Loading

                Pagi ini cuaca sangat cerah. Jam tujuh pagi matahari sudah menyinari bumi dengan sinarnya. Ciptaan Allah yang terbentuk dari gas helium dan nitrogen ini sangat bermanfaat bagi kehidupan di bumi. Untuk menjemur pakaian, membantu proses fotosintesis tumbuhan, dan lain-lain. Langit biru dengan taburan awan di sekelilingnya menambah suasana pagi menjadi indah. Kicauan burung gereja yang bertengger di dahan pohon jati. Semilir angin pagi berhembus dengan lembutnya bagaikan mengelus dedaunan. Di dalam kelas, Naurah sedang duduk di bangkunya sambil menikmati suasana pagi lewat jendela kelas. Ia tak bisa menahan bibirnya untuk mengucap ‘Subhanallah’. Maha Suci Allah. Sebuah kalimat yang pantas untuk memuji kebesaran Allah. Sang pencipta dari semua yang ada di alam semesta ini. Naurah pun terkagum-kagum.

Di tengah kekagumannya, tiba-tiba Naurah kaget karena ada yang menepuk pundaknya. Kemudian ia melihat ke arah belakang.

“ Assalamu’alaikum?” Sapa orang yang tadi menepuk pundak Naurah.

“ Wa’alaikummussalam.” Jawab Naurah sambil tersenyum. Lesung pipit di kedua pipinya tercetak manis. Dengan kacamata berwarna coklat muda di bagian frame-nya. Kerudung putih yang menjulur dari kepala hingga ke dada yang ia pakai. Dan jam tangan berwarna biru muda yang terpasang di lengan kanannya.

Ternyata yang tadi menepuk pundaknya adalah Najwa, sahabat Naurah. Hana dan Jihan, sahabat Naurah yang lain juga ada di samping Najwa. Mereka bertiga baru sampai di kelas.

“ Ngapain, Naurah? Pagi-pagi ko udah bengong?” Tanya Hana penasaran.

“ Nggak, siapa juga yang bengong? Orang aku lagi liat burung. Itu burungnya.” Jawab Naurah santai sambil menunjuk ke arah pohon jati yang ada burung gereja di dahannya. Hana, Najwa dan Jihan melihat ke pohon itu. Kemudian ketiga sahabat Naurah baru percaya dengannya.

Selain Hana, Najwa dan Jihan, Naurah memiliki dua sahabat lagi. Mereka adalah Darin dan Haifa.   Naurah bersama kelima sahabatnya sekolah di MAN 5 Bandung kelas XI A. Di sekolah inilah, mereka menuntut ilmu dan saling mengenal. Sudah 1,5 tahun mereka sekolah di sini dan selama itu juga menjalin persahabatan.

Naurah as-Syifa atau biasa dipanggil Naurah adalah gadis berusia 16 tahun. Ia berasal dari keluarga yang sebagian besar berprofesi sebagai pengusaha. Termasuk ayahnya. Di sekolahnya, Naurah dikenal sebagai pribadi yang rajin, jujur dan lumayan pintar. Ia menyukai pelajaran matematika, sejarah Islam dan bahasa. Sekarang ia sudah lancar berbahasa Arab dan Inggris. Selain itu, Naurah suka sekali dengan bunga dan makanan. Berbagai macam bunga terutama yang warnanya mencolok disukainya. Mawar, melati, anggrek dan masih banyak lagi. Kalau soal makanan, Naurahlah yang paling fanatik dibanding kelima sahabatnya. Dari makanan tradisional sampai modern. Tapi yang paling disukainya adalah makanan tradisional Indonesia. Secara, Indonesia kaya akan kulinernya. Bener, nggak?

Kelima sahabat Naurah memiliki sifat dan kesukaan yang berbeda-beda. Hana adalah tipe gadis pemalu dan yang paling kalem. Sifatnya ini mewarisi sifat ibunya. Tapi di balik sifat ini, Hana adalah sosok yang optimis dan kritis. Setiap ada masalah selalu ditelitinya dengan penuh pertimbangan. Apakah sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Tak heran, Naurah dan yang lainnya kagum dengan sifat Hana itu.

Najwa Sabiha adalah gadis yang tegas dan menyukai apa saja yang berbau seni dan fotografi. Mulai dari desain, dekorasi dan seni Islam. Dia juga yang paling cerewet. Najwa senang berpetualang ke tempat yang belum pernah ia datangi. Pengetahuan akan letak dan keadaan suatu tempat ia kuasai. Walaupun tidak semua. Baginya, yang paling penting adalah tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memotret. Bakat seorang fotografer sudah ada padanya sejak usia 9 tahun. Banyak koleksi foto yang dimilikinya. Biasanya, ia suka menunjukan koleksinya itu kepada sahabatnya.

Sedangkan Jihan sangat menyukai pelajaran ekonomi. Kebetulan, di sekolahnya ia diajarkan ilmu ekonomi Islam. Jihan pandai berhitung dan menganalisis. Kadang, Naurah dan sahabatnya yang lain suka meminta bantuannya untuk menghitung uang. Jihan adalah anak tunggal dari Pak Ibrahim, seorang direktur Bank BNI Syariah. Kehidupannya yang sangat tercukupi tidak membuatnya lupa kepada orang yang kurang beruntung. Penampilan sederhana, dermawan dan cantik itulah Jihan. Namun, jauh di lubuk hatinya Jihan sangat merindukan sosok bundanya. Dua tahun lalu, beliau telah wafat.

Sahabat Naurah ada juga yang kakak beradik. Mereka adalah Darin dan Haifa. Walaupun kakak beradik, sifat mereka sangat jauh berbeda. Darin adalah kakak Haifa. Ia adalah tipe gadis yang suka dengan musik, dunia kejurnalisan dan budaya. Banyak tulisan dan karya sastra yang telah ia buat. Sebagian besar karyanya sudah terbit di beberapa majalah dan surat kabar. Ia juga bisa bermain alat musik dan suaranya merdu.

Berbeda dengan Haifa. Haifa adalah anak yang periang, pandai memasak, dan gombalis. Ia terkenal paling lucu dan humoris. Naurah dan yang lain sering dibuat tertawa karenanya. Usianya hanya berbeda 1 tahun dengan kakaknya. Haifa juga senang dengan fashion dan mode. Tapi tetap syar’i. Cita-citanya adalah menjadi pengusaha butik muslimah. Keahliannya dalam memasak tidak diragukan lagi. Ia pandai membuat kue dan berbagai macam makanan dan minuman. Karena kepandaiannya ini, Naurah sering memintan Haifa untuk mengajarinya memasak. Dan hal itu dilakukan Haifa dengan senang hati.

“ Hana, mana Darin dan Haifa?” Tanya Naurah kepada Hana setelah melihat burung gereja.

“ Sepertinya mereka belum datang.” Jawab Hana pelan.

“ Paling, mereka telat lagi. Secara, kakak beradik itu kan sering ribut kalo pagi.” Sambung Najwa dengan nada menyindir. Ia selalu heran dengan Darin dan Haifa. Setiap pagi mereka ribut hanya karena sarapan. Soal sarapan, Darin tidak mau kalah dengan adiknya. Mungkin karena yang membuat sarapan pagi adalah ibu mereka. Ibu Darin dan Haifa sangat jarang menyiapkan sarapan pagi karena mengurusi Kalila. Kalila adalah adik bungsu Haifa dan Darin.

“ Sssssst… nggak boleh gitu!” Bisik Jihan kepada Najwa.

“ Eh, lihat! mereka datang.” Sahut Naurah sambil menunjuk ke arah pintu kelas. Dilihatnya Darin dan Haifa baru datang. Kakak beradik itu menghampiri Naurah, Hana, Najwa dan Jihan.

“ Hai, assalamu’alaikum?” Sapa Darin dan Haifa secara bersamaan. Dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan. Kerudung mereka sedikit berantakan. Mungkin karena tadi mereka berlari.

Wa’alaikummussalam.” Jawab Naurah dan yang lain. Terlihat Najwa mengeluarkan sesuatu dari dalam ransel hijau tuanya.

“ Eh, ukhti coba lihat! Ini adalah koleksi fotoku yang baru.” Pinta Najwa.  Ternyata ia  mengeluarkan koleksi foto terbarunya. Dua hari lalu Najwa pergi ke Yogyakarta untuk menjenguk neneknya yang sedang sakit. Dan pastinya sempat jalan-jalan untuk memotret.

“ Gimana bagus kan?” Tanya Najwa dengan percaya diri. Naurah, Hana, Darin, Haifa dan Jihan langsung melihat foto-foto miliknya.

“ Loh, ini kan Malioboro.” Kata Haifa setelah ia mengambil satu foto dari puluhan foto milik Najwa.

“ Ini Pantai Parangtritis. Ih aku pengen ke sana.” Sahut Jihan dengan semangat.

“ Wis, ini Kaliurang yang ketinggiannya 900 meter di atas permukaan laut. Sudah lama aku pengen ke sana. ” Kata Darin. Ia tak mau kalah. Ternyata Darin juga suka pergi ke tempat yang tinggi dan sejuk khas pegunungan seperti Kaliurang.

“ Asik… fotonya bagus nih. Pasar Beringharjo, surganya batik di Yogyakarta.” Sambung Hana. Ia kagum dengan foto yang satu ini. Foto hasil jepretan Najwa yang sangat bagus. Diambil dari angle yang berbeda-beda.

“ Iya, mulai dari batik Yogyakarta, Solo dan Pekalongan ada di sana.” Jelas Najwa kepada Hana.

Sedangkan Naurah sedang asik melihat sebuah foto yang kelihatannya membuat ia tertarik. Kemudian ia mendekati Najwa.

“ Naj, ini rumah makan?” Tanya Naurah kepada Najwa. Raut wajahnya tampak serius dan penasaran.

“ Oh, iya itu restoran. Namanya Mediterranea Restaurant by Kamil. Tempatnya bagus tapi harganya selangit. Mulai dari Rp 49.000 – 149.000.” Kata Najwa. Waktu ke Yogyakarta ia sempat mampir ke restoran itu.

“ Emang masakan apa yang ada di sana?” Naurah lanjut bertanya. Rasa penasaran makin menggebu-gebu dalam hatinya.

“ Emm, masakan Prancis dan Mediterania.” Jawab Najwa santai.

“ Pantes mahal.” Sahut Jihan tiba-tiba dari belakang Naurah dan Najwa. Membuat mereka kaget. Beberapa detik kemudian mereka diam. Naurah memperhatikan lagi foto yang sejak tadi dipegangnya. Wajahnya semakin serius.  Sedangkan Jihan dan Najwa merasa heran.

“ Naurah, kamu tertarik dengan foto itu?” Tanya Jihan kepada Naurah. Naurah masih saja melihat  ke arah foto Mediterranea Restaurant.

“ Menurut kalian?” Naurah balik bertanya. Ia menatap mata kedua sahabatnya itu. Najwa dan Jihan beradu pandang dan merasa heran plus bingung. Naurah melanjutkan kembali melihat foto restoran itu. Menyadari Jihan dan Najwa tampak bingung, Haifa, Hana dan Darin mendekati mereka. Kemudian sahabat Naurah saling beradu pandang dan memperhatikan Naurah yang serius melihat foto.

“ Aha, aku punya ide.” Kata Naurah tiba-tiba. Ia mengagetkan kelima sahabatnya. Naurah sendiri juga kaget karena baru menyadari kelima sahabatnya sedang memperhatikannya.

“ Loh, kalian kenapa?” Tanya Naurah bingung.

“ Eh, justru kami yang harus bertanya itu, Naurah. Kamu yang kenapa?” Tanya Darin. Namun, Naurah hanya tersenyum.

“ Oh, jadi kalian dari tadi merhatiin aku?” Naurah kembali bertanya. Sahabatnya tidak ada satu pun yang menjawab. Naurah tambah bingung. Tapi sahabatnya justru lebih bingung.

“ Ukhti, setelah melihat foto ini aku kefikiran gimana kalau kita bikin restoran?” Tanya Naurah tiba-tiba. Sontak kelima sahabatnya kaget. Mereka menatap tajam Naurah. Sedangkan Haifa hanya tersenyum sambil menggigit pena miliknya. Sepertinya ia tahu maksud Naurah.

“ Apa? Restoran?” Tanya Najwa.

“ Iya, restoran.” Naurah mengiyakan. Sementara kelima sahabatnya masih bingung.

“ Yang bener, Naurah?” Tanya Jihan tak percaya.

“ Iya, beneran. Serius. Suwer deh!” Jawab Naurah semangat. Ia berusaha meyakinkan sahabatnya.

“ Tapi kenapa kita bikin restoran?” Hana ikut bertanya. Ia makin bingung dengan apa yang diucapkan Naurah tadi.

“ Sebenarnya ada beberapa alasan sih. Pertama, karena restoran di daerah kita sangat jarang. Kalian ingat, hanya ada dua restoran di kota ini. Itu juga harganya sangat mahal. Sehingga hanya kalangan ataslah yang bisa ke sana. Nah, Ini adalah peluang bisnis yang bagus. Aku ingin kita bikin restoran yang harganya terjangkau untuk masyarakat. Siapa pun boleh ke tempat kita. Kedua, karena aku melihat bakat dan potensi kalian masing-masing. Aku ingin kita semua mengambil peran sekaligus menjadi pendirinya. Haifa kan jago masak, cocok jadi kokinya. Hana kritis dan optimis kayanya cocok jadi penasehat. Darin di bagian promosi, Najwa yang ngedesain restoran, dan……” Naurah berhenti bicara karena Jihan memotong pembicaraannya.

“ Dan aku di bagian keuangan!” Sahut Jihan dengan semangat. Ia yakin dengan ucapannya itu. Dan Pasti Naurah akan menyetujuinya. Karena memang dialah yang paling pandai dan cepat menghitung uang. Jadi cocok.

“ Ya, betul!” Sahut Naurah.

“ Lalu Naurah jadi apanya?” Tanya Haifa kepada sahabat-sahabatnya.

“ Mmm, Naurah yang jadi  manager-nya aja. Gimana?” Usul Najwa sambil melihat satu per satu sahabatnya. Ia tak sabar menunggu jawaban dari mereka.

“ Setuju!” Jawab Hana, Haifa, Jihan dan Darin serentak. Sedangkan Naurah hanya diam melihat sahabatnya itu.

“ Aku tertarik dengan bisnis ini. Naurah memang cocok jadi manager.” Kata Jihan.

“ Aku juga. Sepertinya rencana ini bagus.” Tambah Najwa. Akhirnya Kelima sahabat Naurah sepakat dengan rencananya. Naurah tersenyum dan senang. Lesung pipit di kedua pipinya kembali tercetak manis.

“ Kapan bisnis ini kita mulai?” Tanya Haifa kepada Naurah.

“ Ya dari sekarang.” Jawab Naurah santai. Haifa dan yang lain bingung.

“ Apa? Jadi sekarang bikin restorannya?” Tanya Hana penasaran.

“ Bukan, maksudku mulai dari sekarang kita ngumpulin uang untuk biaya bangunnya.” Jelas Naurah.

“ Kenapa nggak pake uangku aja, Naurah?” Kata Jihan.

“ Nggak, aku pengen bisnis ini hasil jerih payah kita. Dari uang kita berenam. Makanya, kita harus ngumpulin uang.” Kata Naurah kepada kelima sahabatnya.

“ Aku setuju. Kita buat orang tua bangga.” Kata Darin. Yang lainnya juga menyetujui.

“ Oke, targetku restoran kita akan jadi dua atau tiga tahun lagi. Tahun depan kita nggak bisa, karena pasti sibuk dengan ujian kelulusan. Sehingga tahun depannya lagi baru bisa. Untuk pemilihan lokasi, kita harus cari tempat yang strategis.  Itu bisa kita bahas nanti setelah survei. Gimana?” Tanya Naurah.

“ Setuju.” Kata Hana, Haifa, Darin, Jihan dan Najwa serentak. Mereka menyetujui. Naurah tersenyum dan tambah semangat.

“ Ohya, masakan apa yang akan kita sediakan?” Tanya Jihan.

“ Aku sih pengennya masakan tradisional khas Nusantara. Gimana?” Usul Naurah.

“ Kayanya usul Naurah bener deh. Kebanyakan masyarakat di daerah ini suka dengan masakan Nusantara. Kalau misalnya restoran kita adalah restoran China atau Prancis, kayanya hanya sedikit orang yang suka. Sedangkan kita tahu, baik Haifa ataupun Naurah lebih menguasai masakan Nusantara. Jadi nggak perlu repot nyari koki. Gimana?” Hana ikut memberi usul.

“ Bener juga ya.” Kata Darin. Naurah dan yang lain juga menyetujuinya.

“ Jadi sepakat ya, restoran kita adalah restoran khas Nusantara?” Tanya Naurah. Kelima sahabatnya mengangguk.

“ Emm, tapi nama restoran kita apa, ya?” Tanya Haifa kepada yang lain. Mereka diam sesaat dan mulai berfikir.

“Kira-kira apa, ya yang pas?” Kata Jihan.

Beberapa menit kemudian, Tiba-tiba….

“ Aha! Restoran Cinta!” Sahut Naurah dengan lantang. Semua sahabatnya kaget dan langsung melihat ke arahnya.

“ Restoran Cinta?”  Tanya Darin pendek. Ia penasaran begitu juga dengan yang lain.

“ Iya, Restoran Cinta. Gimana?” Tanya Naurah kepada sahabatnya.

“ Kenapa Restoran Cinta?” Tanya Hana penasaran.

“ Ya, karena aku ingat persahabatan kita. Udah 1,5 tahun ini kita bersahabat dan sudah seperti keluarga. Hari-hari kita lalui bersama walaupun tidak setiap saat. Banyak kisah yang telah kita lewati. Susah, senang kita jalani bersama. Cinta, kasih dan sayang ada dalam hati kita. Kita layaknya satu hati, satu perasaan. Jika satu orang sakit maka yang lain juga ikut sakit. Jika satu senang maka yang lain senang. Kalian ingat masa-masa itu?” Tanya Naurah. Ia mulai membuka kembali kenangan bersama sahabat-sahabatnya.

Hana, Haifa, Najwa, Jihan dan Darin serius mendengarkan Naurah. Fikiran akan masa-masa yang telah mereka lalui bersama terbayang dalam benak mereka. Kenangan selama 1,5 tahun seolah menari-nari di di atas kepala mereka.

“ Restoran Cinta adalah sebagai bukti dari persahabatan kita. Restoran Cinta adalah keinginan kita sekaligus akan menjadi tabungan untuk masa tua kita.” Lanjut Naurah.

“ Iya, Restoran Cinta adalah bisnis pertama yang kita jalankan.” Tambah Hana.

“ Restoran Cinta adalah perpaduan dari bakat kita.” Sambung Najwa.

“  Restoran Cinta adalah harapan dan milik kita bersama.” Jihan pun ikut bicara.

“ Restoran Cinta adalah restoran yang menyediakan makanan halal, sehat, terjangkau, bergizi dan bermutu. Yang melayani pembeli dengan senyuman dan keramah-tamahan.” Tambah Haifa.

“ Restoran Cinta Insya Allah menjadi restoran ketiga di daerah ini. Amiin.” Darin tak mau ketinggalan.

“ Oke, jadi kita sepakat, ya?” Tanya Naurah.

“ Oke!” kelima sahabat Naurah menyetujuinya dengan semangat.

Melihat kelima sahabatnya antusias, Naurah senang bukan main. Ternyata kelima sahabatnya setuju dengannya. Sebenarnya mempunyai restoran merupakan impian Naurah sejak dulu. Ia tak percaya mendapat dukungan dari sahabatnya. Berawal dari foto hingga sebuah rencana. Rencana yang bagi mereka besar. Semoga rencana itu bisa segera terlaksana. Amiin.

Teng ! Teng! Teng !

Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Naurah, Hana, Haifa, Darin, Najwa dan Jihan segera duduk di bangkunya masing-masing. Mereka sudah tidak sabar menunggu Restoran Cinta berdiri. Semua siswa masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Para guru sudah siap untuk mengajar muridnya. Suasana di luar kelas pun tampak sunyi. Sesekali terdengar suara burung gereja yang berterbangan di sekitar sekolah. Sedang langit masih berwarna biru dan matahari yang semakin naik. Angin masih berhembus dengan lembutnya.

 

[Siti Muhaira, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis cerpen dan menjadi bagian dari tugas menulis di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By anam

Ahmad Khoirul Anam, santri angkatan ke-2, jenjang SMA di Pesantren Media | Blog pribadi: http://anamshare.wordpress.com | Twitter: @anam_tujuh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *