Loading

broken-heart“BRUKK!!” Romi terjatuh dari ketinggian. Ia meringis menahan sakit. Dari pelipisnya, bertetesan darah segar. Ia mencoba untuk membuka kelopak matanya. Tapi, susah. Ia memukul-mukul kakinya yang terasa kaku. Romi merasa lumpuh. Tatapannya yang gelap dan kaki yang susah digerakkan, membuatnya tegang. Keringat dingin bercucuran dari tubuhnya.

Romi terus mencoba membuka matanya. Ia sudah tak tahan lagi berada dalam kegelapan seperti ini. Tapi tak ada jawaban atas usahanya. Namun, ketika ia mencoba berdiri, kakinya mau berkompromi dengannya. Kaki itu mau berdiri sebagaimana mestinya.

Laki-laki bertubuh jangkung itu, masih bersikeras membuka matanya. Ia tak tahu apa yang tengah terjadi.

“Sialan! Ada apa ini?!!” tangannya mengepal. Romi mengutuk segalanya yang telah terjadi. Tapi, di sekelibat hatinya, ia ingin bertobat dari ‘profesinya’ saat ini. Penjudi plus pemabuk, sudah lekat sebagai lebel dari dirinya. Anehnya, di balik keonaran yang ia buat, Romi memiliki seorang adik perempuan yang sangat menyayanginya. Selain itu, adik satu-satunya ini begitu sholihah. Tak jarang ia mendengar bisik-bisik tetangga yang berkata “Kok bisa ya, pemabuk seperti itu punya adik yang sholih? Jangan-jangan, mereka bukan saudara kandung”

Tiba-tiba kakinya hilang kendali. Ia dibawa berlari kencang sekali. Kakinya menginjak krikil-krikil. Tubuhnya bergesekkan dengan dahan-dahan pohon. Kulitnya penuh sabetan rumput teki.

“Anjing! Di mana aku?!!” Romi berteriak di sela larinya yang tanpa kendali itu. Tapi, sebuah pil menyodok kerongkongannya. Ia tersedak dan merasa tercekik. Matanya terbuka perlahan. Romi memegangi lehernya yang masih terasa aneh. Kakinya tiba-tiba saja berhenti berlari. Ia dihempaskan jatuh ke atas tanah.

“Hah? Tempat apa ini?” Romi menganga. Tempat ini bagai kota mati. Tak ada warna. Abu-abu. Ia memutar matanya, mencoba mengingat apakah ia pernah ke tempat ini. Tapi, otaknya benar-benar tak memberikan petunjuk.

Sudah jelas, mana mungkin ada kehidupan di tempat seperti ini. Rumput-rumput setinggi dirinya begitu sesak berada di sekelilingnya. Pohon-pohon raksasa, tinggi menjulang, berdempetan satu demi satu. Mereka semua seperti tertutup abu. Tempat ini begitu asing di matanya. Romi menatap sekelilingnya.

Kaki dan tubuhnya kembali terkendali. Meski untuk beberapa detik, ia masih takut melangkah. Pria bertubuh tegap, dengan rambut gondrong ini, menyusuri jalan yang serba abu-abu. Rumput yang menyayat-nyayat tubuhnya, tak lagi terasa sakit. Meski sesekali terasa perih.

Sebenarnya, di mana aku?

***

Pagi itu masih sama. Ya, Jakarta memang selalu begini. Panas dan kadang hujan. Macet? Selalu. Rahmi mengambil mukena putih dari dalam almarinya. Jam dinding berwarna merah jambu tergantung di atas dinding dengan wallpaper bunga-bunga. Pukul sembilan tepat. Pagi yang begitu indah untuk bersimpuh kepada Zat Yang Maha Kuasa. Ibadah yang begitu dicintai bagi para penghuni jannah-Nya.

Semilir angin di tengah-tengah polusi, menyapu pipi mulus Rahmi. Tubuhnya bergetar, memohon ampunan dan perlindungan dari Allah swt. Rahmi benar-benar menyayangi keluarga yang berada di ambang kehancuran itu. Gadis berumur dua puluh tahun ini, tak hentinya mendoakan kakak laki-lakinya itu. Air mata bercucuran dari pelupuk matanya. Meski sering ia disakiti dan dicaci maki, namun rasa cintanya kepada satu-satunya harta yang paling berharga di bumi ini, menjadikan ia wanita sholihah yang begitu kuat.

Usai sholat Dhuha dan berdoa, Rahmi bangkit dari tempat sholatnya. Dia kembali membangunkan kakaknya, entah untuk keberapa kalinya. Dari subuh, ia sudah berusaha untuk membangunkan kakaknya yang galak itu. Ia merindukan masa kecilnya. Ketika masih berumur enam tahun, saat masih ada ayah dan bundanya, keluarga itu selalu sholat berjamaah di mushola kecil dalam rumahnya. Ia menyeka airmata yang hampir jatuh ke pipinya. Rahmi sadar, ia begitu rapuh.

Gadis bertubuh kurus ini membuka perlahan pintu kamar kakaknya. Aroma alkohol memenuhi rongga hidung dan kerongkongannya. Ia dapati kakaknya masih berdengkur di balik selimut berwarna biru. Kali ini ia punya keberanian untuk lebih keras membangunkan pria yang keras kepala itu.

“Bang! Bangunlah! Sudah jam berapa ini?” tangannya membuka selimut biru itu. Pria yang berada di balik selimut itu, malah membalik badannya. Rahmi menghela nafas,

“Bang! Kalau enggak bangun, akan ku siram kau dengan air” ancamnya. Namun ia tak menggubris.

“Bang Romi! Sampai kapan kamu begini? Carilah kerja untuk menafkahi adikmu ini! Jangan melulu aku yang kamu suruh bekerja! Kamu itu laki-laki! Semenjak tidak ada kepala keluarga, kamu lah yang bertanggung jawab untuk menafkahi keluargamu sendiri!” Rahmi kehilangan kesabaran. Romi menutup telinganya dengan bantal.

Rahmi keluar sejenak dan kembali dengan membawa satu ember air keran. Byurr! Air membanjiri tubuh dan kasur Romi. Romi gelagapan. Ia segera berdiri dalam keadaan basah kuyup,

“Adik kurang ajar!” ia mendaratkan tamparannya ke wajah Rahmi. Rahmi tersungkur. Dia paham benar tabiat kakak laki-lakinya itu. Itu bukan kali pertamanya ia merasakan tamparan seperti itu.

“Sudah ku bilang kan? Aku cape! Aku baru pulang jam satu malam!” telunjuknya menunjuk-nunjuk ke depan muka Rahmi.

“Cape apa? Kamu hanya berjudi dan mabuk-mabukan! Menghamburkan duit dan waktu! Bukan untuk memberiku makan atau mencukupi kebutuhanku! Bang, aku ini adikmu! Tidakkah kamu berpikir, untuk mencari kerja dan mencoba untuk menjadi pengganti Ayah?” Rahmi membiarkan air matanya membasahi pipinya. Tamparan kembali mendarat di pipi kanannya.

“Tolol! Aku sudah berkali-kali memberimu duit ketika aku menang judi. Aku membelikanmu makanan dan kerudung baru. Tapi apa? Kamu tolak semua pemberianku. Sekarang? Ketika aku terus-terusan kalah dalam berjudi, kamu menagihku ini-itu. Kurang baik apa aku ini?” rahangnya mengeras.

“Lalu? Kamu pikir aku mau makan dari duit haram? Menutup auratku dari harta yang tidak halal? Kamu pikir aku mau?!” suara Rahmi mengeras. Romi menjambak rambut adiknya itu,

“Kalau begitu, untuk apa kamu memintaku untuk menafkahimu? Itu caraku untuk menghidupimu! Semua orang punya cara masing-masing untuk menafkahi keluarganya! Termasuk aku! Ini caraku!” ia menghantamkan keras-keras kepala Rahmi ke dinding. Tatapan Rahmi, menghilang.

***

Kaos oblong yang ia gunakan terlihat lusuh. Jalannya sempoyongan tanpa arah. Romi masih terjebak di kota aneh ini. Badannya melemah. Ia duduk dan menyandarkan punggungnya pada salah satu dahan pohon. Nafasnya tersengal-sengal. Keringat dingin terus bercucuran. Tempat ini memang begitu dingin.

Kakinya lecet. Rasa sakit menyeruak ketika ia tekan, satu di antara luka-luka di kulitnya. Romi meringis. Rasanya, ia ingin mati saja. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Tidak mungkin ada orang yang akan membantunya.

Rumput di depannya bergerak-gerak. Romi melihat tajam-tajam ke arah rumput itu. Ia sudah mengepalkan tangannya, untuk bersiap-siap menghajar siapa saja yang berada di balik rerumputan itu. Rumput itu bergerak makin kencang. Seekor ular, keluar dari persembunyiannya. Romi terhenyak. Dengan cepat, ia memukul kepala ular tersebut. Seketika, ular itu mati. Ia menghela nafas dan kembali menyandarkan punggungnya.

Rumput di depannya kembali bergerak. Romi menatap rerumputan itu dengan remeh,

“Keluar saja. Temanmu sudah ku bunuh. Aku tidak takut dengan ular”. Rumput berhenti bergerak. Romi menutup matanya untuk beberapa detik.

Rasa lelah begitu menghantuinya. Di lain rasa, ia ingin segera pulang dan memeluk Rahmi. Romi sadari, meski ia membenci nasihat-nasihat dari mulut Rahmi, ia sangat mencintai adiknya itu. Adik yang selalu mendoakannya kapan saja. Berdoa agar hal baik selalu menghampirinya. Namun ia selalu membalas sebaliknya.

“Akkhh…” tanpa ia sadari, seekor ular besar melilit kakinya. Ia mencoba untuk melepaskan lilitan mematikan itu. Namun, usahanya nihil. Ular itu semakin kuat saja. Dan sekarang, semua bagian tubuhnya dililit oleh binatang yang ia remehkan itu.

“Hai pria kuat” ular itu menyapa Romi dengan desisan. Romi terbelalak,

“Tidak mungkin!”

“Apakah pria kuat hanya kalah dengan ular?” ular itu kembali berbicara. Romi masih tak percaya. Ia mencengkram kain celananya. Ini kali pertamanya ia merasakan takut yang luar biasa.

“Ada apa pria kuat? Kamu takut?” ular itu seakan membaca pikiran Romi. Romi meronta,

“To… tolong lep… paskan akk… kuu”

“Tidak mungkin pria kuat kalah dengan lilitan ular. Ayolah, tunjukkan kekuatanmu. Bukankah tanganmu itu sudah mematikan banyak korban? Menyakiti tubuh siapa saja yang kau benci? Bahkan, adik kandung yang sangat mencintaimu?”

Romi melotot. Ingin rasanya ia menghancurkan kepala ular besar di depan mukanya itu. Namun, rasa takut dan kuatnya lilitan ular itu, mebuat ia tak bisa melakukan apa-apa.

“Namamu, Romi ya?” ular itu memalingkan kepalanya. Romi mengangguk kikuk.

“Yang suka mabuk-mabukkan dan berjudi itu bukan?”

Romi terdiam. Tubuhnya kaku dan makin dingin. Ia hampir tak bisa bernafas. Lilitan ular itu begitu kuat.

“To… tolong lep… paskan akk… kuu”. Romi benar-benar memohon.

“Apa kamu menjamin, jika aku melepaskan lilitan ini, kamu tidak akan memecahkan kepalaku dengan tangan perkasamu itu?” ular abu-abu itu melonggarkan lilitannya. Romi mengangguk kuat-kuat. Ular itu melepaskan lilitannya perlahan. Romi sedikit lega.

“Bagaimana rasanya disakiti?” dengan tenang, ular itu terus menginterogasi Romi. Romi menunduk. Tubuhnya berguncang hebat.

“Selama ini, kamu tidak pernah terkalahkan. Selalu menang, bukan? Kecuali, untuk urusan berjudimu yang beberapa hari ini mengalami kekalahan.” Ia mengitari tubuh kakak laki-laki Rahmi itu. Pria berumur kepala tiga itu, membelalak. Bagaimana dia bisa tahu?

“Ba… bag… gaimana, kamu bis… bisa tahu?” Romi terbata-bata.

“Sudahlah Romi. Aku tidak akan menyakitimu jika kamu juga tidak menyakiti siapa pun”.

Romi berdiri perlahan. Ular itu pergi ke arah selatan. Romi membuntutinya dari belakang. Energinya sudah mulai pulih kembali. Namun, tidak ada lagi perasaan ingin membunuh siapapun yang menyakitinya. Pandangannya tertumpu pada punggung ular besar itu.

“Kita mau kemana?” Romi masih tegang. Binatang melata itu bergeming.

***

Gadis bertubuh kurus dengan paras yang menawan itu merapikan kerudungnya di depan cermin. Wajahnya sangat mirip dengan almarhum ayahnya. Matanya sembab. Sesekali ia terisak. Ia begitu merindukan keluarga kecilnya, yang dulu pernah bahagia. Ia menyematkan jam kulit berwarna coklat pada pergelangan tangannya. Kerudung merah jambu begitu sepadan dengan wajahnya yang cantik tanpa polesan. Baju coklat panjang hingga mata kakinya, terlihat sederhana di tubuhnya yang tinggi.

Rahmi baru saja sembuh dari sakit. Kejadian seminggu lalu, membuatnya tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Lebam di pipi kanan, bekas tamparan kakaknya, juga sudah sembuh. Hatinya masih sangat terasa sakit. Namun, entah mengapa ia begitu mudah memaafkan kelakuan kakaknya itu. Hari ini ia akan mulai bekerja lagi.

Jam enam pagi. Romi masih terlelap dalam tidurnya. Sedang gadis dengan tubuh tinggi, berdiri di ambang pintu kamar pemabuk itu. Rahmi menahan nafasnya,

“Bang, bangun…” ujarnya lirih. Romi tidak bergerak. Dengan takut-takut, ia mendekati Romi.

“Bang Romi, bangun Bang…” ia menggoyang pelan tubuh kekar itu. Romi membuka matanya perlahan. Bola matanya masih merah.

“Kamu mau kemana?” ia masih berbaring. Rahmi menghela nafas,

“Kerja” Ia beranjak untuk membuka gorden. Sinar matahari menerobos masuk ke dalam ruangan beraroma alkohol itu. Romi menyipitkan matanya,

“Kamu sudah sehat?” ia duduk di atas tempat tidurnya. Rahmi memalingkan pandangannya ke luar jendela,

“Abang tahu selama ini aku bekerja apa?”

“Aku tidak perlu tahu. Seorang muslimah sepertimu, pasti tahu pekerjaan yang baik untuk dirinya sendiri” Romi mengambil mantel di belakang pintu kamarnya. Rahmi menggeleng,

“Bahkan, dengan pekerjaan adikmu saja, kamu tidak peduli?”

“Bukan pelacur kan?” ia tersenyum sinis. Romi menatap punggung gadis yang tengah menatap ke luar jendela itu. Rahmi benar-benar tidak habis pikir, mengapa kakaknya begitu meremehkannya. Ia menahan emosinya dalam-dalam,

“Aku bekerja di salah satu butik di Jakarta Selatan. Tidak jauh dari sana, ada sebuah perusahaan yang sedang mencari karyawan baru”

“Lalu? Kamu mau pindah kerja?”

Rahmi menggelengkan kepalanya,

“Aku ingin kamu melamar kerja di sana”

“Lalu? Kamu pikir aku mau?”

Rahmi membalik badannya. Ia menatap mata laki-laki yang menggunakan mantel hitam itu.

“Kita bisa pulang sama-sama setiap hari. Seperti saat kita SD dan SMP dulu. Aku bisa tenang melihatmu dengan pekerjaanmu. Aku tidak akan merasa resah lagi, dengan berapa banyak dosa yang harus kamu pikul setiap hari. Cari pekerjaan yang halal Bang…”

Romi mengencangkan sabuknya,

“Kamu pikir, jadi karyawan itu enak? Diatur ini-itu sama bos. Persis jongos”

Rahmi menarik nafasnya dalam-dalam,

“Berjudi dan mabuk-mabukan juga jadi jongos Bang!” ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar laki-laki itu.

“Jongosnya setan” sambung Rahmi. Rahmi bergegas pergi bekerja. Sedang Romi, terdiam merenungi perkataan adiknya barusan. Ia kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur. Matanya terasa berat.

***

“Kamu lihat itu?” ular itu menatap lurus ke depan. Romi mengikuti sorot mata binatang besar itu. Romi menganga,

“Siapa mereka?”

“Laki-laki itu sangat jahat. Hidupnya tidak mengenal toleransi. Apapun dan siapapun yang menghalanginya, bisa habis di tangannya. Bahkan orang yang sangat mencintai dan merindukan dirinya yang dulu”

“Perempuan itu siapa?” hati nurani pemabuk dan penjudi itu meringis.

“Kamu pasti mengenalnya” ular di hadapannya seketika menghilang.

Romi benar-benar diperlihatkan, kesadisan di hadapannya. Seorang gadis yang mengenakan kerudung yang terulur hingga menutupi dadanya, dan baju panjang hingga menutupi mata kakinya itu, disiksa habis-habisan dengan seorang pria bertubuh kekar.

Ia mencoba melihat wajah gadis itu. Tapi, wajahnya bersinar. Romi menyipitkan matanya,

“Siapa dia?”

Sebuah tamparan keras melayang ke wajah wanita itu. Romi merasakan sakitnya. Ia tidak pernah merasa se-khawatir itu. Berkali-kali pria dengan perawakan seperti preman itu, menghantamkan kepala wanita itu ke atas tanah. Romi memejamkan mata. Dia merasa, pernah melihat itu sebelumnya.

“Bang Romi!!!”

Ah, suara itu!

“Bang Romi bangun, Bang! Kamu kenapa keringat dingin begini?” Rahmi begitu mengkhawatirkan kakak satu-satunya itu. Romi terbangun dengan banjir keringat. Ia melihat ke sekelilingnya.

“Rahmi!” Romi memeluk erat-erat tubuh Rahmi. Rahmi bingung,

“Ada apa Bang?” adiknya itu, masih khawatir. Romi menggigil dan melepaskan pelukannya,

“Aku tidak akan menyakitimu lagi. Aku akan menjagamu. Aku akan melamar kerja di perusahaan yang kamu katakan itu. Aku tidak akan mabuk-mabukan dan berjudi lagi. Aku akan menjadi pengganti Ayah. Aku akan menafkahimu dengan harta yang halal. Aku… aku…” tubuhnya bergetar. Rahmi mengernyitkan dahinya,

“Kamu kenapa Bang?”

“Aku menyayangimu.”

Rahmi tersenyum. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa sangat bahagia.

“Sungguh?”

Romi mengangguk kuat-kuat.

“Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Allahu Akbar, Allahu Akbar. Alhamdulillah ya Allah. Engkau-lah Zat yang Maha membolak-balikan hati seseorang” [Noviani Gendaga, Santri angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]

By noviani

Noviani Gendaga | Santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, kelas 3 | Asal Samarinda, Kalimantan Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *