Loading

Lima tahun berlalu begitu cepat. Tak terasa, masa-masa SMA terlewati begitu saja. Tanpa meninggalkan segaris pun bekas. Hanya ada setumpuk kenangan dan rasa rindu yang meluap-luap.

Arial dan Mahesya tak pernah saling sapa setelah kejadian beberapa tahun silam. Keduanya seolah larut dalam rasa trauma pada jatuh cinta. Keduanya memilih untuk tak berjumpa, agar tak semakin mengakar rasa sakit akan saling kehilangan. Keduanya berusaha untuk menjalani hidup sebagaimana mestinya. Menjadi manusia normal yang seolah tak gentar oleh apapun, meski hati keduanya begitu rapuh.

Mahesya memilih melanjutkan dunia pendidikannya pada sebuah universitas negeri di Bandung. Astronomi menjadi jurusan yang dipilih oleh penggila ilmu perbintangan itu. Sedang Arial, memilih untuk melanjutkan studinya di Kairo. Masa-masa jauh dari Mahesya, membuatnya jauh lebih dekat dengan Tuhan penciptanya. Ia mulai aktif di rohis dan mengikuti beberapa kajian pada sebuah lembaga dakwah. Itu membuatnya memilih tafsir Al-Qur’an sebagai jurusan perkuliahannya.

Tidak banyak yang Arial tahu tentang Kairo. Sebatas negeri Sungai Nil yang terik, disesaki dengan mahasiswa-mahasiswa dari Indonesia yang mengambil studi di Al-Azhar. Selain itu, Arial tak tahu lagi. Arial juga tidak terlalu paham dengan Bahasa Arab. Ia pun heran, mengapa Al-Azhar menerima calon mahasiswa dengan nilai agama tak terlalu tinggi, dan kemampuan bahasa arab cetek sepertinya.

“Assalamu’alaikum. Excuse me. May I give some question?” Arial menyapa seorang pria dengan wajah asia yang duduk pada bangku bis di sebelahnya. Ia menoleh,

Aywa. Anta min Endonesi?[1] Eh…”

“Bang Dzaki?”

“Arial?”

“Masya Allah!” Keduanya hampir serempak, lalu berpelukan.

“Bagaimana kabarmu, Ar?” Pria bertubuh pendek dengan kacamata tanpa frame itu menepuk-nepuk bahu Arial. Arial tersenyum haru.

“Alhamdulillah. Tidak pernah lebih baik dari sekarang, Bang. Bagaimana kabar Abang?”

“Alhamdulillah, Ar. Kini aku sudah dikaruniai dua mujahid dan satu syahidah. Aku sedih sekali ketika kehilangan data-data tentangmu. Padahal, aku ingin sekali mengundangmu di acara walimahku.”

“Subhanallah… Bukan masalah kalau tidak diundang, Bang. Asalkan, saya tetap kebagian pajak walimahnya ya?” Arial tertawa. Begitu juga dengan Dzaki.

“Eh, ngomong-ngomong sudah menikah sejak kapan, Bang?”

“Alhamdulillah, sudah semenjak empat tahun yang lalu. Kalau tidak salah, kamu mengenal istriku. Karena waktu SMA, dia satu kelas denganmu.” Dzaki memperbaiki letak kacamatanya.

“Abang menikah dengan adik kelas? Luar biasa!” Arial geleng-geleng.

“Iya. Mahesya Ridwan. Anak kelas sebelas-IPS-satu. Kamu kenal kan? Dia sangat anggun, Ar. Bahkan ketika kami sudah memiliki tiga anak. Kapan-kapan, kamu harus mampir ke rumahku. Dia pandai sekali memasak. Aku baru tahu, ada wanita bule…”

Suara Dzaki seolah menghilang. Ruang udara hanya terisi dengan suara detak jarum arloji, nafas yang terburu, detak jantung yang terpacu, dan suara-suara yang membangkitkan memoar masa abu-abu. Kairo seolah membisu.

*

Mahesya merapatkan jaket Levis-nya. Bandung tengah memasuki musim hujan. Hawa dingin seolah tak memberi hawa panas kesempatan untuk hadir di tengah-tengah umat manusia. Mahesya kembali melirik arlojinya. Ia sudah terlalu resah untuk berada di dalam ruang kelas. Mendengarkan dosen baru mengenalkan diri, memang sesuatu yang sangat membosankan.

Handphone Mahesya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari ‘Oma’.

“Maaf, Pak. Saya ada keperluan sebentar.” Mahesya menunjuk handphone mininya. Pria di depan kelas itu mengangguk seraya tersenyum.

“Assalamu’alaikum, Oma. Ada apa?” Mahesya melangkah ke luar kelas. Sengaja ia memelankan suaranya.

“Walaikumussalam. Demam Langit semakin buruk, Sya. Bisa kamu pulang sekarang? Atau, mau minta tolong pada Hendra saja? Mama bisa menjaga Langit untukmu.” Suara ibu kandung Mahesya itu menandakan kekhawatiran yang berakar.

“Masya Allah. Tolong suruh Pak Hendra mengantar Langit ke rumah sakit ya, Oma. In sha Allah Mahesya akan segera menyusul.”

“Baiklah. Angkasa dan Pelangi biar Mama titipkan di rumah Tante Sarah ya… Assalamu’alaikum.”

Sambungan terputus.

Mahesya segera kembali ke bangkunya. Gina mendapati wajah sahabatnya itu tengah kalut.

“Ada apa, Sya?”

“Demam anakku semakin tinggi, Gin. Aku sangat khawatir…” Firasat gadis bule itu semakin tak baik. Gina menggigit bibir bawahnya seraya mengelus punggung sahabatnya itu.

Sudah sebelas hari anak sulung Mahesya menderita penyakit demam. Banyak dokter yang telah didatanginya. Namun obat-obat dari mereka tak bisa membantu menurunkan demam yang diderita Langit. Mahesya sengaja tak memberi kabar pada suaminya, karena ia takut kabar tersebut akan mengganggu studi suaminya di luar negeri.

“Ya, karena saya masih dosen baru di sini. Bagaimana kalau saya memberikan kalian sedikit kelonggaran di hari pertama saya mengajar?”

Suasana kelas berubah cerah. Gerio menciptakan hangat di tengah musim hujan Bandung.

“Baiklah, saya rasa cukup perkenalan singkat saya hari ini. Selamat siang!”

Mahesya buru-buru memasukan kertas-kertas serta perlengkapan menggambar ke dalam drawing tube-nya. Dibantu Gina yang akan mengantarkannya ke rumah sakit. Langkah Mahesya dan Gina terhenti.

“Siapa namamu?” Gerio mendekati Mahesya dengan antusias. Dosen muda itu memang terlihat sangat tampan dibalut dengan kemeja hitam yang masih terlihat bekas lipatannya.

“Mahesya Ridwan, Pak.” Mahesya melirik Gina dan Gerio secara bergantian. Gina menaikkan sebelah alisnya.

“Oh… Tidak usah memanggil saya dengan panggilan ‘bapak’. Umur saya tidak terlalu jauh di atasmu. Panggil saja dengan panggilan ‘Kak’, atau apa saja yang Mahesya inginkan.” Gerio memperbaiki letak jam tangan Swiss yang tersemat pada pergelangan tangan kirinya.

“Maaf, Pak. Teman saya sedang buru-buru.” Gina angkat bicara, ketika menyadari ada sesuatu yang tak beres.

“Oh… Apa yang bisa saya bantu untuk, Mahesya dan…” Gerio melirik Gina dengan senyum yang dibuat-buat.

“Gina.”

“Dan Gina?” Lanjut Gerio.

“Maaf, Om. Anak saya sedang sakit. Saya harus segera menyusulnya ke rumah sakit. Kalau tidak keberatan, boleh Om Gerio tidak berdiri di depan pintu seperti ini? Karena ini sangat menganggu pengguna jalan.” Mahesya memutar bola matanya. Gina tersenyum menang. Gerio mengangguk kikuk, seraya membuka jalan untuk keduanya. Air muka Gerio berubah menjadi merah padam.[] Bersambung…

[1] Tentu saja. Kamu dari Indonesia?

[Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, angkatan ke-2, kelas 12]

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

One thought on “Secangkir Senja Untuk Sore #2”

Tinggalkan Balasan ke Secangkir Senja Untuk Sore #2 | Cerpen Islami Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *