Loading

Aku berjalan menuju dapur, berniat membuatkan segelas teh panas untuk Riani yang menunggu di depan. Tapi, saat aku berbalik, aku menemukan sosok Kak Revan yang berdiri di depan pintu dapur dengan mata yang menatapku dingin. Ku kuatkan diriku. Pertahanan yang telah ku buat, tak akan hancur hanya dengan tatapannya yang seperti itu.

“Oh, masih di sini? Ku kira sudah pulang.” Ia berjalan menjauh dariku dan masuk ke dalam sebuah ruangan.

Aku manarik napas, lalu mengambil teh panas yang kubuat tadi dan membawanya menuju ruang tamu.

“Ini Riani, semoga kamu tidak bosan menungguku.” Aku mengangsurkan gelas berisi teh tersebut ke dekat Riani.

“Tak masalah Vera. Jadi, bagaimana?” Aku tau sekarang bukanlah waktu yang tepat. Tapi, tak ada cara lain, aku harus memberitahu Riani.

“Sepertinya, aku harus tinggal di sini untuk sementara waktu. Kak Revan satu-satunya keluarga intiku yang tersisa. Aku harus meluruskan semuanya. Kami tidak mungkin hidup dengan keegoisan kami yang seperti ini. Dia belum mengerti. Bukan, bukan belum. Tapi, tidak mau mengerti. Aku mulai bingung sekarang, Rin. Rasanya ingin menyerah saja. Biar kehidupan Kak Revan berjalan tanpa campur tanganku. Aku ingin Kak Revan lebih dewasa, dan dapat menentukan sikapnya.”

Aku menutup muka dengan kedua tangan. Mungkin sebagian orang akan menganggap ini adalah yang sepele. Tapi, tidak. Ini menyangkut kebahagiaan yang sering di singgung-singgung Kak Revan di setiap pembicaraan kami.

Ya, memang benar. Ini menyangkut kebahagiaan kami. Dan jika masalah ini selesai, mungkin kebahagiaan ku saat ini –yaitu Kak Revan, akan kembali bersikap normal padaku. Bukan bersikap, selayaknya kami tidak saling mengenal.

“Kalau memang itu keputusan yang benar. Apa boleh buat? Aku hanya bisa mendukungmu. Semoga berhasil, Vera. Kalau begitu, aku pulang sekarang, ya?”

“Iya, hati-hati di jalan. Terimakasih untuk semuanya, Rin.” Aku menggenggam tangannya sebelum ia keluar dan menghilang dari pandanganku.

Aku kembali naik ke lantai atas, masuk ke dalam kamar Kak Revan. Pandanganku mengitari kamar tersebut dan memutuskan untuk membersihkannya. Walau kamarnya kelihatan rapi-rapi saja, tak ada salahnya untuk mengecek dahulu. Siapa tahu, ada sampah di bawah kolong tempat tidur, lemari baju yang berantakan, atau laci meja yang penuh dengan barang tak berguna. Siapa yang tahu, kan?

Saat ingin membersihkan laci meja, aku hanya menemukan sebuah amplop berwarna putih yang sudah di robek ujungnya. Ku keluarkan kertas di dalamnya dan mulai membaca. Aku menatap kosong ke arah kertas di tanganku. Pikiranku mulai melayang ke mana-mana. Apa ini yang di maksud dengan ‘kebahagiaan’ yang disinggung Kak Revan?

Pandanganku mulai kabur oleh air mata yang mengenang di pelupuk mataku. Aku mengembalikan amplop tadi ke dalam laci dan bergegas keluar. Saat di pintu, aku berpapasan dengan Kak Revan yang akan masuk ke kamarnya.

“Sedang apa kau di kamarku?”

“Ah, ti..tidak. Aku tadi hanya ingin mencarimu di dalam. Tapi, ternyata kau tidak ada. Ja..jadi, aku langsung keluar.”

Matanya memicing curiga. Ingat, kami saudara, dan dia tahu pasti kebiasaanku saat berbohong. Mataku berkeliaran tak tentu arah, yang pasi tidak menatap lawan bicaraku. Tanganku berkeringat dingin dan aku akan gugup saat berbicara.

Kak Revan masuk ke dalam kamar, dan aku bergegas meraup udara dengan rakus.

***

“Kak, kita perlu bicara”

[Hanifa Sabila, santriwati jenjang SMP angkatan ke-2, Pesantren Media]

By Hanifa Sabila

Hanifa Sabila | Santriwati angkatan ke-2 jenjang SMP, kelas 2 | @hanifasabila21 | Asal Kabupaten Agam, Sumatera Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *