Ini masih pagi cantik, kamu mau jadi zombie hidup?” Kak Mhei tertawa lepas di samping Nadin.

“Kalo aku beneran jadi zombie aku bakalan makan Kak Mhei duluan, kan Kak Mhei paling kecil.”

Dalam beberapa detik kemudian aku mengaduh kesakitan sambil tertawa, jitakan Kak Mhei memang paling top. Tiba-tiba Nadin menatapku heran, aku mengangkat sebelah alisku membuat tanda kenapa-liat-liat.

“Kamu engga pake sepatu?” aku melongo. Bingung dengan pertanyaan Nadin.

“Sepatu?” Nadin menepuk jidatnya lalu menatapku. Jengkel.

“Kita disuruh pake sepatu Fat, sepatu buat lari.”

Aku memiringkan kepalaku, “Emang apa bedanya? Aku juga pake sepatu kok.”

Kak Mhei menepuk bahuku dan geleng-geleng kepala, matanya menatapku sedih. Seolah-olah ikut berduka.

“Sepatu yang buat lari Fat, bukan yang buat upacara.”

Aku berpikir sejenak sambil memandang sepatu hitamku, “Ah…kalo sepatu buat lari kayaknya masih di jemuran deh.”

“Terus gimana dong?” lanjutku sambil tersenyum kaku.

Kak Mhei mendelik ke arahku dengan sebal. “Ya diambillah, masa dibuang?”

“Masa aku ambil sendiri? Kak Mhei sih, kemarin engga bilang ke ak-“

“Udahlah!” sela Nadin. “Kalian berdua buruan balik, nanti nyusul ke lapangan. Lagian kalian juga sekamar.”

Kak Mhei menatap Nadin tidak percaya lalu menatapku, aku mengangkat bahu sambil membuang muka. Acuh. Kak Mhei langsung membuang nafas panjang. Pasrah. “Ya udah deh, ayo!” Kak Mhei langsung menarik tanganku memutar arah. Terpaksa aku kembali menyeret-nyeret kakiku yang udah mau mati rasa.

Ribet banget cuma masalah sepatu. Padahal cuma buat lari aja kan? Tapi ya udahlah.

Dengan cepat Kak Mhei membuka sepatunya dan meyeretku masuk ke asrama. Entah kenapa saat kita menelusuri lorong, perasaanku mulai engga enak. Mungkin karena efek jalan tadi?

Begitu masuk kamar, aku langsung menyambar sepatuku di jemuran belakang. Lebih cepat lebih baik pikirku. Kak Mhei yang awalnya asik berdiri di depan cermin mendadak menjadi patung dan menatapku lurus. Aku tertegun, ‘Kok horor gini ya?’.

“Fat..kamu denger gak?” tanya Kak Mhei, suaranya gemetar, “Kayak suara ular.”

“Kak Mhei jangan bercanda ah, engga lucu.” tampikku sambil berkacak pinggang.

Padahal aku udah takut setengah mati. Sepatu yang tadi kuambil juga aku jatuhkan ke lantai.

“Beneran! Coba dengerin deh,” aku langsung memasang telingaku baik-baik. Hening.

Tiba-tiba saja, saat aku menoleh ke arah kasurku muncul sebuah kepala yang menjulur dari kolong kasur. Aku tercekat, “Kak Mhei..naik kasur, yang penting jangan ke kasurku.” ujarku pelan. Kak Mhei langsung menuruti kata-kataku tanpa menoleh kemana pun. Aku berjalan perlahan ke kasur Fia yang berseberangan dengan kasurku, kemudian naik ke atas kasur Resti sementara Kak Mhei naik ke kasur Marisa.

“Kak Mhei..jangan ke kasur yang bawah, yang di atas aja lebih aman.” saranku sambil memegang pinggir ranjang. Kak Mhei mendongak ke atas, “Kalo aku juga ke atas, kita engga akan tau ular itu pindah kemana.” balasnya datar. Aku tersenyum gugup, bener juga sih.

“Untung ya kasurnya bertingkat, kalo engga aku mungkin udah teriak-teriak.”

Kak Mhei tertawa hambar, “Dan asrama kita bisa runtuh gara-gara teriakan kamu.”

Untuk beberapa saat aku dan Kak Mhei terdiam dan hanya ada suara desisan.

“Kak Mhei engga takut?” tanyaku pelan, mencari bahan obrolan.

“Takut sih, cuma kalo kira berdua sama-sama takut, ular itu bisa-bisa malah beranak pinak di kamar.”

“Iya sih. Kak Mhei bener-bener pahlawan,” kataku, “Pahlawan kesiangan.”

“Wah..udah lupa pake sepatu lari, dianterin, sekarang malah nyari gara-gara, minta diapain kamu Fat?!”

“Hehehe…gomen ne Onee-san.” Kak Mhei hanya mendengus sebal. Aku tertawa kecil melihatnya.

Setidaknya obrolan tadi tidak membuatku terlalu tegang, walaupun aku masih was-was, takut jika tiba-tiba ular tadi merayap keluar dari kolong kasurku. Mungkin lebih horor lagi kalo ular itu tiba-tiba mengeluarkan jurus ala Bruce Lee sambil pake baju training kuning, bisa-bisa aku dan Kak Mhei skak mat sebelum selesai nonton Annabelle.

        Ya, itu cuma bayanganku aja sih.

“Tunggu anak-anak yang lain pulang aja deh.”saran Kak Mhei setelah beberapa menit.

“Kan pada ke lapangan Gerbang Kerep, Kak Mhei mau nungguin 2 jam?”

“Yaa..mau gimana lagi, pintu kamarnya juga di deket kasurmu, kalo tiba-tiba ularnya loncat gimana?”

“Dia engga bisa loncat Kak Mhei.” sanggahku sambil menunduk ke bawah kasur dan tersenyum iseng.

“Ih..tau ah! Kan cuma perumpamaan.” sewot Kak Mhei, aku langsung pasang muka polos-tanpa-dosa.

Tak lama, aku memilih menyender ke tembok dan menatap langit-langit kamar, ‘Kapan ya kita bisa keluar?’ aku mulai menggigit ujung kukuku. Gelisah. Karena mendadak suara Kak Mhei menghilang, aku mengintip ke bawah. Memastikan.  Kak Mhei yang awalnya duduk bersila mendadak terlihat seperti orang yang mau berenang gaya dada, tengkurap di pinggir kasur.

“Kak Mhei ngapain? Mau berenang?” Kak Mhei hanya menoleh sekilas dan kembali sibuk menggerakkan gerakkan tangannya ke dekat lemari. Berusaha menggapai kardus Marisa yang tergeletak.

“Udah diem aja.” perintah Kak Mhei, “Iya, iya tapi awas jatuh ke atas.” balasku asal.

Kak Mhei mendelik ke arahku, “Diem aja deh atau kamu yang bakalan aku kurung pake kardusnya Marisa.” aku langsung tersenyum lebar dan memasang tatapan coba-aja-kalo-Kak Mhei-bisa. Saat aku memalingkan wajah ke kolong kasurku untuk mengecek ular tadi, ternyata kepala ular itu sudah terjulur keluar, menatap kita seolah-olah ada tontonan gratis. Aku tertegun tidak bisa bergerak, begitu juga Kak Mhei dengan posisi ‘renangnya’.

Ekor mataku melirik Kak Mhei yang sedang bersiaga memegang kardus kosong Marisa, bersiap jika ular itu bergerak mendekat. Dalam detik-detik yang menegangkan itu Kak Mhei turun dari kasur dan bangkit dengan gagah berani, aku mendadak merasa seperti tokoh heroine yang akan diselamatkan sang protagonis dari terkaman naga buas.

Tapi sayangnya itu semua cuma khayalanku.

Karena Kak Mhei hanya melempar kardus Marisa ke arah ular itu setelah beberapa langkah dari kasur, “Alfath!!” jerit Kak Mhei sambil berbalik dan loncat ke kasur Marisa lagi. Aku terkesiap sebelum menyadari sesuatu.

“Kak Mhei! Ngapain dilempar? Kalo ularnya makin buas gimana?”teriakku panik.

“Aku juga takut tau! Emangnya kamu mau nangkep ularnya pake kardus?” sewot Kak Mhei.

“Ya engga sih, tapi kan nanti ularnya ngamuk.”

“Udahlah, kayaknya dia juga udah masuk ke kardus.” kata Kak Mhei sambil memicingkan matanya. Memastikan.

“Siapa?” tanyaku polos, aku gagal paham sama kata-kata Kak Mhei barusan.

“Ya ularnya lah!” Kak Mhei melototiku. Greget.

Aku cengengesan, “Hehehe..kirain siapa gitu.” Kak Mhei menghembuskan nafas panjang. Mungkin kesal. Tiba-tiba aja kardus itu mulai bergerak-gerak, dalam sekejap rasa takutku langsung meningkat, seakan-akan sesuatu yang lebih mengerikan akan keluar dari balik kardus itu.

“Gimana nih? Kak Mheii..” rengekku di atas kasur Resti. Panik.

Wes ta, diem aja Fath. Ularnya juga kayaknya udah di dalem kardus, engga akan keluar.”

Sss…terdengar suara mendesis. Kepala ular itu muncul disamping kardus.

“Eh, engga ding!” Kak Mhei mengoreksi kata-katanya sambil tersenyum lebar.

“Kalo dia naik ke kasurku gimana? Siapa yang tanggung jawab?” seruku, aku mulai mengoyang-goyangkan ranjang. Cemas. “Panggil Pak Kir aja deh, buruan sana!” balas Kak Mhei cepat, suaranya terdengar parau. Mungkin Kak Mhei juga takut kalo ular itu merayap ke kolong kasur Marisa.

“Engga mau! Ntar kalo aku pergi Kak Mhei udah jadi dendeng.” ujarku berusaha ngeles.

“Dendeng-dendeng, emangnya aku daging?” Kak Mhei melemparku dengan guling Marisa.

Aku langsung buru-buru menangkap guling itu, takut kalo guling itu jatuh dan dijadiin kasur sama si ular. Entah bagaimana, tiba-tiba sebuah ide yang cukup ekstrim muncul di benakku.

“Fat,” Kak Mhei memanggilku. “Kamu mau kema-“

“Sstt!!” aku menaruh jari telunjuk dibibir dan Kak Mhei mengangguk. Paham.

Dengan hati-hati aku berjalan di atas kasur Resti dan melangkah ke atas lemari asrama yang cukup lebar buat jalan. Kebetulan sekali ujung lemari asrama ini berakhir di dekat kasur Zahra yang ada di atas kasurku. Mungkin aku bisa teriak minta tolong dari sana dan pintu kamar juga terbuka dengan lebarnya.

Walaupun aku engga tau ular itu bakalan merayap ke kasur Zahra atau engga.

Tapi saat aku mulai melangkah ke atas lemari, pandanganku mulai berputar. Jujur aja, aku sebenernya agak takut sama ketinggian, apalagi lemari ini tingginya 2 meter di atas keramik bukan laut. Aku memejamkan mataku sejenak sambil menarik nafas pelan, dengan tekad yang sudah mantap aku mulai melangkah lagi.

“ALFATH! ULARNYA MULAI JALAN KELUAR!!” seru Kak Mhei tiba-tiba.

Aku terlonjak kaget dan langsung jongkok, “Kak Mhei jangan ngagetin gitu ah, kalo aku jatuh gimana?!”

“Ya sorry Fat, habis ular- wuaaaaa! Ularnya keluar beneran!” Kak Mhei langsung naik ke tangga.

Aku langsung buru-buru berdiri dan lari ke kasur Zahra. Bodo amat lah kalo aku jatuh, yang penting ularnya engga gigit aku dengan taringnya. Aku langsung loncat ke kasur Zahra dan merangkak ke arah pintu yang terbuka lebar. Kuintip sebentar suasana lorong di depan kamar. Sepi.

Saat aku mau membuka mulut, Kak Mhei berteriak panik, “Ularnya kesini! Ularnya kesini! Ularnya kesini Alfath! Ularnya beneran kesini!”, aku langsung melotot ke arah Kak Mhei, ‘Jangan teriak dulu!’ omelku dalam hati, “Bentar ta Kak Mhei, aku mau minta to-“

“Ya udah buruan!” potong Kak Mhei.

“Hmph!” aku langsung memalingkan muka. Ngambek.

Habis omonganku langsung dipotong.Tapi, ya udahlah. Ini kan demi kebaikan aku, Kak Mhei dan si ular.

“Pak Kir atau siapapun di luar yang denger, tolong! Ada ular di kamar!” teriakku keras-keras.

“Tolong! Ularnya gede banget, mirip anaconda versi balita dan warnanya-“ nafasku mulai tersengal.

“Yang serius Fat! Ularnya makin ke sini nih!” seru Kak Mhei jengkel sambil memeluk bantal.

“Iya! Tau kok.” seruku dongkol. Aku kembali melihat ke arah lorong dan menyipitkan mata.

Hatiku langsung berbinar-binar saat melihat bayangan seseorang di deket jandela lorong, “Tolong! Ada ular masuk!” teriakku sekali lagi dan yes! Bayangan itu berbalik dan mengintip di jendela. Rupanya Pak Kir, yang biasa bantu-bantu di pondokku.

“Pak tolong, ada ular di kamar!” seruku buru-buru. Pak Kir mengangguk. Aku membuang nafas lega.

“Nah, Kak Mhei sekarang tenang aja.”ucapku sambil menoleh ke arah Kak Mhei.

Kak Mhei mengangguk cepat, mukanya terlihat pucat, “Tapi Fat..” aku mengerutkan kening, “Tapi kenapa?”, dengan gemetar Kak Mhei menunjuk ke bawah kasurku.

“Ularnya sekarang ada di bawah kasurmu, dan lagi merayap ke atas.”

Gerakanku langsung berhenti sesaat. Jantungku berdegup kencang.

“Jangan bercanda Kak Mhei, serius nih aku mau nangis.” Kak Mhei mengangguk cepat.

“Pak Kir! Tolong pak! Ularnya mulai naik ke atas kasur!” jeritku panik.

Aku bahkan sampai berdiri dipinggir ranjang dekat tembok.

Saat mataku semakin berkaca-kaca, Pak Kir muncul di pintu sambil membawa karung beras dan tongkat kayu, “Mana ularnya mbak?” aku buru-buru menunjuk ke bawah dan Pak Kir langsung masuk ke dalam kamar, “Wah, ini mah ular sawah mbak.” dengan cekatan Pak Kir langsung menangkap kepala ular sawah itu dan memasukkannya ke karung beras. Aku tertegun, ‘Ah…ular sawah, kirain anaconda gitu.’ pikirku.

“Nah ularnya udah ketangkep, mbak-mbaknya bisa turun sekarang.” aku mengusap mataku dan buru-buru turun dari pinggir ranjang sambil tersenyum getir. Malu. Pak Kir langsung keluar kamar begitu aku dan Kak Mhei mulai turun tangga. Kulihat raut muka Kak Mhei masih tegang tapi dia melempar senyum lega ke arahku, aku mengangguk.

Untung sekarang ularnya udah pindah tempat.

Kami berjalan keluar, mengikuti Pak Kir sampai pintu asrama, kulirik dengan takut karung beras yang bergerak-gerak. Khawatir kalo karung itu kebuka dan ularnya malah kelling asrama. Kak Mhei langsung membuyarkan lamunanku, “Fat!” mata Kak Mhei melirik ke arah Pak Kir yang berjalan beberapa langkah di depan kami. Aku langsung ber-o pelan. Paham.

“Mm..Pak Kir, makasih ya udah nangkep ularnya, maaf kalo ngerepotin hehehe..” ujarku canggung.

“Gak apa-apa mbak, lagian saya juga tadi lagi nyari selang buat mas-mas OSIS.”

Aku dan Kak Mhei mengangguk-ngangguk bersamaan. Saat sampai di pintu asrama, Pak Kir menoleh, “Saya pergi dulu ya mbak, mau buang ularnya.”

“Oh iya pak silahkan, sekali lagi makasih ya pak!” Pak Kir mengangguk dan berjalan menjauh.

“Lega banget ya Kak Mhei?” aku menopang tangan kananku di bahu Kak Mhei.

Kak Mhei langsung menyingkirkan tanganku, “Iya, iya, untung aja tadi kamu engga nangis beneran.”

“Mm..tapi kan,” aku mengembungkan kedua pipiku. Jengkel. Kak Mhei tertawa puas.

Tapi, ah Kak Mhei emang bener, tadi aku hampir aja nangis. Memalukan.

“Jadi..” Kak Mhei melirik jam tangannya, “Mau ke lapangan? Nyusul yang lain?”

“Emang sekarang jam berapa?” Kak Mhei menunjukkan jam tangannya.

“Masih ada waktu 1 jam lebih 10 menit, kalo mau ikut olahraga.”

Aku mencibir, “Engga usah deh, udah keburu males gara-gara tamu istimewa tadi.” Kak Mhei menatapku aneh. “Loh iya kan? Mending tunggu aja di kantin, terus kita ceritain deh masalah ular itu.”

Kak Mhei mengangguk dan mulai berjalan ke arah kantin akhwat yang sudah buka, “Tapi engga apa-apa nih? Biasanya kan Kak Mhei nurut sama kata-kata Marsya, ketua kelas kita yang cantik.” sindirku sambil melirik punggung Kak Mhei yang berjalan di depan, “Engga mesti ah.” jawab Kak Mhei enteng tanpa menoleh.

“Tapi aku bakalan bilang ke Marsya, kalo kamu yang ajak aku bolos olahraga.” lanjut Kak Mhei.

“Wah..kalo gitu aku traktir Kak Mhei deh, sekalian buat nambah tenaga yang tadi habis gara-gara teriak.” aku merangkul Kak Mhei dan tersenyum semanis mungkin. Modus.

“Dih, terserah deh asalkan berkelas aja hahaha.”

“Wah boleh tuh, beli aja satu susu kedelai terus di minum di kelas, jadi berkelas kan?”

Aku buru-buru berkelit dan lari sebelum Kak Mhei menjitakku lagi.

ZulfanaK (Zulfa AR Pesantren Media)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *