Loading

Kumpulan awan putih menyelimuti langit biru pagi ini. Semilir angin berhembus melambaikan dedaunan hijau nan segar. Burung-burung gereja terbang bebas mengepakkan kedua sayap mereka. Cahaya mentari menghangatkan rerumputan yang basah oleh tetesan embun. Kicauan merdu burung pipit yang bertengger di dahan pohon jati menambah suasana pagi semakin indah.

Di halaman depan rumah, seorang laki-laki paruh baya sedang asyik menyemir sepatu sambil duduk di atas kursi yang terbuat dari kayu jati. Sesekali ia meneguk secangkir kopi hangat yang ada di atas meja. Tak jauh dari tempat itu, seorang gadis berusia 17 tahun sedang menyiram bunga mawar putih. Warna bunga itu serasi dengan warna jilbab yang dipakainya.

“Pak, kok bunganya hilang satu, ya? Kemarin Riani hitung ada lima.” Tanya Riani, si gadis berjilbab putih kepada bapaknya yang masih asyik menyemir sepatu.

“Kemarin dipetik Arinda.” Jawab bapak santai. Tangannya masih sibuk menyemir sepatu. Sementara Riani kaget dan berhenti menyiram bunga.

“Ihh, dasar Arinda! Awas ya!” Keluh Riani kesal sambil berjalan ke dalam rumah.

“Sekalian bangunin dia, Riani.” Pinta bapak.

“Masya Allah, jam segini masih tidur? Apa kata dunia coba? Ihh…” Batin Riani kesal sambil terus berjalan ke dalam rumah.

ooOoo

Di dalam kamar yang dindingnya bercat biru muda dengan keramik putih yang tertata rapi, Arinda sedang  tidur pulas. Ia masih asyik dengan mimpinya. Sama seperti biasanya, suasana indah pagi tak bisa dirasakannya. Dengan rasa kesal, Riani masuk ke kamar Arinda sambil membawa segayung air. Gejolak amarah yang ia rasakan seperti gunung yang akan meletus.

“Arinda! Ayo bangun!” Teriak Riani beberapa menit setelah ia sampai di kamar Arinda. Namun Arinda tak menunjukkan tanda apa pun. Ia masih tenggelam dalam lautan mimpi indahnya.

“Arinda bangun!!!” Teriak Riani untuk yang kedua kalinya.

“Aahhh… nanti aja. Arinda masih ngantuk, Kak.” Kata Arinda malas. Kali ini ia sudah setengah bangun dari tidurnya. Sayangnya Riani tak bisa melihat wajah adik semata wayangnya itu. Wajah Arinda tertutup oleh selimut.

“Kamu ini kebiasaan deh, abis sholat Shubuh malah tidur lagi.” Keluh Riani kesal.

“Kan kaya lagunya Mbah Surip, Kak. Bangun tidur, tidur lagi.” Kata Arinda pelan. Tangannya sibuk membenarkan posisi bantalnya yang miring.

“Eh, malah nyanyi. Tidur abis sholat Shubuh nanti rezekinya dipatuk ayam tahu!” Jelas Riani. Masih dengan rasa kesal.

“Kok bisa ayam yang matuk, Kak? Kenapa enggak burung aja?” Tanya Arinda.

“Ihh, kamu enggak lihat Kakak bawa apa?” Tanya Riani kesal.

Arinda kaget. Ia membuka mata lalu menyingkirkan selimut yang sejak tadi menyelimutinya dan membuatnya bak seekor trenggiling.

“Oh, pasti Kakak bawain susu sama roti, ya? Makasih…” Tanya Arinda senang sambil mengusap matanya.

“Eh, enak aja. Udah kemarin metik bunga sembarangan, jam segini masih tidur, enggak mau bangun lagi. Tuh lihat matanya sipit gitu kayak orang Jepang aja!” Keluh Riani sambil menatap tajam Arinda.

“Hehe… bunga mawar yang di depan rumah, ya?” Tanya Arinda pelan. Tangannya masih asyik mengusap matanya.

“Malah cengengesan. Bukannya minta maaf. Kamu enggak tahu Kakak bawa apa? Nih, air segayung spesial buat Arinda.” Kata Riani makin kesal. Arinda berhenti mengusap matanya.

“Waduhhh…” Arinda kaget dan langsung loncat dari tempat tidur.

“Eh, mau kemana kamu?” Tanya Riani kaget.

“Ampun, Kak.” Kata Arinda ketakutan sambil berlari ke luar kamar.

“Heyyy! Arindaaa!” Teriak Riani kesal.

Di dapur ibu sedang mengiris bawang merah untuk menumis kangkung. Mendengar teriakan Riani, beliau menggelengkan kepala.

“Riani! Arinda! Jangan ribut terus!” Teriak ibu.

ooOoo

Ya, begitulah kehidupan Arinda dan Riani. Kakak beradik itu hampir setiap hari ribut. Ada saja ulahnya. Hal itu sering membuat orang tuanya pusing tujuh keliling. Terutama ibunya.

Walaupun kakak beradik, mereka memiliki sifat dan kebiasaan yang jauh berbeda. Perbedaan usia mereka hanya dua tahun. Riani Ayu Pradini adalah nama lengkap Riani alias kakaknya Arinda. Sekarang ia berusia 17 tahun dan duduk di kelas dua SMA. Dibandingkan Arinda, Riani lebih nurut sama orang tuanya, rajin, pintar dan lebih sholehah. Sholat lima waktu dan membaca Al-Qur’an adalah hal yang tak pernah dilewatkannya.

Riani juga orangnya bersihan. Enggak mau kalo ada debu nempel di mana pun dan sedikit pun. Kadang Arinda kesal dengan sifat kakaknya ini. Tiap hari selalu mengontrol kamarnya dan tak jarang Arinda harus mendengar omelan kakaknya itu sampai setengah jam. Bahkan lebih.

Kebiasaannya membersihkan rumah dan menyiram bunga bukanlah hal yang asing lagi. Riani memang suka sekali dengan bunga. Tapi di lain sisi, ia tak pandai memasak.

Lain lagi dengan Arinda. Nama belakangnya sama dengan nama belakang Riani. Ya, Arinda Ayu Pradini. Gadis yang duduk di kelas tiga SMP ini suka sekali dengan musik reggae. Gara-garanya  ikut-ikutan dengan temannya. Riani sering memarahi Arinda karena kesukaannya itu. Ditambah Arinda sering nyanyi-nyanyi sampai suaranya terdengar oleh tetangga.

“Arinda!! Matiin musiknya! Dan satu lagi, jangan nyanyi keras-keras! ” Itulah yang sering dikatakan Riani.

“Ihh, Kak Riani bawel. Enggak tahu apa orang lagi asik juga.” Batin Arinda.

Selain itu Arinda pemalas. Malas bangun tidur, mandi, sekolah dan lain-lain. Disuruh ibunya ke warung aja enggak mau. Untungnya Kak Riani yang selalu membantu ibu. Kadang ibu memarahi Arinda karena sifat buruknya ini. Tapi sebenarnya Arinda baik hati. Sayangnya dia malas. Walaupun begitu, Arinda masih mau sholat dan belajar mengaji. Kalo enggak, Kak Riani selalu siap mengomelinya.

Arinda selalu heran dengan kakaknya yang lebih cerewet dari ibunya. Sampai Arinda mikir begini,

“Aduh, gimana kalo Kak Riani punya anak, ya? Jangan-jangan nasib anaknya sama kaya aku. Aduhh amit-amit.”

Ohya, hal yang biasanya Arinda banggakan ke kakaknya adalah ia jago masak. Mau bikin kue, minuman sampai masakan Nusantara sekalipun, Arinda bisa. Keahlian ibu memasak turun kepadanya. Kadang, Riani iri dengan keahlian adiknya itu.

Itulah Riani dan Arinda. Kakak beradik ibarat Tom dan Jerry. Sayangnya mereka tak menyadari bahwa kebiasaan mereka ribut setiap hari telah membuat ibunya sedih.

ooOoo

Malam ini langit dihiasi dengan taburan bintang yang cantik mempesona. Udara dingin malam menerbangkan daun-daun kering di halaman rumah. Di dapur Riani sedang membantu ibu menyiapkan makan malam.

“Riani, tolong piringnya ditaruh di meja, ya!” Pinta ibu kepada Riani. Riani mengangguk.

“Wah… asyik makannya sama ayam bakar madu.” Kata Arinda tiba-tiba.

“Eh, kamu ngagetin aja. Sejak kapan kamu ada di dapur?” Tanya Riani sewot. Ia masih kesal karena Arinda memetik bunga mawar miliknya.

“Dari tadi kok. Kakaknya aja yang enggak lihat. Sok sibuk.” Jawab Arinda.

“Eh, sudah-sudah. Kalian ini ribut terus. Arinda ayo bantu kakakmu!” Pinta ibu.

Beberapa menit kemudian makan malam telah siap dihidangkan. Malam ini keluarga Arinda makan dengan ayam bakar madu.

“Bu, Bapak kok enggak ikut makan?” Tanya Arinda sambil mengambil piring.

“Bapak lagi ke rumah Pak Hilman.” Jawab ibu lembut.

“Ohya, Bu. Udah lama kita enggak silaturahmi ke rumah Nenek.” Kata Riani.

“Oh, kebetulan. Ibu punya hadiah buat Nenek. Besok kalian antar, ya!” Pinta ibu sambil menuangkan air putih ke dalam gelas.

“Arinda sama Kak Riani, Bu?” Tanya Arinda penasaran. Ibu mengangguk.

“Ide bagus, Bu. Riani kangen sama Nenek.” Sahut Riani senang.

“Tapi rumah Nenek jauh, Bu.” Keluh Arinda.

“Nanti kalian naik motor aja biar cepat sampe.” Kata ibu.

“Ta, tapi…” Arinda berusaha menolak. Tapi ucapannya tiba-tiba terhenti.

“Tapi kenapa? Bilang aja malas.” Kata Riani.

“Sudah-sudah. Pokoknya besok kalian harus pergi ke rumah Nenek. Titik.” Kata ibu. Riani dan Arinda tak bisa berkata-kata lagi.

“Ihh, berarti selama perjalanan aku sama Kak Riani terus. Ahh… malas. Nanti pasti ngomel lagi.” Batin Arinda.

ooOoo

Di depan rumah, Arinda sedang memanaskan mesin motor. Dibandingkan kakaknya, Arinda memang lebih jago mengemudikan motor. Tak jauh dari tempat Arinda, Riani sedang membersihkan helm yang kotor. Sedangkan ibu menghampiri mereka sambil membawa hadiah untuk nenek.

“Ih, Arinda jorok banget sih. Masa helmnya banyak debunya.” Keluh Riani.

“Eh, jangan salah. Itu helm mahal tahu.” Kata Arinda.

“Mahal tapi kotor. Sama aja boong.” Kata Riani.

“Sudah-sudah. Kalian ini kapan damainya sih? Ribut terus.” Keluh ibu. Riani dan Arinda diam.

“Yaudah. Riani, ini hadiahnya.” Kata ibu sambil memberikan sebuah kotak yang diikat dengan pita biru muda kepada Riani.

“Wah, emang isinya apa, Bu?” Tanya Arinda penasaran.

“Pastinya sesuatu yang spesial, Arinda.” Kata Riani sambil memakai helm.

“Riani? Arinda?” Tanya ibu.

“Iya.” Jawab Riani dan Arinda bersamaan.

“Kalian harus jaga hadiah ini baik-baik. Pokoknya sebelum sampai rumah Nenek, kalian enggak boleh pulang.” Jelas ibu.

“Waduhh…” Kata Arinda.

“Iya, Bu. Insya Allah.” Kata Riani.

“Ibu do’akan semoga kalian selamat sampai tujuan, ya.” Kata ibu.

“Amiin.” Kata Riani dan Arinda.

“Ayo, Kak. Udah jam 11 nih. Cepat naik!” Kata Arinda. Ia telah siap dengan Motor Mio berwarna hijau muda.

“Kami berangkat ya, Bu. Assalamu’alaikum?” Kata Riani.

“Wa’alaikumussalam. Hati-hati, ya.” Jawab ibu.

Ibu melepas kepergian Riani dan Arinda dengan lambaian tangan. Matanya berkaca-kaca. Keinginannya untuk membuat kedua putrinya selalu damai terbayang-bayang di pikirannya.

“Semoga kalian bersenang-senang, Nak.” Panjat ibu dalam hati.

ooOoo

Jam dua siang. Panas matahari terasa membakar kulit. Ditambah polusi dan asap kendaraan yang mengganggu kesehatan. Sampah yang berserakan di pinggir jalan dan pertokoan.  Jalanan berlubang yang mengancam keselamatan para pengguna jalan. Lantunan lagu dan suara ukulele yang dipetik oleh para pengamen di angkutan umum. Suara tangis anak pengemis di pinggir jalan membuat siang itu terasa menyesakkan dada. Riani yang menyadari hal itu merasa sedih dan prihatin. Di dalam hati ia berdo’a untuk kemakmuran dan keadilan negeri khatulistiwa yang kaya dengan sumber daya alamnya ini.

“Kak?” Suara Arinda mengagetkan Riani yang sedang berdo’a.

“Kenapa?” Tanya Riani.

“Abis ini kita belok kiri atau kanan?” Tanya Arinda.

“Loh, kamu enggak ingat?” Tanya balik Riani. Kaget. Bola matanya melebar.

“Enggak. Kakak ingat enggak?” Tanya Arinda cemas.

“Kakak juga enggak ingat.” Jawab Riani pelan.

“Waduuhh.” Kata Arinda. Kemudian ia menghentikan laju motornya di pinggir jalan.

“Loh, terus gimana nih, Kak?” Tanya Arinda.

“Yee, Kakak kira kamu ingat. Coba deh kita ingat-ingat dulu.” Riani memberi saran. Sejenak mereka berfikir.

“Lewat kiri!” Kata Arinda sambil menunjuk ke arah jalan sebelah kiri.

“Lewat kanan aja!” Kata Riani.

“Aku yakin ke kiri jalannya.” Kata Arinda.

“Tapi Kakak yakin ke kanan aja. Itu jalannya.” Kata Riani.

“Yaudah, kita suitan aja.” Ajak Arinda. Riani mengiyakan. Kemudian mereka bersuitan.

“Tuh, aku jempol, Kakak telunjuk. Berarti aku yang menang. Kita ke kiri.” Kata Arinda senang. Riani menghela nafas.

“Tapi Kakak belum yakin kalo lewat kiri.” Kata Riani pelan.

“Yaudah, bismillah aja, Kak.” Kata Arinda.

ooOoo

Setengah jam setelah mereka memasuki jalan kiri.

“Kak, kok aku ngerasa jalan ini beda.” Kata Arinda.

“Iya, dari tadi Kakak juga perhatiin jalanannya beda sama yang kita lewati dulu.” Jawab Riani.

“Apa kita salah jalan, Kak?” Tanya Arinda cemas.

“Coba kita berhenti dulu.” Pinta Kakak. Arinda kemudian menghentikan laju motor kemudian membuka helm.

“Jalan Marga Bakti. Loh, kita enggak pernah lewatin jalan ini, Kak.” Sahut Arinda sambil melihat papan bertuliskan Jl. Marga Bakti, Kelurahan Kertamaya Tepat di sebelah kiri jalan.

“Berarti kita salah jalan. Yahh… mana udah jauh lagi. Kamu sih!” Keluh Riani.

“Yah, tadi kan aku yang menang. Terus gimana, Kak?” Kata Arinda.

“Hari makin sore. Terpaksa kita balik ke rumah.” Jawab Riani.

“Yahh… tapi hadiahnya belum dikasih ke Nenek.” Keluh Arinda.

“Mau gimana lagi? Tadi Kakak juga bilang, lewat kanan aja.” Kata Riani kesal. Arinda diam dan cemberut. Hening.

“Kita pulang. Kamu ingat enggak? Semakin larut akan semakin berbahaya. Bukan karena jalanan berlubang tapi manusia yang berkeliaran di malam hari. Pencuri, pemabuk bahkan pembunuh.” Jelas Riani. Ia terlihat khawatir.

“Iya. Tapi hadiahnya?” Tanya Arinda.

“Kita antar besok pagi. Kita jelasin sama Ibu. Kakak yakin, Ibu lebih milih kita pulang dari pada kita terus jalan.” Kata Riani. Arinda mengangguk.

ooOoo

Di dalam rumah, ibu mondar-mandir sambil menggigit jari. Khawatir dengan kedua putrinya yang tak kunjung pulang. Sedangkan bapak duduk di kursi sambil berusaha menelepon Riani dan Arinda. Namun tak ada jawaban.

“Aduh… Pak, gimana ini? Riani sama Arinda enggak pulang-pulang.” Keluh ibu.

“Tenang, Bu. Mungkin mereka menginap di sana.” Jawab bapak.

Beberapa menit kemudian Riani dan Arinda sampai di rumah. Rasa takut kini bersemayam dan menghantui benak mereka. Dengan keberanian yang tersisa, Riani mengetuk pintu dan mengucap salam. Sedangkan Arinda berdiri di belakangnya sambil memegang hadiah.

“Assalamu’alaikum?” Ucap Riani.

“Wa’alaikumussalam.” Kata ibu sambil membuka pintu.

“Riani? Arinda? Alhamdulillah… kalian udah pulang, Nak.” Kata ibu sambil menatap Riani dan Arinda. Rasa lelah dan tetesan keringat terlihat jelas di wajah kedua putrinya itu.

“Alhamdulillah, kalian kemana aja? Bapak telepon kok enggak diangkat-angkat?” Tanya bapak penasaran.

“Maaf, Pak. Riani enggak tahu kalo Bapak telepon.” Jawab Riani pelan.

“Tadi kami salah jalan, Pak.” Kata Arinda sambil menunduk.

“Apa? Salah jalan? Lalu hadiahnya?” Tanya ibu penasaran.

“Ini, Bu. Hadiahnya belum kami antar.” Jawab Arinda pelan sambil memperlihatkan hadiah untuk nenek. Ia tak berani melihat wajah ibunya.

“Masya Allah, Nak. Tadi ibu bilang apa?” Tanya ibu. Beliau kaget melihat hadiah yang telah beliau siapkan untuk nenek masih ada di tangan Arinda.

“Kalau kalian salah jalan, lalu jalan mana yang kalian tempuh?” Tanya bapak.

“Jalan kiri, Pak. Masuk ke Jalan Marga Bakti.” Jawab Riani.

“Jalan kiri? Kenapa kalian lewat jalan itu?” Tanya ibu dengan nada suara agak kencang.

“Kami lupa, Bu. Tadi kami sempat berantem karena milih jalan yang beda. Arinda milih jalan kiri. Terus kami suitan dan Arinda yang menang. Jadi kami lewat jalan kiri.” Jelas Riani.

“Kenapa Arinda bisa milih jalan kiri? Tanya ibu sambil menatap Arinda yang masih menunduk. Namun Arinda diam tak menjawab.

“Arinda!” Teriak ibu. Arinda, Riani dan bapak kaget melihat ibu yang mulai mengeluarkan air mata.

“Ibu…” Kata Arinda sambil menangis.

“Bu, jangan salahkan Arinda. Karena hari makin sore, jadi Riani yang minta pulang. Riani sungguh minta maaf, Bu.” Kata Riani.

“Enggak, Bu. Arinda yang salah.” Bantah Arinda.

“Kalian ini, emang selalu ribut. Enggak pernah damai. Kalian ini kakak beradik!” Teriak ibu. Arinda dan Riani hanya diam.

“Sudahlah, Bu. Tenangkan hati ibu. Mereka baru pulang.” Kata bapak mencoba menenangkan hati ibu.

“Maafkan kami, Bu.” Pinta Riani.

“Bu, kalo mereka tetap jalan itu akan membahayakan mereka. Kita semua tahu jalan ke rumah Nenek itu enggak mudah. Banyak kejadian di sana. Terutama pada malam hari.” Jelas bapak. Ibu diam mendengarkan. Kemudian ibu duduk di sofa.

“Tujuan Ibu nyuruh kalian ke sana biar kalian bisa akur. Ibu harap selama di perjalanan kalian bisa belajar bekerja sama. Ibu enggak mau kalian ribut terus. Tapi sepertinya itu enggak berhasil. Kalian belum berubah, Nak.” Jelas ibu pelan. Arinda dan Riani diam mendengarkan.

“Ibu capek mendengar ocehan kalian tiap hari. Sampai kapan ini akan berlangsung? Ibu enggak mau kalian kaya gitu sampai dewasa bahkan setelah menikah.” Tambah ibu.

“Bapak juga sama. Tolong kalian turuti keinginan Bapak sama Ibu. Akan jauh lebih bagus jika kalian selalu damai. Bapak ingin keluarga kita harmonis.” Kata bapak. Riani yang sejak tadi menahan air matanya, kini tak bisa lagi menahannya. Lain lagi dengan Arinda. Ia menangis seperti anak kecil yang kehilangan permen. Tiba-tiba suasana hening.

“Bu, Pak, maafkan Riani. Riani mengaku salah.” Kata Riani memecah keheningan.

“Arinda juga. Arinda menyesal, Bu.” Kata Arinda sambil memeluk ibunya. Air mata  ibu kini semakin deras mengalir di pipinya. Riani juga tidak mau kalah dengan Arinda. Ia memeluk ibu dan mencium tangannya.

“Bu, Riani janji akan berubah.” Kata Riani. Mendengar kedua putrinya berbicara seperti itu, ibu tersenyum. Begitu juga dengan bapak.

“Arinda janji enggak ribut lagi sama Kak Riani.” Kata Arinda.

“Kalo begitu, Ibu pegang janji kalian.” Kata ibu.

“Kakak minta maaf ya, Arinda.” Kata Riani setelah melepas pelukan ibu.

“Arinda juga.” Kata Arinda malu-malu.

“Nah, gitu dong. Ini baru anak Papih.” Kata bapak. Riani, Arinda dan ibu saling berpandangan.

“Papih?” Tanya Riani, Arinda dan ibu bersamaan.

Kemudian mereka semua tertawa. Masalah hadiah untuk nenek sudah tak dipikirkan ibu. Kini ibu telah memaafkan Riani dan Arinda. Hari-hari berikutnya akan menentukan apakah Riani dan Arinda bisa memegang janji mereka atau tidak. Tentunya tanpa ulah Arinda dan omelan dari Riani.

The End

[Siti Muhaira, santriwati kelas 3 jenjang SMA, Pesantren Media]

By Chairunisa Bayu Parameswari

Chairunisa Bayu Parameswari | Santriwati Pesantren MEDIA, angkatan ke-2, kelas 3 SMA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *