Loading

Aku berhenti didepan gerbang begitu melihat daun-daun yang berguguran dari halaman sekolah, entah kenapa tiba-tiba saja aku menyukai daun yang gugur. Tapi sayangnya aku belum pernah merasakan yang namanya musim gugur, kalau dipikir-pikir aneh juga kalau di Indonesia tiba-tiba ada musim gugur. Bukan hanya aneh, tapi juga malas karena aku pasti disuruh menyapu halaman setiap hari.

Baru saja aku melangkah memasuki gerbang yang warna hitamnya mulai pudar, tiba-tiba saja Arum berlari ke arahku, wajahnya yang pucat semakin membuatku merinding. Arum pun langsung bersembunyi dibelakangku, menjadikanku tameng.

“Kenapa sih Ar?”tanyaku heran, kepala Arum langsung menyembul dari belakang tasku.

“Gak tau If, tiba-tiba aja ada orang aneh muncul tadi malem. Sekarang dia malah ngejar-ngejar aku.”

“Wah..kalau gitu aku enggak bisa bantu Ar, pasrah aja.”jawabku sambil tersenyum jahil.

“Ifa! Aku serius nih, eh..itu orangnya! Itu yang pake jaket merah!”seru Arum histeris.

Begitu aku menoleh kearah yang ditunjuknya, Arum langsung berlari masuk ke sekolah meninggalkanku. Sendiri. Tapi mataku tidak bisa lepas dari sosok yang mengejar Arum, begitu pun sosok itu. Kami sama-sama mengalami deja vu.

4 tahun yang lalu..

Aku menggenggam tangannya erat, buliran-buliran air mata sudah membasahi pipiku sejak 10 menit yang lalu. Kutatap wajahnya dengan ekspresi memelas, tapi dia hanya tersenyum walaupun air matanya sebenarnya mengalir lebih deras.

Gomen ne?” ujarnya lirih, bahkan nyaris tidak terdengar.

“Kenapa sekarang Mi-chan?”tuntutku agak kesal, dia menggeleng lemah.

Gomen Fa-chan..”dalam sedetik tangan kami terlepas, Mi-chan berbalik dan berjalan menjauh.

Saat aku hendak meraih tangannnya Kak Dias langsung memegang pundakku, saat aku menoleh dengan perasaan kesal Kak Dias menggeleng sorot matanya tajam menatapku. Aku menyerah.

“MI-CHAN SAYOUNARA!!”seruku keras, melepaskan semua emosiku yang kutahan. Dia tidak menoleh. Kugigit bibir bawahku, menahan tangis.

Aku langsung tersadar begitu mendengar suara bel, tanpa menoleh lagi ke arah sosok itu aku bergegas berlari pergi. Dalam pikiranku hanya terbayang sosok tinggi besar, Pak Dul yang tidak akan segan-segan menghukum siapapun yang terlambat masuk. Untung saja kemarin aku bisa mencari alasan yang bagus walaupun sebenarnya kurang masuk akal.

Sayangnya begitu aku mau berbelok melewati ruang lab aku melihat punggung Pak Dul, spontan saja aku langsung mengerem lariku dan bersembunyi di belokan. “Hampir aja..”aku langsung menghela nafas panjang.

“Hampir aja kenapa Ifa?”tanya seseorang disebelahku. Aku tersentak, suara ini terlalu mudah diingat.

“Maaf Pak, saya harus pulang!”aku pun berlari kembali sebelum tertangkap.

Begitu melewati gerbang yang ternyata masih terbuka, aku berbelok kearah kiri. Aku langsung merebahkan diriku disebuah bangku yang tersembunyi diantara pohon-pohon. Jika aku pulang ke rumah, umi pasti akan mulai tausiyah lagi dan tentu saja aku tidak boleh ikut pergi ke bazar buku. Sejujurnya ini pertama kalinya aku bolos sekolah dan entah kenapa perasaanku tidak tenang.

Jika dibandingkan dengan Kak Dias, aku masih termasuk tipe anak yang rajin tapi sayangnya selalu tidak beruntung sementara Kak Dias selalu bolos tapi anehnya otaknya selalu encer. Itu sebabnya Kak Dias suka mengangguku dengan memainkan musiknya dikamarku, padahal Kak Dias sudah mulai semester 4 dikuliahnya.

Kak Dias suka sekali main musik tapi umi sebenarnya melarang Kak Dias main musik, walaupun begitu Kak Dias hanya menganggap umi bukan ‘melarang’ tapi ‘belum merestui’. Semakin sering aku bertanya alasan Kak Dias suka bermain musik, semakin sering juga aku mendapatkan senyuman lebar sebagai jawabannya. Aku pun berhenti bertanya. Sebal.

“Fa-chan? Etto..Falna?”aku langsung bangkit untuk melihat orang yang memanggil namaku.

“Mi-chan? Kamu beneran Mi-chan?”tanyaku terpana, gadis itu tersenyum, “Ohayou..

Aku langsung memeluk gadis itu melepas rindu. Mi-chan hanya tertawa melihat tingkahku yang cukup kekanak-kanakan untuk gadis berumur 16 tahun. Tanpa kusadari air mataku sudah berkumpul disudut mataku, yang membuat mataku terlihat berkaca-kaca.

“Maaf tadi aku langsung pergi, soalnya aku takut telat.”mohonku.

“Ah..enggak kok, tapi kok kamu enggak sekolah?”tanya Mi-chan, dahinya mengerut. Heran.

“Yaa..gitu deh hehehe..”balasku sambil cengengesan. Mi-chan menggeleng-geleng sambil tersenyum.

“Kamu belum berubah ya Fa?”tanya Mi-chan tiba-tiba saat aku mengambil tasku.

“Berubah kok..sekarang aku udah SMA.”balasku asal, “Bukan gitu neng..”kilah Mi-chan.

Are? Neng? Sejak kapan..”, Mi-chan langsung memotong ucapanku.

“Ibuku kan orang Sunda asli..”jawab Mi-chan sambil berjalan.

Aku memegang daguku, mengingat. Ah..benar juga yang dari Jepang hanya ayahnya Mi-chan, ibunya asli orang Cianjur. Tiba-tiba saja aku teringat kata-katanya Arum.

“Mi-chan, kamu kemarin ngapain sama Arum?”Mi-chan menoleh heran.

“Sebenernya aku cuma mau nyapa Arum soalnya aku pindah lagi kerumah yang dulu dan ternyata kamu sudah pindah rumah saat aku tanya ke bundanya Arum.”

“Iya..soalnya abiku cari rumah yang deket kantor.” Mi-chan mengangguk-angguk. Paham.

“Tadi pagi pas aku mau nanya ke Arum rumahmu dimana, dia langsung lari makannnya aku langsung ngejar dia. Aku baru sadar kalau dia bener-bener lupa sama aku.”tambah Arum.

Kami berdua langsung tertawa, sepertinya Arum benar-benar lupa dengan Mi-chan. Padahal 4 tahun yang lalu kami bertiga bertetangga, bahkan sekolah ditempat yang sama. Aku melirik Mi-chan sekilas, jelas saja jika Arum tidak mengingat Mi-chan karena sekarang Mi-chan sudah berubah. Sesuai harapanku 4 tahun yang lalu.

Mi-chan langsung menaikkan satu alisnya begitu melihat aku tersenyum lebar kearahnya, wajahnya yang oval sekarang terbalut selembar kain berwarna putih. Terlihat serasi sekali dengan jilbab coklat putihnya.

“Hmm..wakatta! Kamu merhatiin perubahanku ya?”tanya Mi-chan sambil tersenyum puas.

“Iyalah..soalnya kelihatan banget, kok bisa?”tanyaku heran.

Wakaranai..wakaranai koto you na.”balas Mi-chan sambil menyanyi.

Are? Itu kan lirik penutup dari..”, Mi-chan mengangguk, “Anime kan?”tanyanya, aku langsung tertawa.

“Hati-hati loh Fa, nanti kamu bisa-bisa jadi otaku beneran loh..”tegur Mi-chan sambil memasang ekspresi ‘mengancam’.

“Iya, iya…tapi kamu juga masih suka kan?”godaku, Mi-chan langsung memalingkan wajahnya.

“Hohoho..ternyata! Oke deh, aku juga ditegur umiku sih gara-gara anime.”celetukku

Mi-chan langsung menatapku matanya berbinar-binar, “Sama dong..ditegur gimana?”

“Kamu boleh nonton, tapi inget tugas sama kewajiban-kewajiban yang harus segera dilaksanakan. Masih banyak kegiatan yang lain, jangan didepan laptop terus kamu mau matamu tambah minus sama silinder lagi? Umi juga enggak mau kamu jadi keterusan suka sama apa namanya? Anira? Pokoknya itu lah..kalau sampe kamu keterusan suka umi buang laptop kamu.”

Aku langsung tertawa melihat ekspresi Mi-chan, matanya mengerjap-ngerjap. Bingung. “Nanti lagi deh ceritanya, sekarang kerumahku!”Mi-chan langsung menarik tanganku, menyusuri jalan. Mungkin lain waktu aku akan mengingatkan Arum dengan Mi-chan, tetangga kami 4 tahun yang lalu.

Kupandangi langit biru yang tergores memanjang oleh awan, saat itulah aku manyadari ceritaku belum selesai. Bahkan mungkin jauh dari selesai, karena ini hanya prolognya. Kisah antara gadis campuran Jepang yang menginginkan perubahan, gadis polos dan ceroboh yang menjadi ketua rohis, dan aku, gadis berkacamata yang suka anime namun berusaha menebarkan kebaikan.

-To be continued-

 

#ZulfanaK (Nama pena Zulfa AR santri akhwat 1 SMA Pesantren Media)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *