Loading

Seperti yang ditulis di Ensiklopedia Columbia, sepeda berasal dari Perancis. Menurut sejarah, negara itu sudah mengenal alat transportasi beroda dua pada abad ke-18. Tapi, alat transportasi itu bernama velocipede.

                Baron Karls Drais von Sauebronn, bekerja sebagai kepala pengawas hutan Baden, Baden ini adalah bekas negara di Jerman Barat Daya. Ia membutuhkan saran transportasi dengan gerakan tangkas yang tinggi. Ia dicatat sebagai penyempurna velocipede. Tapi model yang dikembangkannya tampak seperti, antara sepeda dan kereta kuda. Hingga masyarakat menjuluki ciptaan Baron sebagai Dandy Horse.

Sampai, seorang dari Perancis bernama Ernest Michaux menyempurnakannya dengan membuat pemberat engkol, hingga laju sepeda lebih stabil. Makin sempurna setelah orang Perancis lainnya, memperkuat roda dengan menambahkan lingkaran besi di sekelilingnya. Tapi, kali ini saya tidak membahas tentang sepeda. Melainkan, pengalaman saya dan sepeda.

Ketika saya berumur empat tahun, saya sudah bisa mengendarai sepeda butut saya yang beroda empat. Saat itu,  saya sangat gemar sekali mengendarai sepeda. Walaupun, itu hanya sepeda butut yang sudah diperbaiki oleh bapak saya.

Sampai pada di suatu sore hari, tepatnya pada bapak saya pulang kerja. Dengan baju dinasnya, bapak menggendong saya, “Caca mau sepeda baru?” Ujar bapak.

Saya yang berada di gendongan bapak saya, menangguk-anggukkan kepala.

“Mau!” Teriak saya dengan riang.

“Cium Bapak dulu.” Tanpa berpikir panjang lagi saya langsung mencium pipi bapak saya dan memeluknya erat.

Saya, bapa dan ibu berangkat ke sebuah toko sepeda yang menjual bermacam-macam sepeda. Dari yang kecil hingga yang besar. Mata saya tertuju pada sepeda cantik berwarna ungu tua beroda empat yang terletak di tengah-tengah sepeda lain. Dan sepeda itu kini sudah saya kendarai, berkeling-keling rumah sambil mendengarkan musik yang diputar bapak saya. Setiap ada orang yang berkunjung kerumah saya. Saya selalu berkata “Caca sudah bisa naik sepda!” Teriak saya, sambil mengedarai sepeda itu berkeliling rumah dengan gaya seorang pengendara sepeda yang handal.

Setiap hari minggu, saya selalu mengajak bapak saya untuk mengelilingi komplek rumah saya. Hingga, akhirnya saya merasa sudah bisa mengendarai sepeda itu hanya dengan dua roda. Saya meminta bapak saya untuk melepaskan roda tambahan itu. Tapi, bapak saya hanya melepaskan satu roda tambahan saja.

“Roda sepedanya satu dulu saja yang dilepas. Nanti, kalo Caca sudah sangat pandai. Bapak akan melepaskan roda yang satunya lagi.” Kata bapak saya yang sedang sibuk melepas roda sepda saya. Saya menuruti perkataan bapak saya. Saya selalu menaiki sepeda ungu itu apabila saya tidak sekolah.

Hingga akhirnya saya bisa mengendarai sepeda itu hanya menggunakan  satu roda. Saya sangat senang sekali. Berkali-kali saya terjatuh dari sepeda, lutut dan siku saya selalu menjadi korban. Tapi, itu semua tidak membuat saya jera. Saya selalu mengendarainya dan mengendarainya. Sampai saya kelas satu sekolah dasar, saya tetap mengendarai sepeda ungu itu. Bedanya sekarang saya tidak jatuh lagi mengendarai sepeda. Saya sudah bisa menjaga keseimbangan saya ketika mengendarai sepeda.

Ketika itu, saya sedang ulangan akhir semester. Sepeda ungu butut saya, diletakkan ibu saya di atas balkon. Yang di balkon itu ada gudang. Apabila, ingin ke atas balkon itu saya harus menaiki tangga kayu yang rawan jatuh. Ibu saya melarang untuk menaiki tangga itu. Tapi, saya tetap menaiki tangga itu walupun hanya melihat sepeda ungun tua itu.

“Sepeda Caca di simpan di atas dulu. Nanti, kalo selesai ulangan dan mendapat peringkat di kelas. Ibu dan bapak akan menurunkan sepeda itu.” Ujar Ibu . Semenjak itu saya berlajar dengan rajin. Bahkan, saya rela tidak ikut jalan-jalan bersama keluarga besar untuk belajar membaca dan menghitung. Belajar di atas meja kursi hadiah( merk susu).

Hari itu datang, hari di mana pembagian rapor. Saat itu saya berdo’a dan berdo’an agar mendapat peringkat. Tidak apa-apa saya menjadi peringkat ketiga, asalkan saya bisa mengendarai sepeda lagi.

“Kelas satu A. Peringkat ketiga jatuh kepada Machrita Sri Cahyanti.” Ibu wali kelas saya. Mata saya sudah berkaca-kaca. Saya sudah menduga saya tidak akan bisa mengendarai sepeda itu lagi.

“Peringkat kedua jatuh kepada Saknah Reza Putri.” Saat mendengar itu saya merasa tidak percaya. Ibu saya langsung memeluk saya. Saya membalas pelukan itu.

“Ibu, Caca boleh naik sepeda lagikan?” Ucap saya. Ibu saya mengangguk-anggukkan kepalanya dan mencium kepala saya. Saya pun naik ke atas panggung yang di sediakan.

“ Yang terakhir. Peringkat pertama jatuh kepada Muhammad Helmi Fadilah.”

Sesampainya di rumah, saya langsung meminta ibu saya untuk menurunkan sepeda saya. Saya langsung mengendarainya mengelilingi rumah dan berkata kepada kakak ibu saya, yang saya panggil Ina.

“Ina, Caca bisa naik sepeda lagi. Tapi, bannya kempes.” Ucapku turun dari sepeda itu.

By Putri Aisyara

Saknah Reza Putri | Santriwati Pesantren MEDIA angkatan ke-2, kelas 3 SMP | Asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan | Twitter @PutriAisyara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *