Loading

Entah apa lagi yang bisa dikatakan untuk mewakili keresahan hati dalam menanggapi betapa menyedihkanya kabar-kabar yang hinggap dengan kelam di teras pemikiran diri. Ketika kabar itu disampaikan kepada pabrik pencerna informasi, maka terbitlah sebuah judul, “Miris, Ibu Pertiwi Menangis Lagi”. Judul tersebut terasa sangat pas untuk menggambarkan peristiwa memilukan tak tahu diri yang terjadi kemarin belum lama. Sangat pantas dikatakan kurang ajar kepada seorang jahiliyah yang mengenyahkan pahlawannya hina.

Padahal sungguh pandai seorang alim mencetus syair, “Sesungguhnya, guru dan dokter, keduanya tidak akan membantumu jika keduanya tidak dimuliakan. Maka bersabarlah untuk kesakitanmu jika kamu menghinakan doktermu, dan telanlah kebodohanmu jika kamu menghinakan gurumu.”

Malu. Betapa memalukan. Sangat sulit untuk membanggakan status pelajar terdidik atas perbuatan si jahil itu. Tidak cukupkah suapan pendidikan bermasa-masa? Sehingga masih tidak mampu mengerti bagaimana memuliakan seorang guru. Bahkan apa? Merasa diri lebih tinggi setelah mendapat kebaikan ilmu dari sang guru? Sungguh tidak patut.

Apakah anak bangsa ini dipupuk untuk menjadi preman dan tak berpendidikan? Brutal? Begitukah? Haruskah diperdebatkan siapa biang persoalannya? Seseorang tolong ambilkan obat sakit kepala untukku.

Tidak terkecuali untuk siapa pun, ini adalah saatnya bagi kita untuk menilai dan memperbaiki diri sendiri. Guru adalah induk kita di dalam belajar kita. Mereka adalah pembawa cahaya bagi kita. Penerang dalam kebodohan. Tanpa mereka, kita tidak akan mendapatkan cahaya itu. Guru yang meridhoi muridnya, akan dengan hati lapang membagikan cahaya itu. Maka kita akan mampu mencari jalan keluar dari kebodohan. Jika mengetahui itu, maka siapakah yang tidak akan memuliakannya?

Saudaraku, hanya Islam yang mampu memberitahu jalan untuk memuliakan cahaya itu. Siapa yang memegang Islam, cahaya juga akan memayunginya. Karena penerangan tanpa petunjuk, tidak akan menemukan jalan keluar. Hanya Allah yang Maha Mengetahui.

[Fathimah NJL, Kelas 3 SMA, Pesantren Media]

By Fathimah NJL

Santriwati Pesantren Media, angkatan ke-5 jenjang SMA. Sudah terdampar di dunia santri selama hampir 6 tahun. Moto : "Bahagia itu Kita yang Rasa" | Twitter: @FathimahNJL | Facebook: Fathimah Njl | Instagram: fathimahnjl

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *