Loading

 

Bagi Pak Mahmud, melanggar pantangan artinya sama saja melakukan perbuatan memalukan. Perbuatan yang akan menjadi aib bagi diri dan keluarga. Dan Pak Mahmud sangat tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka sudah menjadi suatu keharusan, ia dan keturunan laki-laki di keluarganya harus menjaga tradisi ini.

Tak heran jika kemudian menjelang pernikahan, ketiga anak laki-lakinya, diberi wejangan dan petuah terlebih dahulu. Biasanya Pak Mahmud akan memanggil anaknya ke dalam kantor kerjanya, lalu menanyakan perihal persiapan pernikahan, memberi nasehat dalam berumah tangga, menjelaskan hak dan kewajiban seorang kepala rumah tangga, dan tak lupa, memberi tahu tentang rahasia sebuah pantangan.

“Jika dilanggar aka mengakibatkan apa ya Pak?” tanya Andika, anak ketiganya di malam menjelang pernikahan.

“Wah, bahaya Nak.  Jika seorang laki-laki melakukan pantangan ini, maka akan membuat aura kepemimpinannya di rumah tangga hilang. Istrinya akan jadi seorang  istri yang pembangkang dan berhenti menghormatinya.”

“Maksud Bapak, jadi jatuh wibawanya, begitu?” tegas Andika.

“Ya, begitulah. Pokoknya jangan sekali-kali dilakukan.”

“Berarti, Bapak juga tidak pernah melakukannya sekali pun?”

Pak Mahmud terdiam cukup lama. Hingga akhirnya mengangguk.

Begitulah alasan pantangan itu dibuat. Dan kenyataannya memang begitu, tak ada yang berani melanggar. Bagi sang istri keturunan Pak Mahmud, sudah harus paham isi pantangan tersebut. Tidak boleh tidak, harus setuju dan menurut.

Putra Pak Mahmud sendiri ada 4 orang. Hanya tinggal si bungsu, Angga, yang belum menikah. Berbeda dengan ketiga kakaknya, Angga sudah tinggal di pondok pesantren dari SMP. Bahkan ketika kuliah, ia memilih universitas yang berbeda kota dengan kota tempat ia tinggal. Sebulan sekali ia pulang, bahkan acapkali tiga bulan sekali. Itu terus berlangsung hingga empat tahun.

Menjelang kelulusannya, Angga memberitakan 2 hal menggembirakan sekaligus. Pertama, berkat kecerdasan dan ketekunannya, ia ditawari pihak fakultas menjadi asisten dosen. Alhasil, ia tidak perlu melamar pekerjaan dari pintu ke pintu seperti sarjana freshgraduate lainnya. Ini tentu menjadi hal yang membanggakan bagi kedua orang tuanya.

Kedua, Angga minta dilamarkan seorang gadis kakak tingkatnya. Meski usia gadis itu setahun lebih tua, itu tidak menghalangi Angga untuk menikahinya. Saat Pak Mahmud keberatan, Angga sigap memberikan argumen.

Menurut Angga, ia tahu betul bagaimana akhlak Nayla, gadis itu adalah teman sesama aktivis lembaga dakwah kampus. Meski usia Nayla lebih tua setahun, Angga yakin betul gadis itu bersedia dipimpin olehnya. Keyakinan itulah yang meluruhkan kedua hati orang tuanya.

ooOOoo

Senja belum menapak dengan benar. Semburat merah di langit menyembul di balik gugusan awan. Dingin udara sore tidak mengahalangi tangan-tangan itu untuk tetap lincah memaku, menempel, memilin dan menjuntaikan kain-kain lembut berwarna-warni. Rumah Pak Mahmud hari ini tidak seperti biasa. Penuh dekorasi dan manusia hilir mudik kesana kemari. Esok adalah hari pernikahan putra ke empatnya.

Calon pengantin laki-lakinya, Angga, sedang duduk takdzim di depan bapaknya. Di ruang kerja Pak Mahmud, seperti biasa, mendengar wejangan dan petuah bijak menjelang pernikahan dari lelaki berusia 70 an itu.

Mula-mula Pak Mahmud menanyakan perihal persiapan pernikahan, memberi nasehat dalam berumah tangga, menjelaskan hak dan kewajiban seorang kepala rumah tangga, dan terakhir –tentu saja– memberi tahu tentang rahasia sebuah pantangan.

Saat mendengar tentang pantangan yang disampaikan oleh bapaknya, awalnya Angga ternganga, menelan ludah, kemudian bibirnya membentuk lengkungan sebuah senyuman.

Namun buru-buru ia mengangguk-angguk demi mendengar kerut di dahi bapaknya yang menandakan bapaknya benar-benar sedang serius.

”Jika seorang laki-laki melakukan pantangan ini, maka akan membuat aura kepemimpinannya di rumah tangga hilang. Istrinya akan jadi seorang  istri yang pembangkang dan berhenti menghormatinya. Dengan kata lain, akan hilang wibawanya,” ujar Pak Mahmud sambil mendekatkan bibirnya di telinga Angga.

Sekali lagi, Angga hanya megangguk-angguk tanda paham. Benar-benar bukan saat yang tepat untuk berargumen. Bukan saat yang tepat.

Bahkan keesokan harinya, saat di pelaminan, ketika sesi foto-foto, sempat-sempatnya Pak Mahmud membisiki Angga.

“Ingat pantangannya, Nak.”

Melihat anggukan Angga, Pak Mahmud tersenyum lega.

ooOOoo

Ada yang berubah dari wajah Pak Mahmud.

Wajah itu kian menua dengan banyak kerutan berukir di sana-sini. Kantung matanya menurun dan bibirnya mengerucut. Namun hal itu tak membuatnya urung tersenyum.

Ia sedang sumringah. Angga, putra ke empatnya sudah dikaruniai keturunan. Lima bulan setelah Nayla, menantunya melahirkan, ia baru sempat berkunjung hari ini.

Kemarin, sebelum berangkat, Pak Mahmud sempat membujuk istrinya untuk turut serta. Namun istrinya menolak karena asam uratnya sedang kambuh dan tak sanggup mengadakan perjalanan semalaman dengan bis. Alhasil, Pak Mahmud harus rela berangkat sendiri demi menyambangi cucu barunya. Sengaja ia tak memberi kabar terlebih dahulu pada anak dan menantunya, demi memberi sebuah kejutan.

Setiba di rumah anaknya, Pak Mahmud mendapati rumah anaknya dalam keadaan sepi. Ia celingak-celinguk sembari menekan bel, namun tampaknya bel sedang tak berfungsi. Melihat pagar tak dikunci, dan pintu rumah terbuka Pak Mahmud segera saja masuk.

“Benar-benar sembrono mereka ini.” Gerutu Pak Mahmud. Ia memanggil-manggil nama anak dan menantunya namun tak ada jawaban. Setiba di depan kamar mandi, ia mendengar bunyi guyuran air. Ia menduga menantunya yang sedang mandi. Ada sandal Nayla teronggok di depan kamar mandi.

Di sebelah kamar mandi, ia melihat sebuah kamar terbuka. Ada alunan lembut murottal dari dalam sana, ditingkahi celoteh seorang bayi dan tawa Angga.

Dalam kerinduan yang membuncah, tak sabar melihat cucunya, Pak Mahmud mengucapkan salam sembari menghambur masuk ke kamar  itu.

“Assalamu’a….” belum selesai Pak Mahmud mengucapkan salam, tiba-tiba lelaki itu tertegun dan menahan napas.

Wajahnya seketika merah padam, urat-urat di leher menonjol, dan mata yang berkantung itu, kini terbelalak.

Angga sendiri tak kalah terkejutnya. Ia segera berpaling ke arah bapaknya. Wajahnya mula-mula pias. Namun kemudian, rasa hangat mulai menjalari kulit wajahnya. Ia tegak berdiri dan menatap bapaknya dengan gamang.

Tangannya masih memegang tisu basah dan popok kotor berisi kotoran Fadlan, anaknya.

“Kapan Bapak datang?” tanyanya kikuk. Tidak seperti kali lain, ia yang biasanya langsung menghampiri dan mencium tangan lelaki itu, kali ini Angga justru bergeming, tegak di tempatnya.

Lelaki itu tak menjawab. Matanya mulai meredup namun dadanya masih bergolak.

Sunyi. Sunyi sekali. Angga menghela napas berkali-kali. Lalu perlahan mulai bicara.

“Maaf, aku telah melanggar pantangan bapak. Nayla masih di kamar mandi, ia sedang sakit perut. Aku tidak tega melihat Fadlan mulai menangis. Ia pasti tidak nyaman ketika BAB tidak segera diganti. Lagipula Pak, sungguh, mengganti popok bayi, saat dia BAB aku rasa, tidak sedikit pun akan melunturkan wibawaku. Jujur Pak, aku sering melakukannya, dan Nayla masih menghormati aku sebagai suaminya hingga kini.”

Hening. Tak ada suara. Tak ada jawaban.

Hanya kini mata Pak Mahmud beralih menatap cucunya. Bayi itu terpekik riang karena popok kotornya telah diganti.

 

Bogor, 13 Maret 2013

[Wita Dahlia, santriwati kalong, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis cerpen di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By Farid Ab

Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1 jenjang SMA (2011) | Blog pribadi: http://faridmedia.blogspot.com | Alumni Pesantren MEDIA, asal Sumenep, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *