Loading

Perempuan itu menatap jauh melintasi deretan pohon pisang yang menua melalui bingkai jendela kamarnya. Ketika beduk mulai di tabuh dan azan berkumandang utuh, dadanya kian bergemuruh. Dicengkeramnya tirai lusuh nan berdebu di hadapannya, lalu direnggutnya dengan sekali betotan.

Seketika tirai yang hanya dikaitkan pada seutas tali rafia itu terlepas dan perempuan itu terjengkang di bawah kain lusuh nan berdebu itu.

Berisik yang di timbulkan perempuan itu mengusik seorang bayi mungil dari mimpinya. Bayi merah itu terbaring di atas ranjang reot dengan kasur yang telah kehilangan kehangatannya. Bayi itu mulai merengek. Mula-mula suaranya terdengar lembut. Namun merasa tiada tangan-tangan penuh kasih yang menyentuh kulit halusnya, suaranya mulai mengeras hingga menyakitkan gendang telinga.

Perempuan itu beringsut ke pojok ruangan dan bergeming di sana. ia duduk sembari memeluk lutut. Menulikan telinga. Bola matanya bergerak-gerak gelisah. Sesekali matanya melirik jam dinding yang tergantung miring di hadapannya. Ia nyaris gila menatap angka-angka yang tersusun di dalam penunjuk waktu itu.

Ah! Sekali saja dalam hidupnya ia menginginkan, angka 9 tidak tertera di sana.

Braakk!!

Pintu di dorong paksa. Seorang lelaki bersarung menerobos masuk dan langsung meraih bayi itu dalam rengkuhannya.

“Ya ampun Mirna, mbok ya disusuin,” si lelaki menatap gusar perempuan di pojok ruangan. Bayi merah dalam rengkuhannya terus menangis. kini suaranya menyerupai ratapan.

Yang di ajak bicara menatap si lelaki dengan hampa. Tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya.

Si lelaki bergidik. Ngeri melihat wajah bergejolak milik perempuan yang menemaninya hampir 2 tahun ini.

Dengan hati-hati, si lelaki merunduk dan mengulurkan tangan untuk menyentuh pundak perempuan itu. “Apakah kau baik-baik saja, Mirna?” tanyanya lembut.

Mirna, perempuan itu, mendongak untuk menatap tepat di bola mata lelaki yang tak lain adalah suaminya itu. Matanya dipenuhi gejolak emosi.

“Tidak,” jawab Mirna, menggelengkan kepala sementara air mata mulai bergulir menuruni kulit pipinya yang gelap.

“Aku sakit. Sangat sakit.” Desisnya.

Si lelaki menarik napas. Mengisi rongga dadanya dengan udara. Tiba-tiba saja ia merasa oksigen yang bergumul di udara menurun.

“Sudahlah. Semua akan baik-baik saja,” hiburnya yang ia tujukan untuk istri dan dirinya sendiri.

Tak ada jawaban. Mirna membeku.

Si bayi sudah tidak menangis. mungkin ia kelelahan. Hanya lidahnya berdecap-decap menandakan ia sedang dilanda dahaga.

“Mirna, susuilah ia. Ia sangat haus.” Bujuknya lembut sembari menatap wajah tanpa dosa yang ada dalam dekapannya.

Mirna menatap tajam suaminya. “Tidak.” desisnya. “Jangan menyiksaku. Jangan biarkan ia memiliki ikatan batin denganku.”

“Tapi, Mirna, ah…” si lelaki mendesah panjang. Ia kehabisan kata-kata. Ada setetes cairan bening yang tertahan di pelupuk matanya.

Kini, giliran si lelaki yang dilanda gelisah. Ia terduduk di samping istrinya. Tubuhnya bergetar. Jari jemarinya meremas kuat rambut ikalnya hingga buku-buku jarinya memutih. Bayi merah yang masih berada di dekapannya, ia peluk erat hingga terlihat kepayahan bernapas. Ia benar-benar frustasi.

Mirna menatap nanar suaminya. Rasa iba menyeruak tiba-tiba. Tidak. Ia tak pantas menghukum suaminya dengan semua kejadian ini. Semua ini benar-benar karena keadaan. Benar-benar karena keadaan.

Mirna menarik napas panjang, menenangkan diri.

Perlahan, ia mengulurkan tangannya. Diremasnya pundak suaminya. Si lelaki terdongak. Ada segaris senyum terukir di bibir si lelaki, saat Mirna meminta bayi merah itu dengan isyarat dagunya.

Canggung, saat Mirna merengkuh sang bayi dalam dekapannya. Ia tampak tak biasa menggendong seorang bayi. Atau ia tak mau membiasakan diri?

Ajaib! Sang bayi yang baru berumur 1 hari, yang sebelumnya masih mengatupkan mata itu, tiba-tiba mengerjap. Matanya perlahan terbuka. Layaknya bayi yang sudah mampu melihat, tatapannya tertuju pada satu arah. Ya, satu arah. Tepat pada wajah Mirna.

Tidak berhenti sampai di situ, tangan kanan sang bayi tiba-tiba terulur. Lalu, jari-jemarinya yang mungil, menyentuh lembut wajah kelam dan gelisah di hadapannya.

Sontak, Mirna tergeragap. Jiwa keibuan berdentum-dentum di dadanya. Tidak bisa tidak –ia mulai menyadari—ia sangat takut kehilangan bayi merah itu.

Gemetar Mirna saat memberikan apa yang diinginkan sang bayi. Awalnya sang bayi tampak kebingungan. Ia belum terbiasa. Namun saat mengetahui itulah sumber makanannya, segera saja bayi berkelamin perempuan itu, rakus menghisap cairan colostrum yang belum mengalir sempurna.

Runtuh sudah airmata Mirna. Berderai-derai airmatanya saat merasakan bagaimana kasarnya lidah sang bayi. Jujur, ia ingin merasakan sensasi ini. Lagi, dan lagi.

Sementara sang suami, di tempatnya bersimpuh, matanya nanar menatap keintiman itu.

Jam berdentang 9 kali.

Mirna dan suaminya hampir saja terlelap saat bunyi jam dinding tua itu membangunkan mereka.

Mirna dan suaminya saling menatap. Hawa dingin tiba-tiba saja menyergap wajah mereka. Rasa frustasi dan gelisah membaur, membentuk ketakutan yang menyesakkan. Ini bukan ketakutan biasa. Ini adalah rasa takut kehilangan.

Terdengar bunyi suara mesin mobil di matikan di depan rumah mereka. Terhuyung si lelaki saat bangun dari duduknya. Tergesa ia melangkah menuju raung tamu dan membuka pintu depan.

“Mirna…Pak Arif sudah datang.” itu suara panggilan terlembut yang pernah Mirna dengar dari Mas Jarwo, suaminya. Namun saat ini, panggilan itu bagai dentuman meriam yang meluruhkan persendiannya.

Mengapa jam itu berdentang 9 kali? Sesalnya dalam hati.

Terseok langkahnya saat beranjak keluar kamar. Digigitnya bibirnya hingga nyaris berdarah. Bayi yang berada dalam dekapannya terguncang oleh tubuhnya yang bergetar.

Mirna berjalan sambil menunduk. Sempat diliriknya lelaki yang duduk berhadapan dengan suaminya. Lelaki itu usianya sekitar 40 tahun. Berkemeja batik dengan celana pentolan hitam yang terlihat necis. Rambut lurusnya disisir ke belakang. Ia terlihat biasa saja meski duduk beralas tikar lusuh yang tepinya sudah berserabut.

Sesaat Mirna terbayang bagaimana lelaki itu meminta ia menjaga janinnya baik-baik. Ia juga  masih mengingat  dengan baik, bagaimana lelaki itu berpesan berulang kali agar ia selalu makan-makanan bergizi.

Lelaki itu kini tersenyum, menatap hangat bayi dalam dekapan Mirna. Tapi bagi Mirna, itu adalah seringai kemenangan.

“Pak Arif sendiri saja? Tidak bersama Bu Mahairani?” tanya Jarwo berbasa-basi sambil melirik istrinya yang kini duduk di sisinya dan tersenyum kaku.

Pak Arif, lelaki yang dimaksud tersenyum kelam. Matanya berkabut.

“Istri saya sudah meninggal, Pak. Kecelakaan.” Desahnya getir. Tangannya mengusap rambutnya resah.

Jarwo  dan istrinya terpana. Merasa iba dengan nasib lelaki di hadapan mereka. Seorang lelaki yang hidup tanpa dikaruniai seorang anak pun. Dan kini harus kehilangan istrinya.

Sejak belia, ia pernah bekerja bertahun-tahun lamanya dengan Pak Arif. Pak Arif dan Bu Mahairani memperlakukannya begitu baik. Sayang keluarga baik itu harus pindah ke Jerman.

Jarrwo yang saat itu hatinya telah tertambat oleh Mirna, memutuskan untuk tidak turut serta. Ia memilih pulang kampung dan menikah. Setelah menikah, Jarwo tidak memiliki apa pun untuk menafkahi istrinya. Pekerjaannya sebagai kuli panggul, benar-benar tak cukup untuk biaya kehidupan mereka.

Setahun kemudian, Mirna hamil, bertepatan dengan kedatangan majikannya ke Indonesia. Demi sejumlah uang dan keinginan agar anaknya tumbuh di keluarga yang mampu, Jarwo menawarkan bayinya kepada Pak Arif dan Bu Mahairani.

Mantan majikannya yang tak jua mendapatkan momongan itu, tentu menyambut dengan senang hati. Bahkan dengan antusias telah memberi uang muka saat usia kandungan Mirna 3 bulan.

Ingin rasanya Jarwo bertanya banyak hal pada mantan majikannya itu. Tapi lidahnya kelu. Tak ada kata yang keluar dri tenggorokannya “Oh, eh, maafkan saya, Pak.” Jarwo merasa bersalah.

“Tidak apa-apa.” Senyum Pak Arif. Matanya kembali menatap bayi mungil dalam dekapan Mirna.

“Ia sangat cantik.” Sergahnya. Matanya menelusuri wajah sang bayi. Kulit bayi itu bersih, hidungnya mancung, matanya bulat jernih, bibirnya mungil, dan terdapat bulu-bulu halus pada lengannya. Mirna menunduk jengah.

“Maaf Jarwo, Mirna, kalau begitu langsung saja ya. Enam bulan yang lalu saya sudah beri uang mukanya 20 juta. Berarti kekurangannya 40 juta.” Pak Arif berkata sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat yang besar dan tebal. Amplop itu ia letakkan di hadapan suami istri di depannya.

Seketika dada Jarwo berguncang. Tangannya berkeringat dingin. Terbayang sepetak tanah yang bisa ia beli dengan uang itu. Tanah itu akan ia tanami umbi dan sayuran sehingga ia tak perlu khawatir akan nasib dapurnya kini.

Jarwo melirik istrinya dan terkejut akan reaksi yang ditunjukkan Mirna. Di bibir Mirna, tersungging sebuah senyuman sinis. Dan mata itu, oh, mata Mirna berkilat. Ada luka yang dalam di sana.

Seolah tak merasakan gejolak yang dialami Mirna, Pak Arif memberi isyarat dengan tangannya, agar bayi itu diserahkan padanya.

Mirna menyerahkan bayi itu dengan pilu. Oh, perihnya rasa kehilangan itu.

Begitu bayi itu berada dalam dekapannya, Pak Arif tersenyum. Matanya meredup saat menatap sang bayi.

“Lihatlah bayi ini, ia benar-benar lemah.” Pak Arif mendongak, menatap wajah-wajah lunglai di hadapannya. “Meski seorang bayi, ia adalah sosok merdeka. Kalian tak berhak meperjualbelikan kehidupannya.”

Yang diajak bicara luar biasa terkejut. Mereka menatap Pak Arif dengan bingung.

Pak Arif mengangguk. Meyakinkan pendengaran sepasang suami istri di hadapannya.

“Selama 3 bulan ini, setelah kematian istri saya, untuk mengisi kesendirian, saya banyak mengikuti kajian keislaman. Saya sadar keputusan saya membeli anak kalian itu salah.” Ia menarik nafas panjang.

Hening. Jarwo dan Mirna kehilangan kata-kata.

“Jangan pernah menganggap kehadiran anak akan membawa pada kemiskinan. Juga janganlah kemiskinan membuat Jarwo dan Mirna kehilangan hati nurani.”

Suara Pak Arif yang tenang dan bersahaja, menggetarkan hati sepasang suami istri itu. Hati mereka berdesir. Jarwo menunduk dan merasakan darah mengalir ke arah pipinya. Sementara Mirna, isaknya sudah terdengar sedari tadi.

“Jika keputusan kalian menjual bayi ini karena merasa hutang budi terhadap saya, sungguh, itu tidak sebanding. Harta berupa anak jauh lebih mahal.”

Jarwo menelan ludahnya. Mirna isaknya mulai reda. Rasa syukur tidak jadi kehilangan bayi pertamanya, kini memenuhi ruang hatinya.

Pak Arif menyerahkan kembali bayi itu kepada Mirna yang menyambutnya dengan suka cita.

“Silahkan uang itu Pak Jarwo gunakan untuk membeli sepetak sawah seperti cita-cita Pak Jarwo. Anggap saja itu uang pesangon Bapak selama bekerja dengan saya.” Tandasnya.

Jarwo tak mempercayai pendengarannya. Airmata kini turut pula membasahi pipinya. Rasa malu berbaur haru, memenuhi rongga dadanya.

Ia beringsut mendekati Pak Arif. Tangannya yang gemetar meraih tangan lelaki itu. Pak Arif segera menarik tangannya ketika ia melihat gelagat Jarwo yang ingin mencium tangannya. Ia segera bangkit.

“Jarwo, Mirna, tolong jaga anak kalian baik-baik. Oya siapa namanya?” Pak Arif menunjuk bayi mungil itu.

Hening. Jarwo dan Mirna saling berpandangan. Tiba-tiba terlintas sebuah nama.

“Mahairani. Pak.” Jawab mereka serempak.

Pak Arif tergugu. Sedetik kemudian senyumnya mengembang, sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu.

Bogor, 20 Maret 2013

[Wita Dahlia, ‘santriwati kalong’, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis cerpen, dan menjadi bagian dari tugas menulis di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

 

 

By anam

Ahmad Khoirul Anam, santri angkatan ke-2, jenjang SMA di Pesantren Media | Blog pribadi: http://anamshare.wordpress.com | Twitter: @anam_tujuh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *