Loading

“Kak, kita perlu bicara”

Kakak hanya menatapku dengan alis terangkat dan tetap melanjutkan langkahnya.

“Kak, aku janji ini bukan tentang mereka, Tuhan, dan kebahagiaan lagi.”

Kakak menatapku tak yakin, lalu menghentikan langkahnya. Aku menghela napas lega.

“Ayo bicara.”

“Hmm, tentang surat di laci meja kakak yang tidak sengaja aku baca. Apa benar kakak-?” Lidah ku terasa kelu. Rasanya sulit sekali mengucapkan kalimat terakhir tadi.

Kakak menatapku nyalang. “Jadi, kamu sudah tahu, Vera?” Pelan, kakak berkata sangat pelan, seperti bisikan.

Aku mengangguk. “Tapi, aku tidak baca semuanya kok. Hanya sebagian.” Tambahku cepat.

“Oh. Bagus kamu sudah tahu. Jadi, aku tak perlu menjelaskan susah payah lagi padamu.” Kakak melangkah keluar rumah dan membanting pintu rumah.

Aku tahu pasti, kakak tidak terima dengan keadaan seperti ini. Dengan cepat, aku mengeluarkan ponselku dan menghubungi Riani.

“Rin, ke sini, ya? Aku tunggu.”

Aku berjalan ke dapur dan membuatkan minuman serta mengelurkan cemilan dari kulkas, lalu membawanya ke halaman depan. Sekitar 10 menit kemudian, Riani sudah duduk di hadapanku.

“Kenapa, Ver? Udah nyerah? Cepat banget. Sayang loh kalau kamu nyerah sekarang, kan perjuangan kamu udah ba..”

“Siapa bilang udah nyerah?” Aku segera memotong perkataan Riani, sebelum ia berkoar-koar tak jelas.

“Kirain. Jadi, kenapa aku di panggil ke sini?” Riani mencomot kue di depannya.

“Rin, makasih sudah mau datang. Aku sekarang mengerti. Aku sudah tahu, Rin, apa yang dimaksud Kak Revan dengan kebahagiaan itu. Dan, ya, aku mengerti sekarang.” Aku susah payah mengucapkan kalimat tadi dan berusaha menahan air mataku.

Aku menyodorkan amplop yang kutemukan di kamar Kak Revan. Riani menatapku dengan alis berkerut, lalu mengeluarkan kertas di dalamnya dan mulai membaca.

Riani terkesiap, lalu membekap mulutnya dengan tangan kirinya yang bebas. Tiba-tiba tubuhku di tarik, dan kini aku sudah berada dalam pelukan Riani.

“Tidak perlu di tahan, Ver. Nangis saja, keluarin semua beban kamu. Kamu tahu aku akan selalu ada untukmu, dan kamu yang paling tahu, bahwa sekarang aku lah yang paling mengerti dirimu.”

Dan aku tak dapat menahannya lagi. Tangisanku pecah. Seolah, mengerti diriku, siang itu cuaca berubah mendung. Tetes-tetes air hujan mulai membasahi bumi. Ikut mewakili perasaanku.

***

Malam itu, aku duduk di sofa ruang tamu. Menunggu Kak Revan pulang dari kantor. Pandanganku tak bisa lepas dari arah luar yang belum memunculkan tanda-tanda kehadiran Kak Revan. Aku bernapas lega, ketika sebuah mobil berjalan memasuki gerbang dan berhenti di depan rumah. Dari dalam sana, keluarlah sosok Kak Revan.

Aku bergegas membuka pintu rumah. Kak Revan tampak lelah, ketika memasuki rumah dan melewatiku begitu saja. Wajar saja, sekarang sudah menunjukkan pukul 12.30. Apa selama itu Kak Revan bekerja?

Kak Revan sempat terhuyung saat menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua. Dari sini, dapat kulihat Kak Revan meringis dan memijit kepalanya. Kak Revan kembali melanjutkan langkahnya dengan pelan sembari memegang pegangan tangga untuk naik ke atas. Aku segera mengikuti di belakangnya.

“Kak,” Aku menghentikan langkah kakak yang akan masuk ke kamarnya.

“Ada apa?” Tanyanya pelan. Tangan kanannya memegang kenop pintu, sedangkan tangan kirinya kini memijit pelipisnya.

“Kau tahu kau bisa mengandalkanku kan? Bahkan dalam kondisi sulit sekalipun, karena aku saudaramu. Orang terdekatmu. Orang yang paling pantas untuk kau bagi suka dan dukamu. Satu-satunya orang yang saat ini paling mengerti dirimu. Dan saat kau membagikan dukamu ataupun masalahmu padaku, aku yang akan berdiri di depanmu, untuk melindungimu dari kesedihanmu. Serta saat kau bahagia, atau telah mencapai sesuatu yang sudah kau impikan, aku yang akan berlari pertama kali dan memelukmu, ikut merasakan kebahagiaanmu. Dan orang paling bangga atas dirimu. Karena aku saudaramu, Kak. Orang yang paling mengenal dirimu.”

Kakak segera memutar kenop pintu dan masuk ke kamarnya. Kak Revan sama sekali tidak membalas perkataanku. Padahal, aku berharap, dengan berkata begitu, kakak bisa mempercayaiku untuk membagi kisahnya padaku. Tidak menyimpannya seorang diri seperti ini.

[Hanifa Sabila, santriwati jenjang SMP angkatan ke-2, Pesantren Media]

By Hanifa Sabila

Hanifa Sabila | Santriwati angkatan ke-2 jenjang SMP, kelas 2 | @hanifasabila21 | Asal Kabupaten Agam, Sumatera Barat

One thought on “Salahkah Tuhan? #7”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *