Loading

Reina menatap sekolah barunya tak suka. Sepanjang perjalanannya menuju gedung sekolah, semua mata hanya tertuju padanya. Dia sungguh tak suka dengan perhatian yang bergitu besar ini. Kadang jika benar-benar terganggu dia membalas tatapan itu dengan pandangan tajam.

Sesampainya di dalam gedung dia mancari-cari ruangan guru. Setelah menemukannya, Reina terdiam menatap pintu tersebut. Tangannya yang siap-siap mengetuk pintu kini ia turunkan kembali. Rasanya mau menangis. Dia benar-benar tak suka dengan ide ayahnya untuk pindah dan mencari teman-teman baru.

Dia masih ingat kata-kata ayahnya waktu itu.

“Masa-masa SMA mu tak boleh datar-datar saja, Rei. Buat apa kita masih tinggal di sini jika kamu sendiri nggak bahagia. Nanti kamu nyesal loh, Rei. Makanya, nanti di sekolah baru kamu harus berubah. Cari teman serta cari pengalaman yang banyak. Sekalinya kamu jatuh, tak ada semangat, kadang penuh gairah serta kesulitan. Nggak apa-apa, lewatin aja, itu emang identik dengan masa-masa SMA, toh? Ayah jadi inget waktu dulu…”

Dan setelah itu Ayahnya bercerita panjang lebar sementara Reina malah sibuk dengan pikirannya. Dia berencana kabur saja, tapi ketika melihat semangat Ayahnya saat bercerita dia jadi merasa berdosa.

Akhirnya, ia putuskan untuk melakukan rencana busuknya semalam. Kabur tentu saja. Dia tak peduli jika Ayahnya marah, sedih atau apalah. Sifat egois memang sudah menguasainya sejak dulu. Dan sifat inilah yang sangat.. ah lebih tepatnya sangat sangat sangat dibenci oleh teman-temannya dulu.

Reina membatalkan niatnya mengetuk pintu ruang guru dan memilih berlari entah kemana. Sungguh dia tak mengenal sekolah ini, tapi, dia berharap ada tempat yang bisa ia datangi untuk menenangkan pikirannya sejenak.

Reina berhenti ketika didapatinya tak ada lagi jalan yang bisa ia lewati kecuali sebuah tangga. Dan parahnya dia baru sadar lorong-lorong sekolah sudah sepi dan kini ia berada di tempat yang kurang sekali penerangan. Tak ada jendela sehingga cahaya matahari tak dapat masuk.

Karena gengsi jika harus balik, dia pun terpaksa menaiki anak tangga. Sampai di anak tangga terakhir dia menemukan sebuah pintu. Dengan takut-takut dibukanya pintu tersebut. Tak ada orang. Hahaha, tiba-tiba dia merasa seperti orang aneh. Ya jelas tak ada orang, kan sudah waktunya masuk.

Dia akhirnya duduk dan menikmati angin yang membelai wajahnya. Namun, tiba-tiba…

Bersambung.

[Hanifa Sabila, santriwati Pesantren Media, jenjang SMP]

By Hanifa Sabila

Hanifa Sabila | Santriwati angkatan ke-2 jenjang SMP, kelas 2 | @hanifasabila21 | Asal Kabupaten Agam, Sumatera Barat

One thought on “Penyelamat Masa SMA”
  1. Udah lama banget ga baca tulisan Hanifa. Semangat terus yak menulisnya jangan males-malesan. Ini tulisannya bagus tapi bersambung, ditunggu lho sambunganbunganya. Ingat jangan ampe ga disambung pembaca menunggu tulisanya. Oya, MISS YOU.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *