Loading

Pertemuan tadi adalah pertemuan yang membuatku kembali pada masa dua puluh silam. Ketika aku berisikeras untuk menentang keputusan ayah. Saat itu juga aku mendapatkan pengingkaran dari ayah sebagai anaknya. Dan saat itu juga aku memutuskan untuk tidak terikat dengan ayah. Bukannya aku tidak menyangi ayah. Ini semua aku hindari karena aku tidak ingin menjadi seorang pembunuh. Seorang pembunuh yang akan membuat orang mengakhiri hidupnya. Seakan-akan menjadi seseorang yang haus dengan kematian.

Setelah delapan tahun aku meninggalkan rumah dan keluarga. Aku mendapat berita dari kakaku, bahwa ayahku kembali kepada-Nya. Aku bingung, apakah aku harus menangis? Karena dia adalah ayahku yang membesarkanku tanpa adanya bantuan dari seorang istri.  Atau aku merasa senang? Karena orang yang tidak mempunyai hati itu sudah lenyap dari dunia ini. Terbesit dalam hatiku, apakah ayah begitu kerena tiadanya ibu? Aku b-i-n-g-u-n-g.

Aku mengancing jaket abu-abuku yang terbuka. Ku hembuskan napasku di kedua telapak tanganku.  Angin mulai menyambar pepohonan yang menghiasi pinggiran kota. Hawa dingin mulai menembus jaket yang terpasang di badanku. Kilat menyambar bergantian dari langit hitam bercampur abu-abu. Pasukan hujan sudah siap turun ke bumi. Aku harus berlindung, sebelum pasukan hujan menerjangku.

Aku berdiri di sebuah halte. Mungkin lebih baik aku menghubungi seseorang untuk menjemputku. Sepertinya hujan kali ini akan berlangsung lama. Tapi, lebih baik aku menungggu beberapa menit dulu. Mungkin hujan akan reda dalam beberapa saat.

Tit! Tit!

Suara kalkson mobil, mengejutkan yang sedang berfikir. Entah apa yang ku fikirkan.

“Gea!..” Merasa ada yang memanggilku. Aku mencari asal suara itu. Sebuah mobil bertengger di depan halte, tempat aku berteduh. Kaca mobil hitamnya terbuka.

“Geaa.. Lagi ngapain di situ?” Suara melengking milik Sina membuat orang yang berada di sekitar halte mengarahkan pandangan mereka, kea rah nya.

“Lagi nunggu hujan reda.”

“Ngapain nungguin hujan? Ikut gue aja. Gue anterin lo sampai rumah lo.”

“Enggak usah. Aku nunggu hujan reda aja.” Sina turun dari mobil sambil membawa paying abu-abu besar. Dia menuju ke arahku.

“Udah. Ayo!” Ajaknya, sambil menarik tanganku. Aku memasuki mobil hitamnya.

Hening mulai tercipta, hanya terdengan suara nyayian dari speaker mobil Sina.

“Oh, iya, Ge.. Maafin aku.” Aku merasa ada kain yang menempel di hidung dan mulutku. Dunia mulai terasa gelap. Pandanganku berbayang, aku melihat Sina tersenyum kecut. Badanku terasa melas. Aku pingsan.

OoOoO

Secarik cahaya menembus manic mataku. Aku mengedip-ngedipkan mataku beberapa kali. Penglihatanku menangkap seseorang yang berdiri di hadapanku. Bukan seseorang. Tapi, ada lima orang yang berdiri di hadapanku. Aku menggerakan tanganku. Mustahil. Tanganku tidak bisa bergerak. Aku menundukkan kepalaku. Tali tambang putih melilit tubuhku. Aku menegakkan kepalaku. Orang yang  berdiri dihadapanku berubah menjadi tiga orang. Dua orang berjas hitam dan celana panjang hitam. Satu orang yang berdiri di antara orang hitam ini, hanya memakai baju kaos berwarna abu-abu dan celana jeans, biru malam. Dia tersenyum kepadaku.

“ Zefania Aurel Sanjaya.”

Orang ini menyebutkan nama lengkapku dengan lantang. Sudah lama aku tidak mendengar nama lengkapku, sejak aku melepaskan diri dari ayah. Orang ini mengetahui nama asliku. Dari mana orang ini tahu namaku. Hanya beberapa orang yang mengetahui nama lengkapku. Karena nama itu dapat membahayakan diriku.

“Bagaimana kamu mengetahui namaku?” Dia tertawa nyaring.

“Itu adalah hal yang mudah. Karena kau adalah keluarga Sanjaya.”  Keluarga Sanjaya. Itulah yang aku hindari selama ini.

“Aku bukan bagian dari keluarga Sanjaya.”Teriakku lantang. Dia berjalan cepat ke arahku dan menarik kerudung hitamku. Jarum pentul  yang terkait di kerudungku menusuk kulit tengggorokanku. Aku merasa ada cairan yang mengalir di kulit tenggorokanku. Bau amis mulai terindra olehku.

Argh!

“Kau kira, aku bisa kau bohongi? Dasar keluarga Sanjaya! Kalian pintar berbohong! Kamu akan merasakan apa yang aku rasakan!” Dia melepas ikatanku. Ternyata masih ada dua orang di belakangku. Dia menekan bahuku. Lelaki itu mendekatkan wajahnya ke arah. Napasnya yang membuatku ingin muntah, memasuki pori-pori kulit wajahku.

“Sebelum kau merasakan apa yang keluargaku rasakan. Aku akan menceritakan betapa kejinya dan tidak mempunyai moralnya keluarga sanjaya.”

By Putri Aisyara

Saknah Reza Putri | Santriwati Pesantren MEDIA angkatan ke-2, kelas 3 SMP | Asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan | Twitter @PutriAisyara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *