Loading

100_4337

Hari ini aku ikut berperan membantu semut-semut lain, mengangkat sepotog roti dan menikmatinya bersama-sama, begitu banyak rasa manis yang kurasakan hari ini, manisnya kehidupan,  dan pengalaman baru yang membuatku tak henti bersykur kepada-Nya.

Mataku berat, bukan mengantuk, tapi karena puas terlelap dalam mimpi, mimpi kosong. Tampil dalam acara Tribute To Rasulullah kemarin siang membuat badanku letih. Pagi ini aku kembali terbangun dengan sedikit latih yang tersisa, karena sebagiannya sudah hilang bersama mimpi kosongku.

Aku keluar kamar dan mendapati jam dinding menunjukan pukul 03:30, setengah empat. Tak seperti biasanya, Kak Farid masih lelap dalam tidurnya. Padahal biasanya jam segini ia sudah terlebih dahulu bangun dariku. Mungkin sama denganku, Kak Farid masih kelelahan akibat ‘Manggung’ di BNR Sabtu Kemarin.

Agar mataku tak merayuku kembali tidur, aku langsung ke kamar mandi, tentunya untuk mandi. Kesegaran air pagi memang terbukti dapat mengsuir rasa kantuk yang sewaktu-waktu dapat mengajak anggota badan lain untuk bermalas-malasan. Dan air seakan tahu apa yang aku butuhkan, kesegaran.

Usai menyegarkan diri, aku membangunkan teman-teman yang lainnya, tidak, mungkin lebih tepatnya membangunkan Kak Farid. Kubiarkan terlebih dahulu temanku yang lainnya untuk melepas lelah.

“Kak Farid, sudah Shubuh!” Begitulah biasanya aku membangunkan Kak Farid, dengan sedikit mengerak-gerakkan tubuhnya.

Kak Farid bangun, dan terkejut saat aku memberitahunya bahwa setelah Shubuh nanti Kami –Aku, Kak Farid dan teman lainnya—harus berangkat ke Kebun Raya Bogor untuk rekaman acara talkshow bersama Wessal TV.

Namun sebelumnya Kak Farid mengira acara itu akan dilaksanakan siang hari, dan aku sendiri baru diberitahu semalam saat Kak Farid Sudah tertidur. Aku tak tahu seberapa kaget Kak Farid saat itu.

Aku dapat melihat kegelisahan dan rasa gugup langsung terpancar dari wajah Kak Farid, dengan terburu-buru langsung saja ia mengambil netbook dan berusaha mempelajari untuk persiapan menjadi presenter nanti.

Singkat cerita, usai Sholat Shubuh kami berenam  –Musa, Hawari, Kak Farid, yusuf, Krisna dan Aku— pun berangkat ke Kebun Raya menggunakan Mobil Panther berwarna biru milik Ustadz Umar. Seperti biasa dan karena hanya dia yang bisa, jadi Musa lah yang menyetir mobil.

Sesampai di tempat tujuan, terlihat pagar Kebun Raya masih tertutup dan Mobil kami pun parkir di depan Kebun Raya, pinggir jalan.

Ustadz Oleh belum terlihat kedatangannya. Dan anggota dari TV Wessal pun nampaknya belum juga datang, kami menunggu di dalam mobil, sambil ngobrol, dan bercanda-canda. Tak lama kemudian, Ustadz oleh terlihat datang bersama kedua anaknya. Kini tinggal menunggu dari pihak TV Wessal.

Menurut Ustadz Oleh, acara ini kira-kira akan berlangsung hingga siang nanti, kami sempat bingung karena setelah Dzuhur nanti Krisna harus pulang ke Pesantren lantaran akan pulang ke Malang, tempat kuliahnya. Dengan berbagai pertimbangan, Akhirnya Krisna  memutuskan untuk pulang ke Pesantren pada saat itu juga. Kami memberitahunya angkot apa saja yang harus dinaiki.

Orang dari pihak TV Wessal masih saja belum nampak, sedangkan perut semakin lapar. Sebenarnya sih tidak ada hubungannya antara kedatangan mereka dengan perutku yang lapar ini. Untuk mengusir atau sekedar mengganjal rasa lapar ini, aku dan beberapa teman yang lain pun membeli gorengan yang dijual di depan Kebun Raya Bogor.

Tak tahu sudah jam berapa saat itu, akhirnya orang yang kami tunggu-tunggu pun terihat sudah datang. Jauh dari bayangan, aku kira akan ada banyak orang dan banyak alat yang mereka bawa, ternyata hanya ada sekitar 3 orang yang membawa beberapa tas. Kemudian ada juga beberapa Ibu-ibu yang aku sendiri tidak tahu, apakah dari rombongan yang sama atau berbeda.

Kami mulai masuk ke dalam Kebun Raya, tidak mau ketinggalan aku terus saja memindahkan pandangan ke kanan dan kiri, mengamati setiap ‘lekukan’ yang kami lewati, melupakan segala keletihan akibat ‘manggung’ kemarin. Dan yang membuatku sedikit heran becampur takjub adalah, ada banyak sekali kucing yang kami temui di dalam Kebu Raya ini. Baru Masuk saja, mungkin ada belasan kucing yang dapat kutemukan, belum lagi setelah masuk ke dalam.

Berada di sekitar pepohonan sejuk ini seakan dapat me-refresh segara masalah, berbagai masalah dapat dijinakkan. Tapi, sepertinya tidak bagi Kak Farid, ia terlihat masih menyimpan pikiran yang berat, menjadi presenter dalam acara TV mungkin menjadi beban yang cukup berat baginya. Tapi aku sendiri tidak tahu, hanya dia yang mengerti kondisinya saat itu. Lupakan itu.

Benar seperti dugaanku, setelah kami lebih jauh lagi menelusuri Kebun Raya ini, ada banyak kucing lagi yang kutemui. Orang disebalhku mengatakan karena sedang musim kawin. Itu terdengar sedikit lucu bagiku, aku baru tahu ternyata kucing juga memiliki musim kawin ya. Untungnya nggak ada musim cerai.

Tak lama berjalan menysuri keindahan Kebun Raya, nampaknya Crue TV wessal ini sudah menentukan tempat untuk syuting episode, di sebelah sebuah kolam kecil, diatas batu-batu yang nampaknya sudah sengaja disusun sejak lama, sehingga terbentuk seperti sebuah pola melingkar.

Dan disitulah pertama kalinya pula aku melihat ada sebuah tumbuhan aneh, ini aneh bagiku karena baru pertama melihatnya, bagi yang sering melihatnya mungkin biasa saja. Aku tidak tahu itu pohon apa, batang pohonnya berbentuk pohon kelapa, sedangkan daunnya seperti daun pohon pisang. Kuputuskan untuk menyebutnya ‘Kelapa berdaun pisang’. Aku sempat membayangkan jika buahnya durian, pasti akan lebih aneh lagi, dan akan kuganti namanya menjadi ‘Kelapa pisang berbuah durian’. Makin panjang aja.

Di atas sebuah batu-batu yang tersusun rapi, di situlah kami syuting acara TalkShow, nama acaranya adalah ‘Salam Remaja’. Kami semua –aku  Kak Farid, Ustadz Oleh, Hawari, Musa, Yusuf, 2 anak Ustadz Oleh dan 3 orang murid ngajinya Ustadz Oleh—pun melingkar di atas susunan batu yang membentuk lingkaran itu. Kak Farid menjadi Pembawa Acara, sedangkan Ustadz Oleh sebagai Narasumber, dan yang lainnya termasuk aku sebagai peserta.

Kami semua mendapat pengarahan dari salah satu fotografer yang akan mengatur jalannya syuting, dan setelah semua posisi siap, syuting pun segera dimulai.

Dengan aba-aba dari salah satu Fotografer, “Camera, roll, Action.” Syuting pun dimulai.

Acara dibuka oleh pembawa acara, Kak Farid. Namun, mungkin karena gugup harus berhadapan dengan camera, rekaman pun beberapa kali harus diulang.

Mungkin butuh waktu bagi Kak Farid untuk menenangkan diri dan menghilangkan kegugupan itu. Karena seorang presenter ibarat jantung dalam setiap acara, begitu juga dengan acara ini. presenter lah yang mengatur jalannya acara sehingga membuat seorang presenter  dituntut harus bisa dan menguasai segala trik untuk menjadi seorang presenter yang baik, minimal dapat membawakan acara sampai selesai.

Sedangkan kami hanya menjadi peserta yang hanya duduk, berlagak menyimak obrolan antara presenter dengan Naraumber, bagiku itu tidaklah berat, bahkan sangat ringan dibanding seorang presenter dan Narasumber.

Beberapa kali diulang, Kak Farid masih saja belum menemukan titik yang tepat, ia masih saja gerogi, gugup, perkataanya berulang kali salah, ‘belibet’, sehingga berulangkali harus diulang. Sudah diulang, ada saja kata-kata yang salah ia katakan. Seperti acara yang seharusnya ‘Salam Remaja’ menjadi ‘Salam Keluarga’. Kak Farid saja bgitu, apalagi aku.

Berulang kali pula sang fotografer menyerukan kata, “cut.” Menandakan adegan harus diulang. Gugup jelas terlihat dari cara bicara Kak Farid.

Tentu saja, radio sangat berbeda dengan rekaman acara TV seperti ini,  dimana harus bertatapan langsung dengan camera dengan banyak pasang mata yang melihatnya. Walaupun Kak Farid lancar bebicara di radio, tapi kali ini ia benar-benar gugup, seperti kehilangan jati dirinya. Ditambah lagi, selain perkataan, ia juga harus memikirkan gerakan tubuhnya termasuk mimik wajahnya untuk meghadapi camera.

Kak Farid mencoba lagi, tapi tetap saja ia masih gugup dan tidak bisa menyelesaikan satu bait pembukaan. Dan “Cut” lagi.  Harus diulang lagi.

Tapi kali ini Kak Farid mulai menyerah, ia menunjuk Hawari, salah satu temanku untuk menggantikannya menjadi presenter. Mungkin Kak Farid sudah kehilangan kepercayaan dirinya, akibat sudah sering diulang.

Dengan sedikit keraguan dan paksaan, Hawari pun mengia dan mencoba untuk menempati posisi Kak Farid sebagai Presenter, sedangkan Kak Farid pindah ke posisi Hawari sebagai penonton sama denganku. Dari raut wajah Hawari, sepertinya tak ada kegugupan dan nampaknya tidak ada sebersit pun wajah gerogi yang tampak dari Hawari, aku sedikit yakin Hawari bisa menjadi presenter dalam acara ini.

“Camera, roll, action!” Aba-aba itu menandakan dimulainya adegan syuting. Dan kali ini yang menjadi preseter adalah Hawari, karena Kak Farid sudah tidak sanggup lagi.

Sesuai dugaan, dalam percobaan pertama, Hawari langsung bisa membawakan acara ini layaknya seorang pesenter, meski masih jauh dengan presenter yang biasa ‘nongol’ di TV, tapi untuk ukuran pemula bagiku sudah cukup bagus. Kata-kata yang keluar dari mulutnya mengalir dengan lancar, hanya sedikit tersendat, namun tak terlihat gugup apalagi gerogi.

Syuting berjalan semakin lancar. Meskipun ada salah-salah di tengah acara, tidak masalah. Karena bisa di ‘cut’ dan diulang kembali, tapi tidak dari awal tentunya.

Aku dan beberapa teman lain berperan sebagai anak-anak remaja yang sedang mengikuti/menonton acara salam Remaha ini. Jadi kami hanya duduk di depan Hawari dan Ustadz oleh yang berperan menjadi narasumber, menyimak obrolan dan diberi kesempatan bertanya pada sekmen kedua dan ketiga. Aku tidak menyia-yiakan kesempatan itu, saat giliran bertanya, aku pun berpartisipasi mengajukan pertanyaan layaknya seseorang yang sedang bertanya pada acara-acara di Televisi.

Tak terasa, syuting ini berlangsung hingga kami menyelesaikan satu episode yang terdiri dari 3 sekmen. Mungkin jika syuting berjalan dengan lancar, tidak butuh waktu lama seperti ini untuk menyelesaikan satu episode. Maklumlah, penglaman pertama. Banyaknya adegan yang harus diulang membuat sedikit terhambat sehingga membutuhkan waktu lebih lama.

Tapi Alhamdulillah, meskipun dengan waktu yang cukup lama, kami berhasil menyelesaikan satu episode. Tapi masih ada beberapa episode lagi yang harus kami selesaikan.

Kami istirahat sejenak, melihat-lihat keadaan Kebun Raya yang semakin dipenuhi pengunjung, Pengunjung yang rela datang jauh-jauh hanya untuk menikmati keindahan ciptaan Allah ini. matahari semakin naik, dan pengunjung pun tak kalah naik, semakin banyak dan terlihat Berlalu lalang melewati jalan sambil mengamati keindahan ciptaan Allah ini. Wajar, ini hari Minggu, tak heran jika Kebun Raya begitu ramai. Meski aku sendiri tidak pernah tahu keadaan kebun raya pada hari-hari biasa, tapi aku yakin pengunjug hari ini bisa dibilang banyak di banding dengan hari-hari biasa.

Saat itu kebun raya terlihat seperti sepotong roti yang tergeletak di lantai, menjadi daya tarik ratusan semut, kemudian dikerumuni oleh banyak semut yang berusaha menggotong dan membawanya ketempat yang lebih aman sehingga mereka dapat menikmatinya dengan tanpa gangguan. Menikmati manisnya rasa.

Waktu istirahat selesai, kami pindah tempat, mencari tempat lain untuk syuting episode selanjutnya. Dan di bawah sebuah pohon besar yang amat tinggi dan rindang, disitulah tempat syuting selanjutnya. Aku sempat membaca nama pohon itu. ‘Pohon Kapok’.

Setelah ganti baju, kami semua siap dalam posisi duduk masing-masing. Kali ini kami tidak duduk di atas batu lagi, melainkan di atas akar-akar besar yang kuat menyangga ‘Pohon Kapok’ itu. Jika pada syuting episode pertama tadi Ustadz Oleh yang berperan menjadi narasumber membahas mengenai ‘tato’ dengan judul ‘Emang Keren, Kalo di Tato’. Kali ini pembahasan yang diangkat Ustadz Oleh adalah mengenai ‘Sex on Valetine Day’.

“Camera, roll, action!” Syuting kembali dimulai.

Dan nampaknya pada syuting episode yang kedua ini, berjalan jauh lebih lancar dibanding saat pertama tadi, pada sekmen partama saja tidak ada terdengar suara atau mungkin tepatnya perintah ‘cut’ dari sang fotografer.

Dan pada sekmen kedua seperti biasa, kami yang berperan sebagai peserta acara ‘salam remaja’ ini kembali diberi kesempatan bertanya, dan tak mau ketinggalan aku pun berpartisipasi kambali. Lumayan lah ikut berbicara. Rugi dong kalo nggak bicara di Televisi. Kapan lagi masuk TV.

Pengunjung Kebun Raya terlihat semakin penuh, dan jalanan pun semakin ramai. Tatkala membuat konsentrasiku sedikit terganggu, karena terkadang saat syuting berlangsung, tanpa sadar aku malah melihat pengunjung yang sedang berlalu lalang, dan kemudian kembali sadar dan berusaha konsentrasi lagi dan tetap berlagak seperti orang yang sedang menyimak obrolan.

Syuting episode dua pun selesai dengan waktu yang lebih cepat dari yag pertama tadi, Hawari sudah semakin matang dalam membawakan acara dibanding dengan yang pertama tadi, sehingga tidak banyak adegan yang harus diulang. Bahkan fotografer menyerukan kata ‘cut’ hanya pada saat akan yang bertanya, itu pun sekedar untuk memindahkan posisi camera agar dapat meng-shoot secara Close Up kepada yang sedang bertanya, termasuk aku.

Dua episode telah usai, tentu lelah, dan lapar tak terelakkan lagi. Memang tidak berat, tapi kalian juga harus tahu, sejak pagi tadi kami belum makan, hanya makan beberapa butir gorengan yang dibeli di depan Kebun Raya. Tapi sebentar lagi akan terobati, karena kali ini kami dipersilahkan makan terlebih dahulu, nasi kuning sudah dipersiapkan.

Tak perlu menunggu lama, langsung saja kulahap dengan cepat. Seperti orang yang sudah lama tidak makan nasi. Makan nasi terasa sangat nikmat dikala sedang lapar, lebih nikmat lagi sambil memandangi indahnya Kebun Raya.

Semut-semut itu kini semakin banyak, semakin memenuhi sekeliling roti, dan dengan tujuan sama tentunya, melepas segalanya sekedar untuk menikmati manisnya rasa, keindahan, dan pengalaman.

Sudah kenyang, kami kembali melakukan syuting untuk episode ketiga. Dan kembali mencari tempat lain untuk melakukan syuting ini. Sambil mencari tempat yang pas, sekalian melihat-lihat pemandangan lagi. Banyak tumbuhan aneh yang kutemui, aneh karena jarang kulihat.

Dan akhirnya kami pun sampai di sebuah rumah kecil, aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Mungkin pondok, gubuk atau saung. Rumah kecil yang tak berdinding, hanya beratap. Sebut saja saung, disitulah lokasi syuting yang ketiga.

Kami ganti baju lagi, dan bersiap-siap dengan mengambil posisi duduk, kemudian mendengarkan pengarahan sebentar.

“Camera, roll, action!” Syuting kembali dimulai.

Kali ini Ustadz oleh mengambil tema ‘Ketika Idola Jadi Berhala’. Dan Masih sama, Hawari yang menjadi Presenternya, kini ia semakin lancar dan semakin dapat menyesuaikan suasana. Tak ada terdengar lagi seruan ‘cut cut cut’ dari Fotografer. Berjalan lancar.

Dan untuk episode ketiga ini, aku kembali berpartisipasi untuk mengajukan pertanyaan. Rasanya aku berambisi sekali untuk bertanya, tak tahu mengapa. Mungkin karena aku ingin di shoot menggunakan camera lebih dekat atau mungkin ada alasan lainnya, hanya Allah dan akulah yang tahu.

Dan untuk menyelesaikan episode yang ketiga ini tidak membutuhkan waktu yang lama, tak ada kesalahan yang terjadi. Itu karena kami sudah semakin terbiasa, semakin matang dan hampir sudah bisa diangkat dari panci pemasak.

Usai episode yang ketiga, kami pun langsung ke masjid terdekat untuk Sholat Dzuhur, Adzan baru saja selesai berkumandang. Dan Usai Sholat Dzuhur nanti kami berencana langsung pulang, karena Ustadz Umar sudah meminta kami agar pulang.

Kewajiban 4 Rakaat sudah selesai kami laksanakan. Dan kini tiba saatnya kami pulang, meninggalkan ‘sepotong roti’ yang indah ini. Meski semut-semut lain masih terlihat menikmati manisnya roti ini, kami tetap harus pulang.

Aku Bersyukur sekali hari ini, bisa masuk ke Kebun Raya dengan Cuma-Cuma, dapat uang jajan dari pihak TV Wessal yang lumayanlah, makan gratis, dan juga bisa nongol di ‘layar kotak’. Tak Masalah jika tidak ada yang nonton, yang penting pengalaman baru telah kudapatkan. Karena pepatah mengatakan ‘pengalaman adalah guru terbaik’. Experience is the best teacher.

Kami pulang dengan langkah lambat, karena tak mau segera meninggalkan tempat ini. Perlahan-lahan, agar mata ini dapat lebih lama menyaksikan kuasa Allah.  Dapat lebih menikmati ‘sepotong roti’ yang akan segera kami tinggalkan.

Hari ini 3 Februari takkan kulupakan.

[Ahmad Khoirul Anam, santri angkatan ke-2 jenjang SMA, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis feature di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By Farid Ab

Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1 jenjang SMA (2011) | Blog pribadi: http://faridmedia.blogspot.com | Alumni Pesantren MEDIA, asal Sumenep, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *