Loading

Oleh: Umar Abdullah

VIA PUNCAK

puncak bogorTahun 1991 pertama kali saya ke Puncak, Bogor, Jawa Barat. Sebabnya dua. Pertama, tahun 1991 saya diterima sebagai mahasiswa S1 di IPB Bogor dan nge-kost di kampung Babakan Fakultas, sebuah kampung di belakang Kampus IPB Baranangsiang Bogor. Itu artinya saya tinggal dekat dengan adik kakek saya, Aki Paezal Leboe, yang tinggal di Gadog, bagian paling bawah dari kawasan Puncak. Selama mahasiswa saya sering mengunjungi Aki Paezal. Sehingga jalur Jalan Pajajaran, Tajur, Perempatan Ciawi, Ujung Tol Jagorawi di Gadog dan Gadog menjadi tempat-tempat yang sangat familiar bagi saya. Bahkan dulu saya berangan-angan setelah lulus dari IPB akan bekerja di Jakarta tapi berumah di Gadog. Tidak apa-apa pagi hingga sore cari duit di Jakarta yang bising, panas, dan mulai terasa polusi udaranya, tapi di malam hari bisa istirahat di kawasan yang masih bersih, sejuk, dan tenang. Toh  ke Jakarta tinggal keluar dari rumah di Gadog, naik mobil, dan masuk Tol Jagorawi kemudian masuk tol dalam kota Jakarta. Waktu itu tol dalam kota Jakarta masih lancar, apalagi Tol Jagorawi.

Sebab yang kedua adalah Aki Paezal suatu kali mengajak saya pulang ke rumah beliau di Bandung. Rumah di Gadog bukan rumah milik Aki Paezal, tapi milik pimpinan perusahaan tempat Aki bekerja. Tiap Malam Sabtu Aki pulang ke Bandung bertemu keluarga beliau, dan malam Senin Aki balik lagi ke Bogor untuk bekerja sebagai akuntan. Dulu, jika ke Bandung sebagian besar warga Bandung yang kerja di Jakarta dan Bogor pasti lewat jalur Tol Jagorawi, Puncak, Cianjur, Padalarang, dan masuk Bandung. Lewat Subang dan Purwakarta terasa lama. Sejak itu sendirian saya sering pergi ke Bandung, mengunjungi kerabat-kerabat dari jalur bapak yang banyak tersebar di Bandung. Naik bis Bogor-Bandung yang tertulis di kaca depannya ”Via Puncak”.

JALUR FAVORIT

Tahun 1991 Jalur Puncak adalah jalur favorit. Kawasan Puncak menjadi penghubung dua ibukota (Jakarta dan Bandung) dan menjadi kawasan wisata utama. Walau hampir tidak pernah sepi dari bis antarkota, tapi Jalur Puncak tidak pernah macet parah. Bis, mobil pribadi, mobil penumpang umum, dan pick up pembawa hasil bumi tetap berjalan beriringan seperti sebuah konvoi di jalanan Puncak yang berkelok-kelok. Kadang berjalan merayap jika turun kabut tebal di malam hari. Kabut yang putih pekat sehingga jarak pandang dengan lampu sorot bis hanya bisa menembus kabut maksimal 10 meter. Tapi tidak pernah macet parah.

Berwisata ke Puncak pun seolah menjadi tujuan utama wisata bagi masyarakat Jakarta, baik untuk pendakian ke Gunung Gede maupun untuk wisata ringan. Banyak film-film di masa itu yang mengambil lokasi syuting di Puncak, terutama di kebun-kebun teh, juga di vila-vila pribadi yang saat itu belum terlalu banyak. Titik-titik persinggahan mobil dan motor pribadi seperti Restoran Rindu Alam, Riung Gunung, juga kedai-kedai yang menyajikan makanan khas Sunda tempat singgah bis-bis antarkota, ramai dikunjungi.

2012 PUNCAK SUDAH BERUBAH

MENATAP KABUT sebagian santri Pesantren Media sambil menunggu jagung yang sedang dibakar di lingkungan Masjid at-Ta`awun Puncak
MENATAP KABUT sebagian santri Pesantren Media sambil menunggu jagung yang sedang dibakar di lingkungan Masjid at-Ta`awun Puncak

Satu perbedaan yang mencolok antara Puncak tahun 1991 dan Puncak tahun 2012 adalah masalah kemacetan, baik menuju Puncak maupun di kawasan Puncak.

Dulu, jalur Puncak padat pada Malam Sabtu hingga Malam Senin. Maklumlah Malam Sabtu adalah moment para pekerja asal Bandung yang bekerja di Jakarta pulang menemui keluarganya. Istilahnya 3S (Setor Setiap Sabtu). Tahu kan yang saya maksud? Belum lagi warga Jakarta yang ramai-ramai ke Puncak untuk istirahat di vila dan berwisata di kawasan Puncak. Sehingga diberlakukan jalur buka-tutup pada malam Sabtu hingga malam Senin.

Namun sekarang, jalur buka-tutup itu juga diberlakukan selain Malam Sabtu hingga Malam Senin. Buktinya, Rabu 12 Desember 2012 lalu, ketika saya dan para santri Pesantren Media turun dari Puncak Pass terjadi pemberlakuan jalur buka-tutup. Menyebalkan. Karena dari Cibogo ke Gadog tidak terjadi kepadatan kendaraan. Artinya tanpa buka-tutup pun jalur masih  bisa lancar dengan dua jalur. Akhirnya, dengan buka tutup dari arah atas kendaraan malah jadi menumpuk, dari arah tol Jagorawi kendaraan juga jadi menumpuk. Aneh. Satu saja yang tidak terkena macet. Itu tuh iring-iringan kendaraan yang (diduga) kendaraan pejabat. Cuah..!!

Perbedaan yang lain adalah sekarang jarang dijumpai bis antarkota melintasi Jalur Puncak. Dulu, saat Tol Cipularang (Cikampek –  Purwakarta – Padalarang) dan Tol Purbaleunyi (Purwakarta – Bandung – Cileunyi) belum ada, Jalur Puncak terasa tidak pernah sepi dari bis-bis antarkota jurusan Jakarta-Bandung-Garut-Tasik. Namun ketika Tol Cipularang dan Tol Purbaleunyi beroperasi, walau masih ada, tapi sudah jarang orang menggunakan jalur Puncak untuk tujuan Bandung. Apalagi setelah ada Tol Cikunir yang menghubungkan Tol Jagorawi dan Tol Cikampek. Karena faktor lama tempuh, orang Bogor pun lebih memilih jalur ini untuk ke Bandung daripada lewat jalur Puncak. Lewat jalur ini Bogor – Bandung cukup tiga jam. Sedang lewat jalur Puncak paling cepat empat jam.

Sekarang, yang banyak menghiasi jalanan Puncak adalah angkot. Dan seperti di kota Bogor, angkot-angkot menjadi penyebab kemacetan di beberapa titik di Puncak. Mereka ngetem mencari penumpang, menyebabkan badan jalan jadi menyempit. Berbeda dengan bis antarkota yang hanya berhenti hanya untuk menaikkan dan menurunkan penumpang dan setelah itu berjalan lagi. Bis antarkota hanya berhenti lama di kedai-kedai makanan yang menyediakan tempat parkir yang luas. Jalur Puncak yang seharusnya lebih lengang dengan adanya Tol Cipularang dan Tol Purbaleunyi, ternyata malah macet parah. Macet entah karena adanya sistem buka-tutup yang sebabnya tidak jelas, entah juga karena angkot yang ngetem nggak kira-kira. Aneh bin ajaib. Bukan tidak mungkin lama kelamaan Puncak kurang diminati lagi karena kemacetannya.

RELATIVITAS KEBAHAGIAAN

Walau demikian, bagi santri-santri Pesantren Media yang lahir rata-rata di atas tahun 1996, kondisi Puncak tahun 2012 ini masih menyenangkan. Ketika mobil bertambah naik dan mulai bertemu kebun-kebun teh, beberapa santri berteriak-teriak kegirangan. Hawa sejuk sangat terasa. Kegirangan berubah menjadi takjub ketika para santri bertemu kabut di sekeliling mereka. Dari hidung dan mulut mereka keluar nafas yang terlihat seperti asap.

Sebagai generasi yang pernah merasakan sense of Puncak yang lebih dari yang dirasakan oleh generasi santri saya, saya sebenarnya sedih. Terpikir bagaimana keadaan Puncak ketika cucu saya nanti mendatangi kawasan Puncak 25 tahun lagi?  Apa yang masih tersisa? Dinginnya Puncak sudah tidak sedingin tahun 1991. Air di Masjid at-Ta`awun sudah tidak sedingin air di Riung Gunung dua puluh tahun yang lalu. Kabutnya pun tidak setebal dulu. Ada apa ini? Apakah karena lalu lintas yang tidak tertata lagi? Apakah karena sudah banyak terkikis daerah hijau menjadi vila-vila? Ataukah karena banyak kemaksiatan di kawasan Puncak?

Teringat saya akan ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tentang Surga. Teringat kebun-kebunnya, sungai-sungainya, sejuk udaranya, dan tentang dipan-dipannya yang bisa terbang dengan cepat, tanpa polusi, dan tanpa kemacetan. Sense of al-Jannah yang tak terbayangkan. Kebahagiaan yang tidak relatif lagi rasanya. Berita dari Allah dan Utusan-Nya yang membuat mata ini menangis rindu ingin segera bertemu. AllaHumma inna nas`alukal jannaH wa maa qarraba ilayHaa [Wahai Allah sesungguhnya kami memohon kepada Engkau Surga dan apa-apa yang mendekatkan kepadanya]. Amin.[]

By Administrator

Pesantren MEDIA [Menyongsong Masa Depan Peradaban Islam Terdepan Melalui Media] Kp Tajur RT 05/04, Desa Pamegarsari, Kec. Parung, Kab. Bogor 16330 | Email: info@pesantrenmedia.com | Twitter @PesantrenMEDIA | IG @PesantrenMedia | Channel Youtube https://youtube.com/user/pesantrenmedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *